Cklek--
Adrean memasuki ruangan ICU dengan tenang, manik kelamnya menatap tubuh Keenan yang terbaring dengan ventilator yang terpasang apik untuk membantu adiknya bernafas. Suara EKG atau lebih dikenal dengan nama Elektrokardiogram yang menjadi alat deteksi detak jantung, memenuhi ruangan putih yang ditempati Keenan.
Adrean mengelus puncak kepala Keenan dengan hati-hati, takut bila gerakannya akan membuat salah satu alat medis yang ada di tubuh adiknya terlepas.
"Maaf, bunda.. Saya lagi dan lagi gagal untuk menjaga permata terakhirmu," Mata Adrean memejam, rasa bersalah menyeruak didalam hatinya, andai bisa, Adrean ingin menggantikan Keenan saat kejadian itu. Sayangnya, andai yang Adrean ucapan, hanyalah sebuah andai yang tak bisa Adrean lakukan.
"Lihat? Adikmu lucu, ya?" Adrean menatap lamat wajah mungil bayi yang ada didalam gendongan bundanya Kiara, lalu mengangguk dengan sebuah senyuman bahagia.
"Ini adik Adrean, kan? Boleh gak, Adrean yang namain bayinya?" Adrean yang masih berumur 18 tahun itu, menatap bundanya dengan tatapan memohon, yang membuat Kiara mengangguk.
"Boleh, kakak mau kasih bayi ini nama apa?"
Adrean mengulum bibirnya, menahan untuk tak menyentuh bayi itu, karna masih sangat sensitive, kata bundanya, "Adrean mau kasih nama, Keenan Adiputra, bagus gak bun?"
Kiara mengangguk, menatap wajah bayi yang resmi diberi nama Keenan Adiputra dengan mata yang hampir menitikkan liquid bening, "Keenan. Kakak siap gak, jagain Keenan kalo misalnya bunda tiba-tiba pergi?" Kiara menatap anak sulungnya.
"Mn.. Adrean siap bunda, asalkan itu bisa buat bunda bahagia, Adrean siap jagain adik Adrean sampai kapanpun itu. Tapi bun, bunda ngomong kaya gini, emangnya bunda mau kemana?"
Kiara tersenyum, lagi, senyuman yang memberi arti berbeda, yang tak Adrean pahami, "Bunda nggak akan kemana-mana, bunda akan selalu ada bersama kalian, selamanya,"
Adrean yang pada saat itu memang masih labil, mempercayai ucapan bundanya. Tapi, keesokan harinya, setelah dia pulang sekolah, Adrean justru mendapati kabar bahwa bundanya tiada karna sebuah penyakit yang tak Adrean ketahui. Dan, sejak saat itu pula, Adrean yang hangat dan periang, menghilang bersama kepergian bunda Kiara, sosok bunda sempurna yang sangat dia sayangi, melebihi nyawanya sekalipun.
Mengingat hal itu, Adrean mendadak menjadi lemas, andai dulu dia peka. Mungkin bundanya masih ada disisinya sampai saat ini, dan juga kebencian yang ayah, dan dua adiknya berikan pada Keenan, tak akan pernah ada apabila bundanya masih hidup sampai sekarang. Tapi, sekali lagi, itu semua hanya perandaian, yang tak akan pernah bisa terjadi.
Mencoba tenang, Adrean menghela nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskan. Perlahan, dia membuka matanya, menatap lagi tubuh Keenan yang terbaring diatas ranjang pesakitan, "Maaf, karna saya sempat tak menyukaimu. Cepatlah bangun, karna saya sangat siap untuk menebus semua itu, menebus waktu kecilmu yang seharusnya bermain, malah harus menerima siksaan dari tiga bajingan itu," Ucap Adrean, sebelum melangkah keluar dari ruangan putih ini dengan langkah tegas yang membawa aura kengerian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Keenan (ON GOING)
Non-FictionKala itu, Keenan baru saja pulang dari tempat lomba olimpiade berlangsung dengan sebuah piala berukuran sedang ditangannya. Namun, saat masuk kedalam rumahnya, Keenan malah dikejutkan oleh sang kakak yang menodongkan pistolnya dengan tatapan datar y...