008: Di Bawah Rintik Hujan

56 21 1
                                    

Pagi ini nampak terjadi kerusuhan di rumah desa padi. Suara dari 8 mahasiswa itu tak kalah semrawutnya dengan suara kokok ayam pejantan milik warga.

"Senaaa! Cepetan!" teriakan Nafisya pagi itu cukup menggemparkan. Wajah kusutnya bercampur emosi yang kian meninggi karena pintu tak kunjung terbuka.

"Bentar, masih mules!" sahut Sena dari dalam kamar mandi. Kesal pada Sena membuat Nafisya kian bersungut marah. Ia menendang-nendang pintu dengan tidak sabar.

"Cepetan ih!" teriaknya kembali.
"Ke kali aja sono Sya!" sahut Sena kembali, berbarengan dengan suara brot yang membuat Nafisya langsung menjauh sembari mengibaskan hidungnya karena bau.

Disisi lain, Nadea nampak sedang menggoreng ikan pindang yang barusan di belinya. Wanita itu sibuk dengan masakannya yang aka disuguhkan pada semua temannya. Bau wangi dari aroma ikan yang terciprat minyak panas pun menguar membuat perut Keivano tidak sabar.

"Udah belum Nad?" tanyanya sembari melongokkan kepala, melihat ke wajan penggorengan.

"Belum," balas Nadea cepat, "Ini kurang beli terasi sama tomat aja. Beliin gih!" pinta Nadea.

Keivano menatap Nadea tak terima, "Kok gue?" protesnya, "Udah keburu laper masa suruh belanja?!"

"Ya kalau gak mau disambelin yaudah," balas Nadea sembari mengendikkan bahu. Akhirnya, dengan sangat terpaksa ia pun berlalu masuk ke kamar.

"Nafisyaa, gue ambil duid kas buat beli tomat!" teriak Keivano.

"Di dompet biru, Kei!" sahut Nafisya. Gadis itu masih memilih berjongkok di depan kamar mandi dan berharap Sena akan segera keluar. Tak mungkin ia pup di luar karena tidak ada penutupnya.

Keivano pun segera keluar, ia sempat celingukan mencari tukang sayur untuk membeli tomat itu.

"Dimana dah?" gumamnya heran, Keivano tak pernah berbelanja sayur sebelumnya. Seringnya ia mengantarkan mamanya ke supermarket, itupun seringnya ia memilih nongkrong di foodcourt ketimbang ikut mamanya. Ia sebagai orang baru disana akhirnya memutuskan berjalan, sembari mencari orang terdekat untuk ia tanyai. Senyum Keivano mengembang begitu ia melihat seorang nenek tengah menyapu halaman rumahnya.

"Punten Mbah, penjual sayur di daerah sini dimana ya Mbah?" tanya Keivano dengan ramah.

"Sopo yo iki?" tanya wanita tua itu sembari menatap Keivano lekat.

"Saya mahasiswa pengabdian Mbah," jawab Keivano ramah.

Wanita itu masih menatap Keivano lekat, kemudian ia tersenyum lebar, "Ealah, Nak. Kamu ini cucuku yo," ujarnya riang. Kontan Keivano terhenyak, kaget dia karena di kira cucu si mbah.

"Bu-bukan Mbah."

"Iyo, kamu iki anak e Dirjan to? Putuku seng nek Jakarta? Sek lagi kuliah le? Kene, kene, mlebu umah sek. Mbah kangen karo awamu," ujar mbah itu dengan aksen Bahasa Jawa-nya. Ia mengungkapkan jika Keivano anak dari anak pertamanya. Wanita itu mengajak Keivano masuk ke rumah dan menyatakan jika ia kangen padanya.

Keivano menggeleng, bingung ia hendak mengatakan apa karena tangannya di genggam oleh mbah itu dan diajak masuk ke rumahnya.

Disisi lain, Jevian yang selepas mandi di kolam laki-laki sebelah langgar (mushola) pun berjalan dengan riang. Wajah lelaki itu nampak segar setelah terguyur air. Di bahu kanannya tersampir kaos yang barusan dia pakai. Jevian memutuskan mandi di luar karena kamar mandinya sudah di klaim Sena sejak shubuh tadi, akhirnya ia mengalah pada anak keolahragaan itu.

"Ada mas-mas ganteng," bisik ibu-ibu saat melihat keberadaan Jevian yang tengah berjalan di deretan rumah warga.

Jevian membungkukkan badannya dan tersenyum ramah, "Mangga Bu," ujarnya.

Avec VousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang