7•• Ini rumah Ravens

141 10 1
                                    

Tidak seperti yang mereka janjikan satu tahun yang lalu, anggota inti Ravens generasi pertama ternyata masih belum bisa juga berkumpul. Dewa menatap jenuh kota Berlin dari atas apartemen nya. Vidia sudah kembali ke Jakarta 3 bulan yang lalu, dengan langkah berani gadis itu membatalkan perjodohan sepihak, yang telah dua keluarga ini sepakati selama kurang lebih empat tahun.

Dewa membuka group chat Ravens yang sudah sangat sepi, tidak ada lagi chat-chat random disana, selain saling  mengucapkan tahun baru, enam bulan yang lalu. Tiba-tiba saja Dewa mendapat kiriman foto dari Vidia.

Vidia : Markas Ravens nggak pernah sepi, ada 8 anggota inti disana. Lo nggak mau lihat perjuangan mereka?

••••••

Malam ini delapan anggota inti Ravens sudah memasang obor di sekeliling pagar, supaya markas itu terlihat lebih indah. Semesta juga sudah merombak beberapa bagian pada bangunan markas Ravens, agar terdapat tiga kamar disana. Namun, atas se izin ayah Kaisar. Karena sampai kapan pun markas Ravens masih milik ayah Kaisar. Beruntung nya dia setuju, karena katanya, dia tidak punya hak apapun lagi atas rumah itu. Rumah itu sepenuhnya milik Ravens.

Semesta berjalan ke arah lantai dua, dan berdiri tepat di depan pintu salah satu kamar yang tidak pernah mereka buka. Kamar milik Kaisar.

"Kenapa Lo ragu? Kita cuma masang lampu di kamar itu, lagi pula pemilik nya udah gak ada. Lo gak merasa horor, kamar itu gelap terus?" tanya Jiva yang tiba-tiba muncul dari arah samping Semesta.

Semesta melirik Jiva sekilas. "Bacot."

Semesta perlahan mulai meraih gagang pintu, degupan semakin kencang di dadanya, ketika suara pintu perlahan mulai terdengar. Tidak ada yang aneh dari dalam kamar Kaisar, selain gelap gulita yang mengisi seluruh ruangan tersebut. Memang setelah Gery dan teman-teman nya memutuskan hengkang dari Ravens, kamar Kaisar tidak pernah lagi di buka. Kecuali saat Shena datang dan merindukan sosok pacar nya itu, dia mungkin mengunjungi kamar Kaisar dan menetap disana beberapa waktu. Namun beberapa tahun belakangan ini, cewek itu bahkan tidak pernah lagi datang. Terakhir beberapa bulan yang lalu, mungkin mengucapkan salam perpisahan pada Kaisar.

Jiva membantu Semesta menggeser satu meja, agar keduanya bisa dengan mudah mengganti lampu. Setelah mengganti lampu selesai, mata Semesta menangkap satu kemeja yang masih tersusun rapi di atas kasur dan di tutupi kain panjang berwarna biru.

"Punya bang Kaisar?" tanya Jiva dan berjalan hendak memegang kemeja tersebut.

Dengan cepat Semesta menepis tangan sahabat nya itu. "Lo gak boleh sembarang nyentuh barang orang."

"Gak asik Lo!" Cibir Jiva dan hendak menendang kaki Semesta, namun kali nya malah menendang sesuatu dari bawah kasur. Dengan cepat Jiva berjongkok untuk melihat apa yang ia tendang tadi.

"Kotak, Ta," adu Jiva pada Semesta.

Semesta yang mendengar itu, ikut berjongkok di hadapan Jiva dan mengeluarkan kotak yang berukuran lumayan panjang dari bawah kasur. Kotak itu terlihat sudah sangat usang, dengan koyakan yang terlihat dimana-mana.

"Elgafri Kaisar Hugo," gumam Jiva membaca tulisan di depan kotak tersebut.

Tanpa rasa ragu, Semesta mulai membuka isi kotak itu. Satu album besar dan banyak foto terlihat berjatuhan dari dalam. Jiva menyentuh satu foto berukuran sedang, memperlihatkan ke delapan anggota inti Ravens berkumpul di atas rooftop sembari menggunakan jaket kebesaran mereka.

"Mereka cuma delapan orang, terus yang ambil foto ini siapa?" tanya Jiva heran.

Semesta merebut foto itu dengan kesal. "Lo nggak ngerti tekhnologi drone?"

Semesta dan Jiva bersama-sama membuka album yang lumayan besar di kotak itu, disana mereka melihat banyak sekali foto-foto geng Ravens saat melaksanakan festival, termasuk sosok Kaisar yang saat itu menjadi anggota paskibraka.

"Gue rasa, kalau kita mau berhasil merebut hati siswa Visiona lagi, kita juga harus kuat dan se-berprestasi mereka, Ta," ungkap Jiva sembari mengelus pelan satu foto, dimana foto itu memperlihatkan Kaisar mengangkat satu piala besar dan diikuti tawa teman-teman nya.

Semesta mengambil album itu, dan menyusun kembali kotak besar tadi ke dalam tempat nya semula.

"Lo mau buat apa album itu?" tanya Jiva penasaran.

"Lo bakal tau."

Semesta segera keluar dari kamar Kaisar di ikuti dengan Jiva. Keduanya ikut bergabung bersama teman-teman mereka yang lain di meja makan.

"Gimana hubungan percintaan kalian? Gue gak pernah lihat Lo semua punya gebetan," tutur Zen sembari melakukan video call dengan seorang perempuan.

"Gue gak butuh perempuan," jawab Semesta cepat.

"Gue juga," balas Aden.

"Sama." Arzan ikut menjawab.

"Gue juga gak butuh," tambah Jiva.

"Sebelum Semesta punya gebetan, gue juga gak butuh." Juan pun ikut-ikutan.

"Lo, Rey?" Zen bertanya pendapat Rey yang masih sibuk bergelut dengan laptop dihadapannya.

"Jodoh udah ada yang atur," balas cowok itu.

"Lo, Mawar?" Eros dengan dengan cepat melempar Zen dengan garpu di tangan nya, namun dengan ilmu menangkis yang Zen punya, dia dengan mudah menghindar dari lemparan Eros.

"Gue harus buat petisi di rumah ini, siapa pun yang berani panggil gue mawar, bakal gue habisi!" Ucap Eros tegas.

"Oke, pertanyaan gue, Lo butuh perempuan nggak?" Zen mengulangi lagi pertanyaan nya semula.

"Sebelum gue bisa mengalahkan kekayaan keluarga Jiva, gue belum butuh perempuan."

Dengan cepat Jiva mengangkat tangan nya, seolah ingin TOS dengan Eros. Eros yang mengerti pun, segera mengangkat tangan nya.

"Kayaknya bentar lagi lo bakal butuh perempuan, Jun." Rey mulai buka suara, perkataan itu ia tujuan pada Juan.

"Kenapa gue?" tanya Juan dengan wajah planga plongo. Tubuh kecil nya hampir tak terlihat di samping Eros, Eros memundurkan kursi nya agar Rey bisa melihat tubuh Juan yang kecil.

"Standar Lo Semesta, dan sebentar lagi Semesta menemukan perempuan nya," jawab Rey dengan senyuman menggoda Semesta.

"Anjing Lo!" Semesta mengumpat dan masih menatap Rey tajam.

Zen berpikir sebentar, ia pun mematikan sambungan telfon dengan perempuan tadi. Karena ia ingin mengobrol yang sedikit serius. "Seharian gue mikir, apa yang bisa kita buat untuk Visiona. Supaya mereka bisa menerima kita lagi."

Mendengar pertanyaan Zen, Semesta menggunakan kesempatan ini untuk mengeluarkan album yang ia dan Jiva temukan tadi. Semesta mengangkat dua foto, dimana Kaisar dan anggota inti Ravens yang lain, mengangkat satu piala besar dan satunya foto Kaisar saat ikut menjadi pasukan pengibar.

"Lo harus berprestasi seperti mereka, dan punya mental yang kuat," kata Semesta.

Semua anggota inti Ravens kompak menunduk, dan melakukan introspeksi pada diri mereka masing-masing. Apakah mereka sudah melakukan yang terbaik untuk Visiona? Apakah mereka sudah se-kuat dan seberpengaruh Kaisar dan teman-teman nya di sekolah itu.

"Kita juga harus punya relasi yang kuat di luar sekolah," tambah Rey, karena mereka semua tahu, bagaimana Kaisar berhasil menggabungkan SMA Tunas bangsa, SMA negeri dan SMA Airlangga menjadi satu pasukan yang besar pada saat itu.

Semesta mengulur kan tangan di hadapan teman-temannya dan menatap mereka satu persatu. "Visiona harga mati!" Seru Semesta.

Tujuh anggota inti Ravens yang lain ikut menaruh tangan mereka di atas tangan Semesta. "Visiona harga mati," seru mereka semua bersamaan.

SEMICOLON ;Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang