Orange Light

22 9 4
                                    

(Sieng! Sieng! Sieng!) Suara seseorang meneriakkan kata "Sieng" berkali-kali, membuatku terbangun.

(Sieng! Sieng! Sieng!) Kembali terdengar berulangkali.

"Brisik! Ganggu orang tidur aja!" Teriakku.

"Ho wong?" Terdengar jelas orang itu berkata "Ho wong" kepadaku setelah aku berteriak.

"Hemm, ho wong? Apa artinya? Aku bangun lagi, mataku! Mataku! Nyata!!! Mataku seperti semulanya.. apa lagi sekarang ya tuhan!!!" Sedikit kesal, berpikir seperti aku sedang dijahili oleh seseorang.

"Ho wong?"

"Apasih! Aku ngga ngerti bahasamu," sentakku.

"Ho wong?"

Berkali-kali mendengar kata itu membuatku ingin berhenti mendengar.

"Kalo kupikir-pikir, suaranya laki-laki, sepertinya baru berumur 50-an tahun. Nadanya begitu rendah, seraknya sangat jelas. Hallo? Apakah kamu mendengar ucapanku? Hallo!!!" Heranku sekarang dengan kejadian ini.

"Ho wong?"

"Ho wong apa sih ya tuhan! Sulit sekali menebak bahasa asing yang tak bisa kulihat cara tubuhnya berbicara."

Suara "Ho wong" yang terdengar seperti bertanya kepadaku, sudah terucapkan berkali-kali dan kupingku sampai ingin kulepas. Tetapi aku tidak berpikiran seperti itu lagi, aku harus berusaha berkomunikasi dengan orang dibalik kegelapan ini.

Mencoba berbicara dengan bahasa internasional..

"Hi! Do you hear my voice? I need your help!" Ucapku dengan sangat keras.

"Sieng! Sieng! Sieng!" Terdengar lagi.

"Buset dah, hallo!" Sampai dibuat heran oleh suara yang membuatku semakin bersemangat.

Didalam kegelapan yang menyelimuti seluruh hidupku sekarang, aku sangat senang dengan mendengarnya suara dari manusia selain diriku disini, walaupun aku masih belom bisa berkomunikasi dengannya secara jelas. Aku terus mencoba berbagai bahasa yang aku mengerti, namun tak satupun dari perkataanku yang dapat diterima orang itu. Tak tahu orang atau bukan, yang pasti aku yakin suara itu adalah suara orang tua yang berumur kisaran 50 tahun. Aku mencoba mengingat kembali orang-orang yang pernah kutemui dengan nada suara yang mirip dengan yang kudengar saat ini.

"Hmm, Tretes bukan. Kapten juga masih muda, aku ngga pernah denger nada suara ini dikapalku. Tapi, aku kayaknya pernah denger deh.. dimana yaa?" Sambil mengingat-ingat kembali siapa sebenarnya yang mengeluarkan suara itu untukku.

Waktu perlahan telah berlalu, sedikit bingung kenapa suara tadi tidak muncul kembali. Aku mencoba berteriak untuk menguji kesadaran kedua telingaku.

"Hallo!" Ternyata masih terdengar.

"Terus, kemana suara tadi pergi?" Tanyaku yang kesepian.

Suara bernada rendah dengan sedikit serak yang sempat membuatku kesal, kini justru aku mengharapkan kedua telingaku mendengarnya lagi. Aku seperti merasa mempunyai teman ketika mendengar suara manusia selain diriku disini. Akupun berteriak-teriak

"Hallo! Hallo! Where are you going?" Mengulangi beberapa kata dengan teriakkan keras, membuatku sedikit lelah. Aku memutuskan untuk merehatkan diriku sebentar. Sembari memikirkan hal yang bisa kulakukan disini, mencoba berbagai cara untuk dapat menggunakan kesempatan yang ada walaupun sangatlah kecil keuntungannya untukku. Aku mencoba berteriak kembali dengan cara orang yang mengucapkan kata tak kukenali.

"Sieng! Sieng! Sieng!" Beberapa detik sehabis aku meneriakkan kata "Sieng", mulutku menjadi bisu kembali seperti sebelumnya, membuatku tak bisa mengeluarkan suara lagi. Sontak akupun terkejut, berteriak kata "Sieng" kembali didalam hati. Berharap kondisi akan berbalik baik lagi, justru membuat situasi semakin parah. Mulutku tak hanya bisu, namun juga terasa panas dan perih. Yang paling parah, bibir bawahku seperti sedang dijepit oleh alat penjepit terkuat yang tak kuketahui. Rasanya sangatlah menyakitkan, membuat jantungku berdegup kencang, sampai meneteskan air mata dengan rintihan sakitku yang membuatku ingin segera pingsan kembali.

"Tidak akan, tidak akan pernah menyerah!" Teriakku dihati dengan rasa sedih.

Memaksakan diriku untuk terus berteriak walaupun tak dapat mengeluarkan suara sedikitpun. Lelah sekali, sangat sakit, takut, ingin kubuang semua rasa yang tak ingin kurasakan. Melihat sedikit cahaya jingga, aku bertanya-tanya.

"Cahaya jingga, bagaimana bisa ada cahaya jingga?" Berpikir dan terus berpikir.

"Oh, aku tahu! Karena cahaya kuning bertemu dengan darah di bibirku yang berwarna merah, sehingga cahaya itu berubah warna menjadi jingga. Sebanyak inikah darah yang aku keluarkan dari bibirku?" Heranku dalam hati.

Tak lama kemudian, aku melirik kebawah dan melihat ada sesuatu yang jatuh dari mulutku.

"(Ceplek!) Uh, bibirku copot?! Kenapa bisa!" Sambil menahan rasa sakit yang sangat pedih menyiksa diriku.

Sebelum aku melihat kejadian itu, saat bibirku terasa sangat panas seperti dibakar dengan api yang sangat panas, tiba-tiba rasa itu hilang sepersekian detik, membuatku mati rasa untuk sementara. Setelahnya, aku melirik kebawah dan melihat bibirku yang sudah ada di bawahku dengan ditutupi cahaya jingga yang memenuhi warna bibirku.

Aku yang sangat kesakitan tetap berusaha tenang, karena aku belajar untuk tetap tenang walaupun seluruh tubuhku hancur. Aku harus selalu berpikir matang, memikirkan cara dan langkah selanjutnya.

Disaat cahaya jingga itu memancarkan sinarnya yang menyilaukan mataku, aku terkejut bisa dengan mudah memantulkan cahaya jingga itu ke berbagai arah. Mata kananku bisa memantulkan cahaya jingga, bisa membuat sebaran yang diatur sendiri dengan mataku. Semakin kecil aku membuka mata kananku, semakin tajam, lurus, dan kecil pula sinar pantulan yang dihasilkan. Semakin aku melebarkan mata kananku, semakin lebar pula sinar yang dipantulkan oleh mata kananku. Dengan pengetahuan baru ini, aku memanfaatkan cahaya jingga yang sedang mengarah ke mataku. Aku tak tahu dan tak memikirkan dari mana cahaya ini berasal, yang penting aku bisa memanfaatkan keuntungan dari cahaya jingga.

Aku mencoba fokus sekarang, lebih fokus daripada fokus umum. Seluruh proses pikiran aku hentikan untuk memproses hal yang akan kulakukan sekarang. Pertama aku buka sangat lebar sekali mata kananku. Memantulkan ke segala arah dengan cahaya pantulan dari cahaya jingga. Belum menemukan hasil apa-apa, aku terus mencoba untuk mengecilkan sedikit mata kananku. Sekarang, pandangan pantulannya mulai sedikit mengecil dan lebih fokus. Namun, belum juga menemukan apapun disekitar pantulan cahaya yang aku pantulan dan arahkan keberbagai arah. Semakin kukecilkan, semakin sakit menerima cahaya dari cahaya jingga ketika ingin memantulkannya. Aku yang sedang fokus ultrapun tak merasakan sakit itu. Mulai membuka mata hanya setengah, aku mulai melihat seperti rantai terlihat samar ada diarah 0101 dari semua arah 01001, 010001, 0100001, dan 01000001. Dengan rasa penuh penasaran, akupun mengecilkan pandangan mata kananku dengan sangat kecil, mengarahkannya kearah 0101 dan melihat lebih jelas benda yang mirip seperti rantai besi. Ketika aku memfokuskan cahaya yang kupantulkan dari mata kananku kebenda seperti rantai besi, terjadi cahaya pantulan dari benda rantai besi menuju mata kananku dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya. Aku spontan menutup mataku dan ketika kubuka, bibirku sudah seperti semula.

Continue to the next chapter

Buat kamu yang ingin menambahkan ide di Novel ini yang berjudul "The Sailor 1Miliar Volt", bisa tinggalkan pesan dikomentar.

~Selamat melanjutkan perjalananmu dengan Anja~

The Sailor 1Miliar Volt - On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang