2•• Aurora Bulan Anaska

270 13 0
                                    

"Ini rumah kita sayang."

Rora memandang dengan mata berbinar ke arah bangunan yang ada di hadapan mereka. Bangunan sederhana dengan dua lantai, pohon mangga dan rambutan berada di depan rumah tersebut. Rora melangkahkan kaki nya masuk untuk melihat bagaimana suasana di dalam sana, Rora berjalan perlahan ke arah dinding sebelah kanan, puluhan foto bertengger rapi disana. Rora menyentuh satu foto yang berisi tujuh pria sedang berpelukan.

Rora kemudian menoleh ke arah Ren, sembari tersenyum sumringah. "Lihat deh, Pa. Om Grey lucu banget disini."

Ren mendekat dan memeluk putri semata wayangnya. "Kamu juga lucu."

"Ihh... Rora jadi rindu sama mereka," ucap Rora sedih.

Luna menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya kasar, dia pun ikut bergabung memeluk Rora. "Ra, kamu baru aja sampai di Jakarta. Masa udah rindu."

Rora cemberut mendengar ucapan ibu nya. "Kita disini sendirian, Rora pengen deket sama Om, lihat adik bayi."

"Mereka bakal sering mengunjungi kita, Sayang. Dia juga pasti rindu sama Rora," balas Ren dan mencium puncak kepala Rora.

Setelah percakapan singkat tadi Rora kemudian melangkah ke lantai dua, dan masuk ke dalam satu kamar yang sangat sederhana dengan ukuran kurang lebih 5×5 M. Rora duduk di sebuah kasur yang sudah di tutupi dengan kain berwarna putih agar terhindar dari debu, sembari mengayun kaki, mata Rora menangkap satu lemari yang membuat nya penasaran.

Rora kemudian bergerak maju ke dalam lemari itu dan segera membuka nya. Hanya satu boneka Barbie yang Rora temukan disana, Rora menyentuh boneka itu dan melihat ukiran disana. 'Aurora Bulan Anaska'

Rora begitu senang melihatnya, karena ia tahu, boneka ini adalah milik nya. Karena Om Zan pernah mengatakan, sebelum mereka meninggalkan Jakarta, ada satu barang yang ketinggalan, yaitu boneka Rora.

Rora membersihkan boneka itu dan meletakkan nya di atas kasur, Rora pun berjalan untuk membersihkan seluruh kamar yang dibantu oleh kedua orangtuanya, setelah bersih-bersih kamar selesai, Ren mengajak Rora beserta Luna untuk makan di luar. Karena Ren tahu anak dan istrinya sudah bekerja keras sepanjang hari membersihkan rumah, jadi mereka tidak memiliki waktu untuk masak.

Rora dan Luna sedang berpelukan di sebuah restoran sembari menatap sebuah Aquarium berukuran sangat besar yang di isi berbagai macam ikan, dari yang terkecil hingga terbesar. Kedua tangan Rora terangkat menyentuh aquarium tersebut, hingga Ren datang dan menurunkan kedua tangan anak nya itu.

"Bahaya, Sayang."

"Pa!" Panggil Rora.

"Iya, Sayang?"

Rora terdiam sebentar, dia pun melipat kedua tangannya di atas meja. "Kira-kira Rora bakal sekolah dimana, ya?"

"Hmmm... Menurut Mama, Airlangga bagus, Ra. Sekolah nya juga elite, orang-orang nya juga sangat baik," jawab Luna yang mengerti kebimbangan sang anak.

"Kalau menurut Papa, lebih baik kamu masuk Visiona, Ra. Karena sekolah itu juga bagus, dan Papa alumni dari sana," tambah Ren sembari mengelus pelan punggung Rora.

Rora semakin bingung ketika kedua orangtuanya malah memiliki pilihan yang berbeda, Luna kemudian menggenggam kedua tangan Rora sangat erat. "Sayang, dimanapun kamu sekolah nggak akan mempengaruhi apapun, semua tergantung kamu. Dan, kalau papa alumni Visiona, dia pasti lebih tahu suasana disana."

Rora mengangguk dan memeluk Luna. "Yaudah deh, Ma. Rora di Visiona aja."

Seorang pelayan datang dan membawa makanan yang sudah mereka pesan.

"Wah... Makanan kesukaan Rora." Mata Rora berbinar melihat udang goreng dengan taburan saus tiram di pinggiran nya.

"Cobain deh, Ra. Ini ada jamur tiram kesukaan kamu." Luna mengarahkan jamur tiram dengan posisi ingin menyuapi Rora, namun pandangan Luna beralih pada Ren yang juga hendak menyuapi Rora.

Rora tersenyum geli melihat kedua orangtuanya, Rora pun memutar tangan Luna agar menyuapi Ren, begitu juga dengan tangan Ren, agar menyuapi Luna. Ada jeda sangat lama dia antara keduanya, sampai akhirnya Ren tersenyum dan mulai lebih dulu menyuapi Luna, Luna membalas senyuman Ren dan perlahan menyuapi suami nya tersebut.

"Heran deh, mama kenapa canggung banget sama papa. Padahal kalian udah menikah lebih dari 16 tahun loh?" Tanya Rora sembari memotong-motong udang yang ada di atas piring, melihat Rora yang kesusahan Luna pun membantu anak nya itu.

"Pa!" Tegur Rora, melihat Ren yang tak kunjung menjawab pertanyaan nya.

Ren hanya bisa tersenyum menanggapi pertanyaan sang anak. "Tanya Mama, kenapa canggung sama suami sendiri."

Rora mendekat kan wajah nya ke arah Luna dan menatap lekat mama nya itu. "Mama udah disetubuhi papa kan?"

Luna tertawa dan memundurkan wajah Rora. "Kalau papa belum setubuhi mama, gimana kamu bisa ada?"

Ren segera berhenti makan mendengar jawaban Luna. Dia pun menoleh ke arah istrinya itu yang malah asik tertawa bersama Rora, Luna mengambil tisu untuk membersihkan sisa makanan yang menempel pada wajah Rora. Ren hanya bisa menunduk, nafsu makannya tiba-tiba hilang.

Menginjak kota ini, seakan membuat raga Ren ikut hilang. Dadanya sesak sekali se akan di tiban beban puluhan ton. Memang kembali ke Jakarta bukan lah pilihan baik, padahal 16 tahun yang lalu, Ren sudah memutuskan untuk menjauh dari kota ini. Tapi, bagaimana lagi. Ren sempat di amanah kan oleh kedua orangtuanya untuk kembali ke Jakarta dan mengurus bisnis yang ada disini.

Ren mengangkat kepala nya dan menoleh ke arah Rora yang terlihat sangat bahagia bercerita bersama ibunya, mereka tidak terlihat seperti ibu dan anak melainkan dua orang sahabat.

"Pa, Rora ngantuk," ujar Rora yang terus saja menguap.

"Kamu udah kenyang sayang?"

Rora mengangguk dan kemudian bersandar pada bahu Luna, karena ia benar-benar mengantuk dan sudah sangat lelah.

"Mau papa gendong ke mobil sayang?" tanya Luna yang di balas anggukan kecil oleh Rora, perlahan mata gadis itu pun mulai terpejam.

Luna menoleh ke arah Ren dan menunjuk Rora menggunakan ekor matanya. "Kamu bawa Rora ke mobil dulu, biar aku yang bayar makanan kita."

Ren memberikan dompet nya ke arah Luna.

"Gak papa, Mas. Aku masih ada uang yang kemarin kok," Tolak Luna dan menyerahkan kembali dompet Ren.

Ren mengangguk dan menyimpan kembali dompet nya, Ren pun mendekat agar mengangkat tubuh Rora menuju mobil. Sepeninggalan Ren, Luna lagi-lagi hanya bisa menarik nafas pasrah. Sudah bertahun-tahun ia berstatus sebagai istri sah Ren, namun ia masih belum berhasil mendapatkan hatinya.

"Sabar."

Hanya itu yang bisa Luna ucapkan pada dirinya sendiri. Karena ia sangat yakin, Ren akan mencintai dirinya. Karena ada Rora di antara mereka.



“Terkadang hidup bukan hanya tentang bagaimana mengikhlaskan kepergian, namun menerima kedatangan.”



SEMICOLON ;Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang