Adrean berdiri diam menatap pintu ruangan operasi, wajahnya datar tanpa ekspresi, namun walaupun begitu, perasaan khawatir menggerogoti hatinya. Andai dia tau jika semua ini akan terjadi, mungkin Adrean tak akan pergi terlebih dahulu ke kantornya hanya untuk mengurus berkas-berkas sialan dari sekertaris nya itu.
Saat ini Keenan tengah dioperasi, dan operasi sudah berjalan selama 4 jam, namun lampu itu belum juga padam, lampu yang menandakan bahwa operasi itu belum selesai. Adrean muak menunggu, rasanya dia ingin membanting barang-barang disekitarnya.
"Bagaimana? Apa dokter sudah keluar?" Max datang, diikuti Haris dan Fadlan yang nampak tak baik baik saja.
Adrean menatap sekilas, "Kenapa peduli, ayah? Bukankah ayah membenci Keenan? Anak yang sudah merenggut bunda dari ayah, iya kan?" Ucapannya membuat Max terdiam, fikirannya kacau, hatinya pun seperti diporak-porandakan karna keadaan Keenan yang sering dia sebut sebagai anak sialan itu.
"Gak sopan! Kenapa lo gak jawab pertanyaan ayah aja sih?"
"Haris, kau bodoh atau bagaimana? Lihat ke atas pintu operasi, apakah lampunya sudah padam, atau belum? Karna, jika kau pintar, kau pasti tau. Tak mungkin seorang dokter akan meninggalkan pasiennya yang sekarat, kan?"
Rahang Haris mengeras, "Maksud lo gue bodoh, gitu?!"
Adrean tersenyum miring, "Bukan saya yang mengatakannya, tapi nada dan gelagat tak terima yang kau perlihatkanlah yang menjadi bukti bahwa kau memang bodoh,"
"LO--"
"Stop! Haris, berhenti berdebat dengan kakakmu, atau ayah akan menyuruhmu pulang sekarang juga?"
Mendengar itu, Haris mendengus, menduduki dirinya, lalu menatap pintu operasi lama-lama, hingga akhirnya tak lama lampu itu padam, dan pintu perlahan terbuka, membuat Haris yang baru saja duduk, bangkit dan mendekat.
"Dok--"
"Bagaimana keadaan adik saya?" Adrean menyela terlebih dahulu ucapan adiknya, dan, sejak kapan Haris jadi peduli pada Keenan?
"Syukurlah, Operasinya berjalan lancar walau sempat terjadi beberapa kendala karna henti jantung dari pasien, tapi untungnya pasien dapat bertahan. Dan gumpalan darah, juga retakan pada bagian tulang rahangnya sudah kami tangani, untuk saat ini saya nyatakan pasien sudah keluar dari masa kritisnya, dan pasien akan saya pindahkan keruangan ICU terlebih dahulu, karna pasien masih membutuhkan perawatan intensif untuk luka-luka dibagian luarnya," Keempatnya yang ada disana mendengarkan dengan seksama.
Adrean mengangguk, "Baik, terimakasih Will," Masih ingat dengan William? Ya, dokter yang menangani Keenan saat pertama kali datang ke tubuh Keenan Adiputra.
"Sama sama, saya permisi," William melangkah pergi, tak lama pintu ruangan terbuka lebar, dan beberapa orang perawat dengan Scrub Suits, sembari menarik ranjang pesakitan yang diatasnya terdapat Keenan dengan beberapa alat medis ditubuhnya.
Ranjang itu ditarik menuju ruang ICU, Adrean memperhatikan dalam diam sebelum berdehem untuk menyadarkan tiga orang lainnya, "Hm.. Sebaiknya kalian pulang,"
"Kenapa gue harus pulang?"
Adrean menaikan alisnya sebelah, "Kenapa pula kamu harus berdiam diri disini? Oh, apakah kamu ingin menjaga anak yang sudah membuat bunda tiada?" Ujarnya dengan nada mengejek.
"Lo-Arghh! Sialan!" Haris melangkah pergi dengan tangan yang terkepal, diikuti oleh Fadlan yang sedari tadi tak bersuara.
Adrean tersenyum tipis, puas karna dua bajingan itu sudah pergi dari hadapannya, lalu dia beralih menatap Max yang masih diam.
'Tidak ingin pergi, ayah?"
"Tidak akan," Adrean menganggukan kepalanya dengan raut tak yakin, tak lama suara dering ponsel terdengar, suara itu berasa dari ponsel milik Max.
Pria yang masih memakai jas itu mengambil ponselnya, menerima panggilan tersebut dan menjawabnya dengan singkat sebelum mematikan panggilan itu, "Saya pergi dulu, ada hal yang harus saya urus," Max melangkah pergi meninggalkan Adrean yang terkekeh karna merasa konyol.
"Lihat, bunda? Omongan mereka hanyalah sebuah kata tak bermakna yang tak bisa saya percaya, saya yakin, tak lama lagi sikap bajingan mereka akan kembali muncul karna dia," Adrean bergumam, sebelum melangkah menuju arah ruang ICU.
...
Dilain tempat, seorang pria duduk dikursinya dengan angkuh, menatap bawahannya yang saat ini tengah menundukkan kepapanya.
"Jadi, ada informasi yang kau dapatkan?" Pria yang sering dipanggil sebagai Mr.Less berucap dengan nada menuntut, membuat bawahannya itu mengangguk.
"Ada Tuan. Dari informasi yang saya dapatkan dari bawahan saya, Tuan Keenan kembali masuk kerumah sakit, karna terjatuh dari tangga, dan ditempat kejadian, ada seorang remaja yang menjadi tersangkanya,"
Mr.Less mengangguk, "Siapa namanya?"
"Fadlan Yurission, anak ketiga Maximillian dan Kiara,"
Sudut bibir Mr.Less terangkat, tangannya itu mengetuk ngetuk meja yang ada didepannya, "Baiklah, buat anak bernama Fadlan itu celaka, karna sudah berani mencelakai permataku,"
"Baik Tuan," Bawahan Mr.Less mengangguk, kemudian keluar dari ruangan suram tersebut, meninggalkan sang atasan yang kini tengah memperhatikan foto Keenan.
"Kau memang bukan anakku, tapi kamu sudah menjadi tanggung jawabku, karna dia berada di dalam dirimu,"
Double update nih! Tadinya mau panjang, but otak gue buntu. Terus sorry-sorry ya karna slow update, gue sambil baca-baca cerita laim biar tulisan gue lebih baik.
Jangan lupa follow gue, dan vote book ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Keenan (ON GOING)
Non-FictionKala itu, Keenan baru saja pulang dari tempat lomba olimpiade berlangsung dengan sebuah piala berukuran sedang ditangannya. Namun, saat masuk kedalam rumahnya, Keenan malah dikejutkan oleh sang kakak yang menodongkan pistolnya dengan tatapan datar y...