Eps 12: Mbah Arum

14 1 0
                                    

Orang tua memang benar, kami sebagai anak kecil hanya bisa menuruti segala hal yang mereka ucapkan. Bagi mereka, kami tetap lah anak kecil di mata mereka, hingga mereka tak dapat melihat kami untuk selamanya.











"Nduk.." sapa wanita tua itu memanggil Rianti yang sedari tadi memegangi Agung yang mempercepat kayuhan sepedanya.
Rianti menepuk pundak Agung, mengisyaratkan padanya untuk berhenti, Rianti menoleh ke belakang tepat wanita tua itu berdiri. Dengan tongkat kayu rapuh yang dipakai untuk menopang tubuhnya, ia berjalan mendekat ke arah Rianti.
Wanita tua itu memberikan sebuah bungkusan yang aneh, bau harum tercium dari dalam bungkusan itu. Rianti mengenalinya sebagai ibu dari ayahnya.
"Mbah Arum, apa ini mbah?"
"Nduk, jaga dirimu baik-baik ya, kamu juga le, jaga dirimu ya, mbah titipkan Rianti padamu."
Rianti dan Agung saling bertukar pandangan dengan heran, meski begitu Rianti mengangguk dan menuruti apa yang dikatakan oleh mbah Arum. Ia berpamitan dan segera naik ke boncengan sepeda Agung.
Mereka berjalan semakin menjauh hingga tak tampak lagi mbah Arum yang sedang berdiri.

Mereka sampai di Keraton dengan selamat, Rianti mulai tenang dengan masalah sebelumnya tentang surat misterius itu, namun hal lain lebih membuatnya ketakutan.
Sambil membuka bungkusan yang diberikan oleh Mbah Arum tadi, ia melihat berbagai bunga dan sebuah kertas yang dilipat dan ditali dengan rapat.
Rianti mengingat perlahan.
"Mbah Arum, sebentar, bukannya Mbah Arum sudah meninggal beberapa bulan yang lalu ya?"
Rianti panik ketakutan, ia sangat yakin kalau yang dilihatnya tadi benar-benar Mbah Arum, Rianti memegangi tangan Agung dengan kuat, Agung menyadari hal itu dan menenangkan Rianti.
"Jadi, yang kamu maksud tadi, bukan Mbah Arum beneran?"
"Entahlah mas, Rianti bingung dengan keanehan ini, pertanda apa ini mas?"
"Tidak apa-apa Rianti, itu mungkin Mbah Arum rindu denganmu, dia ingin selalu menjagamu agar tidak terjadi sesuatu yang buruk, tenang saja ya, Mbah Arum itu baik." Agung merangkul Rianti dengan hangat, sembari menenangkannya.

Rianti mengangguk pelan, seperti ada sedikit keraguan dari hatinya. Ia berjalan mengikuti Agung masuk ke dalam Keraton, setibanya disana ia disambut dengan Ratna yang memasang muka kekesalannya.
"Jam berapa ini? Kenapa kamu terlambat Rianti? Bahkan kau mengajak mas Agung ikut terlambat bersamamu?"
"Ratna, sudahlah, Rianti sedang sakit, ia perlu beristirahat sejenak." Jawab Agung.
"Oh, baiklah, tuan putri." Ratna berjalan menjauhi mereka dengan mata yang masih melirik ke arah Rianti.

Agung menyarankan Rianti untuk duduk sejenak di ruangannya, agar bisa menjaga Rianti jika saja Ratna berlaku buruk padanya. Agung mengantar Rianti duduk di ruangannya yang terlihat sepi.
"Duduk disini saja ya Rianti, jika kamu sudah terasa lebih baikan, kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu."
Agung pergi keluar untuk melaksanakan tugasnya disana, di sisi lain, Ratna yang tengah kesal melempar berbagai barang yang ada di dapur, Radin dengan membawa piring kotor lantas mendekati Ratna yang tengah terduduk di kursi meja makan.

"Hey hey hey ada apa ini? Ratna, kamu hampir menghancurkan seisi dapur ini, jika simbok tau, apa yang akan dilakukannya pada kita?"
"Mbak, aku benci banget sama wanita brengsek itu, bisa-bisanya dia berjalan mesra dengan mas Agung, aku ingin dia pergi dari sini, atau.." Ratna menghentikan obrolannya.
"Aku ingin dia mati."
"Oh, kamu ingin dia mati? Mudah saja, lihat itu." Radin menunjuk ke segelas teh yang masih hangat.









Di Bawah Langit Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang