4•• Sebuah Takdir

170 7 1
                                    

Semesta memarkirkan motor hitam nya di garasi rumah, dan memandang ke arah rumah mewah di hadapannya dengan wajah datar. Ntah kenapa, Semesta selalu merasa, bahwa rumah yang selama ini ia pijak. Tidak pantas untuk ia sebut sebagai rumah, karena baginya rumah yang sesungguhnya adalah tempat dimana kita selalu rindu untuk pulang. Namun bertolak belakang dengan bangunan yang ada di hadapannya kini, jangan kan rindu, untuk pulang ke tempat ini sudah seperti bencana besar bagi nya.

Semesta memasuki rumah dengan persiapan matang, ia sudah bersiap menulikan telinga nya, dan memperkokoh hatinya, agar ia tetap waras.

"Semesta!"

Baru dua langkah Semesta memasuki rumah, suara itu sangat menjengkelkan untuk Semesta dengar.

"Saya sudah datang ke sekolah kamu kemarin." Peter-Ayah Semesta, melemparkan sebuah kertas berisi catatan nilai Semesta dalam satu bulan ini. "Semakin hari nilai kamu semakin hancur, saya tidak mau tahu. Kamu harus memperbaiki nya."

Semesta tidak peduli dan segera melangkah pergi menuju kamar, dia memang sudah mempersiapkan semua ini sejak awal. Semesta juga sudah berjanji pada dirinya sendiri, bahwa dia tidak akan pernah menuruti keinginan orang tua nya lagi, mereka tidak berhak menentukan arah hidup Semesta. Mereka juga tidak berhak menghancurkan kebahagiaan Semesta, yang memang sudah mereka hancurkan sejak lama.

"SEMESTA!"

"Mas...mas, udah!" Pevita datang dan menenangkan Peter. Pevita mengelus pelan bahu suami nya dan menggeleng.

"Ini semua salah kamu! Kamu terus manjakan dia. Kapan dia mengerti tanggung jawab nya, kalau kamu terus saja membela dia. Bahkan dia sudah tidak menghargai kita lagi!"

Pevita menggeleng lagi. "Semesta butuh waktu, kamu ayah nya. Sampai kapan dia akan menghormati kamu, tapi tolong, hormati juga keputusan nya. Kamu terus memaksa dia untuk bergelut di bidang yang memang bukan minat nya."

Peter mendekat ke arah Pevita, keduanya saling berhadapan dan saling menatap cukup lama. "Kita membawa dia ke rumah ini karena aku butuh keturunan untuk meneruskan semua bisnis ku. Bukan untuk menuruti keinginan nya! Dasar anak tidak tahu diri, kalau dia tinggal bersama ibunya dia pikir, dia bisa hidup se enak ini."

"MAS!" Bentak Pevita. "Cukup! Jangan pernah mengungkit itu lagi, Semesta anak aku, Semesta anak kita. Jangan pernah mengungkit masa lalunya, apalagi di depan anak ku."

"Pevita sadar! Semesta tidak pernah menganggap kamu sebagai ibunya, mau sampai kapan kamu mengemis pada bocah tengil itu!"

Pevita berjalan menjauhi Peter, hingga sampai di depan tangga ia berbalik lagi untuk melihat suami nya. "Sampai Semesta menerima aku sebagai ibunya, selama itu, aku akan terus mengemis." Pevita menghapus air mata yang melintasi wajah cantik nya.

Pevita berlari sampai di depan pintu kamar Semesta, ia ingin mengetuk namun sedikit ragu. Karena ia tahu, suasana hati Semesta pasti sedang buruk sekarang. Pevita memilih untuk berjalan ke dapur dulu, dan menyiapkan makan malam untuk putra tunggalnya itu. Pevita sadar, ia bahkan tidak pernah memperlakukan suami nya, sebaik dia memperlakukan Semesta. Karena sampai kapan pun, Pevita akan menganggap Semesta adalah anak nya. Walaupun Semesta tidak pernah lahir dari rahimnya.

Pevita sudah berdiri lagi di depan pintu kamar Semesta dengan sebuah nampan berisi sup sapi, buah dan mie goreng. Juga jus apel kesukaan Semesta. Pevita mulai mengetuk pintu kamar.

"Ta, kamu sudah pulang? Mama bawa makanan kesukaan kamu."

Seutas senyuman langsung terlihat di bibir Pevita, ketika Semesta segera membuka pintu dan menerima nampan yang ia bawa, setelah membawa makanan masuk ke dalam kamar nya dan meletakkan di atas meja, Semesta ingin segera mengunci pintu namun di tahan oleh Pevita.

Pevita tersenyum. "Boleh Mama masuk? Mama mau berbicara sebentar dengan kamu."

"Saya sibuk." Semesta ingin menutup pintu lagi, namun dengan cepat di tahan oleh Pevita.

"Sebentar."

Semesta menyerah, dan mempersilahkan Pevita masuk ke dalam kamarnya. Pevita pun segera mengunci pintu dan duduk di sebelah Semesta, di atas kasur anak nya itu.

"Kemarin Mama nggak sengaja ketemu dengan ibu kamu, kebetulan dia dan suami nya ada urusan ke Jakarta. Dia memang nggak minta Mama untuk bilang ini ke kamu, tapi, Mama mau kamu menemui dia, walaupun cuma sebentar."

"Saya sibuk, nggak ada waktu menemui dia."

Pevita menarik nafas dalam-dalam dan membuang nya kasar. "Dari kamu kecil, kamu baru sekali menemui dia. Kali ini, temui dia, Ta. Sampai kapan pun orang akan terus memanggil kamu Semesta anak Narumi..."

"Stop!" Semesta memotong ucapan Pevita, sebelum ibunya itu melanjutkan ucapannya. "Kenapa anda baru ngomong sekarang? Dari dulu kalian nggak pernah mengizinkan saya untuk bertemu dengan dia, kalian sudah menanamkan benci di hati saya sejak saya kecil. Dan kalaupun dia merindukan saya, dia pasti akan menemui saya, dan satu lagi. Saya bukan anak nya, dan juga bukan anak kalian!"

Pevita hanya bisa menahan tangis mendengar ucapan Semesta yang terus menolak nya untuk kesekian kalinya. "Mama tidak pernah melarang kamu untuk bertemu dengan ibu kamu, tapi, mama juga tidak punya kekuatan untuk membela kamu saat itu. Karena kamu tahu gimana kerasnya hati papa kamu, Mama tidak pernah mau kamu membenci ibu kamu, kamu harus bisa memaafkan semua kesalahanku orang tua kamu, untuk hidup yang lebih baik."

"Saya merasa kehidupan saya sudah sangat baik tanpa mereka, kalau anda nggak punya hal yang mau dibicarakan lagi, silahkan keluar dari kamar saya! Saya mau istirahat."

Pevita tersenyum. "Baiklah, kamu istirahat. Kalau kamu butuh sesuatu kamu harus bilang ke Mama, dan besok mama bawa pakaian kamu yang udah mama cuci."

"Buang aja, saya bisa beli yang baru."

Pevita hanya bisa tersenyum dan segera keluar dari kamar Semesta.

Semesta memukuli dirinya di dalam kamar, ia berkali-kali memukul dinding hingga membuat jari-jari nya berdarah. Semesta tidak henti-hentinya memukul dirinya, hingga ia merasa lebih baik. "Maaf, kamu tidak akan pernah menjadi ibu saya," lirih Semesta dengan air mata berderai deras.

Ia kemudian mengambil satu kertas di atas meja, surat yang tadi siang di tulis oleh ibunya.

Kalau kamu sudah pulang jangan lupa mandi air hangat, karena kamu mudah masuk angin.
Peralatan mandi kamu juga sudah mama beli, tolong jangan di buang ya.
Di lemari juga ada gitar kamu yang baru, kalau bisa, kamu langsung bawa ke markas Ravens jangan sampai ayah kamu tahu, kalau kamu masih main musik.
Mama akan terus mendukung apapun impian kamu, jangan pernah takut, mama selalu ada untuk Semesta.
Kalau pun ayah kamu terus membakar gitar, mama juga akan terus membelinya untuk kamu.
Di meja belajar kamu juga ada sepatu dan tas yang baru.
Selamat malam Semesta kesayangan mama.

Semesta meremas surat itu dan melemparkan nya sembarangan. Semesta kemudian mengambil tas dan sepatu pemberian Pevita, kemudian memasukkan nya dalam koper, tidak lupa dengan peralatan mandi yang telah ibu nya itu beli. Kemudian, cowok itu keluar dari kamar membawa dan membuang semua pemberian Pevita.







•••••••••••••••

Jangan lupa follow pren...

Jangan lupa juga untuk vote dan komen❤️

“Mari sembuh bersama-sama”

; Semicolon, 2023.

SEMICOLON ;Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang