6•• Kesan buruk

133 9 1
                                    

Melihat Aurora yang di acuhkan oleh sahabatnya, Zen berniat untuk menghibur, dia pun melempar pulpen ke arah Aurora agar menoleh ke arah nya. Dan benar saja, Aurora menoleh ke arah Zen yang posisinya tidak jauh dari Aurora.

"Jangan dekat-dekat, dia anti perempuan," kata Zen setengah tertawa.

Aurora ikut tertawa mendengar perkataan Zen barusan. Dia pun tidak ambil pusing dan memilih mengeluarkan buku tulis nya. Dan, Aurora benar-benar merasakan kesenjangan sosial di kelas ini, karena di antara 30 murid, hanya dirinya yang memiliki buku sangat tipis dan tidak ada tumpukan buku di hadapannya. Aurora melirik sebentar ke arah Semesta, dan mendapati cowok itu sedang membuat balok-balok nada, sama sekali tidak Aurora mengerti laki-laki itu sedang apa. Dia menciptakan lagu? Membuat nada lagu? Atau sedang apa. Aurora hanya bisa melihat ia membuat sebuah tangga nada, padahal di depan, Pak Joko sedang menjelaskan mata pelajaran fisika.

Bel istirahat telah berbunyi, Aurora membereskan buku-bukunya dan alat tulis. Ia ingin menemui Yasmine, namun seorang perempuan berambut pendek menghampiri Aurora.

Dia meletakkan satu buku di meja Aurora dan menatap nya tajam. "Di kelas ini masih berlaku uang kas, dan Lo wajib bayar 50.000 setiap bulan."

Aurora tersenyum dan mengangguk, dia pun mengeluarkan dompet bergambar hello Kitty dari dalam tas nya, dan mengeluarkan uang 50 ribu-an. Aurora kemudian menyerahkan nya pada Jesika, selaku bendahara kelas.

Jesika menerima uang yang diberi oleh Aurora dan segera pergi. Aurora kemudian ingin menghampiri Yasmine, namun gadis itu tidak lagi terlihat dimana pun. Aurora menarik nafas dalam kemudian beranjak dari tempat duduknya.

Dengan hati-hati Aurora melangkah keluar dari kelas, kini sepanjang lorong di isi siswa dan siswi yang memegang buku, beberapa duduk di kursi dekat pintu dengan laptop di pangkuan mereka, ada juga yang sedang sibuk menghafal. Aurora merasa benar-benar berbeda, semangat belajar siswa dan siswi Visiona benar-benar patut di acungi jempol. Aurora berjalan ke arah kiri dan tersenyum ramah kepada setiap orang yang melintas. Aurora mulai bingung, karena ia sudah berjalan jauh namun tidak menemukan dimana toilet lantai dua.

"Gue juga bilang apa, Lo sih tolol."

"Eh, ada anak baru."

Aurora mendongak, dan melihat empat pria yang berdiri di hadapannya.

"Ha-hai." Aurora menyapa sembari melambaikan tangan nya.

Zen dan Jiva melihat sekeliling mereka. "Lo mau kemana?" tanya Zen.

"Toilet," jawab Rora pelan.

Jiva memasukkan kedua tangan nya ke dalam saku celana dan menatap Aurora dengan serius. "Malu bertanya sesat di jalan, benar adanya."

Jiva kemudian menunjuk ke arah belakang Rora. "Disana toilet perempuan, ayo kami antar."

Rora pun menurut, mereka berjalan bersama-sama. Aurora bukan menguping, namun telinga nya tidak sengaja mendengar perbincangan ke empat sahabat Semesta, mereka mengatakan bahwa mereka ingin berkumpul di markas. Aurora berpikir banyak tentang Semesta dan teman-teman nya, hingga ia tersentak ketika Jiva menarik tangan nya, Jiva pun menunjuk ke arah kanan.

"Ini Toilet," katanya.

Aurora mengangguk dan segera masuk, di dalam ada beberapa siswi yang memperbaiki penampilan mereka.

"Gue nggak habis pikir, kenapa Ravens gak dibubarin aja. Kemarin aja mereka buat masalah lagi di luar."

Samar-samar Aurora mendengar perbincangan dua siswi yang berada di luar bilik.

"Bener banget, lagian setelah Ravens generasi pertama bubar, geng itu udah gak jelas. Lebih baik di bubarkan dari sekarang, daripada mereka bawa bencana lebih banyak."

"Kayaknya kita demo aja deh, kan sekarang Visiona udah di pegang Bu Shena."

"Perlu kita bicarakan."

Kedua siswi itu kembali diam ketika melihat Aurora keluar dari salah satu bilik. Aurora tersenyum kikuk. "Gak papa, aku gak dengerin obrolan kalian kok."

Setelah mengatakan itu, Aurora segera keluar dari toilet, dan melihat empat pria sekelas nya yang masih setia menunggu di depan toilet.

"Maaf merepotkan kalian," ucap Aurora pelan.

"Nggak merepotkan sama sekali, ini emang tugas laki-laki. Salam kenal, gue Aizen. Biasa di panggil Zen." Zen mengulurkan tangan nya dan langsung di terima oleh Rora.

"Gue Jiva."

"Gue Aden."

"Gue Arzan."

Aurora hanya bisa melambaikan tangannya menyapa ke empat pria yang kini berdiri di hadapannya.

"Ada yang perlu kita bicarakan." Aurora berbalik badan ketika melihat Semesta yang melintas tanpa melirik dirinya.

Zen menepuk pelan bahu Aurora. "Santai aja, Semesta bilang ke kami bukan Lo."

"Ayo." Jiva pun mengajak teman-teman nya untuk menyusul Semesta yang sudah pergi bersama Rey, Juan dan Eros.

Semesta sudah duduk di kursi paling belakang warung mas bro, di samping kanan nya ada Eros dan Juan sedangkan di kiri ada Rey. Semesta mengaduk pelan kopi capuccino yang telah ia pesan dengan pikiran menerawang kemana-mana. Ada rasa tidak tenang di hatinya ketika tidak sengaja menatap mata bulat Aurora.

"Gue benci dia."

Rey, Juan dan Eros langsung menoleh pada Semesta yang tiba-tiba saja berbicara dengan nada pelan.

"Siapa? Bokap Lo?" tanya Eros.

"Nyokap Lo?" tanya Juan.

Semesta menoleh ke arah kedua sahabatnya itu. "Semua."

Rey mengetuk-ngetuk pelan meja warung, dan menoleh ke arah Semesta. Dia sebenarnya tahu siapa yang Semesta maksud. "Kenapa? Lo bahkan baru lihat dia selama beberapa jam."

"Mata nya mengingatkan gue..."

"Nyokap Lo?" Rey langsung memotong ucapan Semesta.

"Gue tahu," ucap Rey lagi. "Gue juga merasa, karena pertama kali dia masuk ke dalam kelas gue malah ingat nyokap Lo."

"Lo berdua lagi ngomongin siapa sih?" tanya Juan yang mulai resah, karena tidak mengerti siapa yang Rey dan Semesta bicarakan.

"Nggak deh, gue nggak merasa Aurora mirip sama nyokap Lo," tutur Eros yang memiliki pendapat berbeda.

"Tante Pevita kan maksud Lo berdua?" tanya Eros memastikan.

Rey menggeleng. "Nyokap kandung Semesta."

Eros mengangguk paham. "Emang Lo pernah lihat dia secara langsung? Semesta aja baru ketemu sekali sama dia, itu pun waktu dia masih kecil."

"Gue ketemu kemarin," jawab Rey.

Sontak Juan dan Eros terkejut mendengar penuturan Rey, karena semua anggota inti Ravens tahu, kalau ibu kandung Semesta tidak pernah pulang untuk menengok anak nya itu.

"Lo nggak ada niatan nemuin dia, Ta?" tanya Juan hati-hati.

Semesta dengan cepat menggeleng. "Gue gak akan pernah nemuin dia, Sampai gue mati."

Rey berpikir sebentar, dan kemudian menatap Semesta. "Kemarin gue lihat nyokap Lo bawa anak perempuan, kira-kira umur 14 tahun. Itu anak nya?"

Semesta menggeleng. "Mungkin."

Rey menepuk pelan bahu Semesta. "Selalu ada pelangi sehabis hujan."

Semesta menatap Rey tajam. "Tapi gue gak butuh pelangi!"

SEMICOLON ;Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang