Eps 16: Datang Telah Pergi, Pergi Telah Kembali

11 1 0
                                    

"Apa yang kamu lihat di sana? Apakah keinginanmu sudah tercapai? Apakah di sana begitu indah?"













"Eh pak Arif? Ada apa nggeh pak?"

" Anu mbak itu...Saya lupa mas Agung tadi minum obat yang mana dulu, tadi saya kasih yang satue, tapi mas Agung malah batuk-batuk, sebaiknya mbak Rianti cek ke rumah dulu." Arif menggosok lehernya.

"Duh obat yang mana lagi, saya cuman bawa satu, yaudah deh pak ayo kesana."

Arif tak mendengar perkataan Rianti, mereka bergegas menuju tempat yang mereka tuju, rumah Agung. Dengan diboncengnya Rianti oleh Arif, mereka sampai di halaman depan, Arif memarkirkan sepedanya dan Rianti tanpa berbicara sepatah kata pun ia masuk dan melihat kondisi Agung.

"MAS AGUNGG...!"

"Obat apa yang bapak kasi ke mas Agung pakk??" Rianti memegangi Agung yang tengah kejang-kejang, Agung kembali batuk yang keluar bersama darah segar dari mulutnya."

"Saya cuman kasih Agung obat yang mbak Rianti taruh di atas lemari itukan?"

"ATAS LEMARI? Pak saya memberi obat itu di samping bantal mas Agung! Apakah bapak lupa?"

"Maaf mbak maaf say-"

"Siapkan sepeda itu, saya akan membawa mas Agung ke rumah sakit!"

Arif lari keluar rumah dan menyiapkan sepeda tua dengan sebuah tali yang ia bawa, Rianti membopong tubuh Agung yang masih terbatuk-batuk hingga darahnya menodai pakaian yang Rianti pakai, tampak kesulitan, Arif membantu Rianti membawa tubuh Agung dan mendudukkannya di boncengan sepeda, Rianti menaiki sepedanya dan Arif mulai mengikat tali di tubuh Agung menyambungkan di tubuh Rianti dengan tujuan agar tidak jatuh nantinya. Rianti mulai mengayuh sepedanya.

"Ah! Ayooo ayooo.."

Rianti kesulitan mengayuh sepedanya mengingat tubuh Agung lebih berat darinya dan salah satu tangannya memegangi Agung yang hampir jatuh, dari kejauhan tampak langit gelap datang mendekati mereka.

Rianti tak memedulikan hal itu dan terus mengayuh sepeda sebisa yang ia mampu. Benar saja, hujan deras mulai turun, butiran air turun dengan keras ke pipinya, jalanan menjadi gelap, tak terlihat kendaraan atau hal lain yang ada di depan mereka, tak kenal takut Rianti tetap mengayuh sepedanya, kali ini ia melepaskan tangannya dan mulai memegangi setir dengan kuat.

Jarak yang harus mereka tempuh masih sangat panjang, Rianti mulai merasa putus asa saat melihat jalanan panjang yang mereka lewati tak ada ujungnya, kakinya mulai mati rasa, Rianti masih memaksakan dirinya sendiri agar tetap mengayuh dengan cepat.

'brukk..' Rianti merasakan ada yang jatuh, ia menoleh ke belakang dan melihat Agung yang telah terbaring di tanah, belum sempat ia berhenti tali yang mengikat mereka berdua menjerat Rianti dan membuatnya jatuh dengan sepeda yang menimpanya.

Rianti merasa kepalanya pusing beberapa saat, ia bangun dan mendekat ke Agung yang terbaring di sampingnya, ia akan membopong tubuh Agung untuk berdiri lagi dan mendudukkannya di boncengan sepeda. Namun, sebuah tangan menarik lengan bajunya.

"Ayo mas, ayo kita harus sampai di rumah sakit."

"Rianti...Cukup.."

"Tidak! Ayo mas kuatkan tubuhmu, kita akan segera sampai!"

Agung masih tetap berbaring, ia memegangi tangan Rianti.

"Rianti...Terima kasih, sudah cukup, kamu sudah terlalu banyak membantuku, Aku.." Agung kembali terbatuk-batuk.

"Aku akan selalu mengingatmu, jangan sedih seperti itu, air matamu jatuh ke wajahku tau! Haha."

"Tapi mas.." Rianti mengusap air matanya, ia duduk memangku kepala Agung.

"Jangan sedih, aku hanya ingin berada di sini menghabiskan waktuku terakhir kalinya melihat wajahmu, jika kamu berwajah sedih seperti itu, apakah aku bisa tenang nantinya?"

"Aku akan menunggumu di kehidupan selanjutnya, jangan lupakan aku ya? Maafkan aku jika aku bersikap buruk padamu, aku terlalu egois hingga menjauhkanmu dengan tukang becak yang sebelumnya pernah dekat denganmu, kamu masih ingat bukan?"

Rianti mengangguk perlahan, ia tak kuasa menahan air matanya.

"Sebelum aku pergi, aku ingin mengatakan satu hal padamu Rianti. Aku sangat mencintaimu, benar-benar mencintaimu. Aku ingin kamu selalu ada di sampingku, menjadi milikku selamanya, sejak awal aku melihatmu, kamu benar-benar memberiku harapan untukku yang kesepian bertahun-tahun ini, maafkan aku, kumohon maafkan aku jika.."
Agung menutupi mulutnya yang tengah batuk untuk kesekian kalinya, ia memandangi tangannya yang penuh dengan darah.

"Maafkan aku jika tak bisa bersamamu lagi esok hari, tetap jaga kesehatanmu, bertemulah kembali dengannya jika ia adalah benar-benar orang yang di takdirkan bersamamu, maafkan aku telah mengganggu kalian sampaikan maafku padanya...Aku.."

Nafasnya mulai tersengal-sengal, matanya mulai terpejam, ia memakai sisa-sisa tenaganya, menyentuh pipi Rianti dan mengusap air matanya seraya tersenyum.

"Aku berjanji akan melihatmu dari atas sana, jangan sedih ya, mungkin di kehidupan selanjutnya, kamu akan menjadi milikku, begitu pula sebaliknya, Aku...Aku..."

Sekelebat penglihatan di pikiran Agung mulai muncul, ia mengingat saat ia pulang bersepeda di bawah derasnya hujan, senyum Rianti terukir jelas di wajahnya, canda tawa menemani mereka sepanjang perjalanan pulang sore itu, senyum Rianti selalu ada di detik-detik ingatan terakhirnya.

"Aku mencintaimu..Rianti.."

Agung tersenyum, matanya terpejam, tangannya terjatuh, nafasnya berhenti perlahan. Rianti terkejut, ia menggoyang-goyangkan tubuh Agung dengan kuat.

"MAAAS BANGUN.. MAAAS BANGUN! BANGUN MAS JANGAN TINGGALKAN RIANTI SENDIRIAN!"

Rianti memeluk tubuh tak bernyawa Agung, ia masih saja menggoyangkan tubuhnya, ia berteriak-teriak histeris, teriaknya membuat siapapun yang mendengarnya ikut merasakan apa yang Rianti rasakan.

Tak henti-hentinya Rianti berteriak, sesekali ia meminta pertolongan, hujan semakin deras, ia menutupi tubuh Agung dengan memeluknya dengan erat, suaranya hampir habis karena teriakan kesedihannya yang masih saja ia keluarkan.

"Rianti juga sayang sama mas Agung. Ayo bangun mas! Rianti juga sayang sama mas Agung, bangun maaas!" ia tak mampu lagi bersuara, tenggorokannya mulai sakit, dari kejauhan ia melihat sebuah kendaraan mendekat kearahnya, sebuah becak mulai muncul dari kegelapan dan seorang penumpang yang duduk di depannya.

Becak itu mulai mendekat, tampak wajah-wajah yang Rianti kenali, Lindhu dengan Arif yang langsung melompat mendekati Rianti.

Arif terhenti, ia melihat Rianti yang hanya bisa menangis tanpa bersuara, ia memeluk tubuh Agung yang sudah tak bergerak, lututnya mulai lemas dan ia mulai terduduk dengan tatapan kosongnya.

"Kita terlambat.. Kita benar-benar terlambat."

Lindhu turun dari becaknya dan memandangi Rianti yang begitu terpukul atas kematian Agung, ia hanya diam tak bergeming.

"Pergilah dengan tenang, aku akan menggantikanmu."

Di Bawah Langit Yogyakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang