010: Kedatangan Pak Ali

36 19 0
                                    

Seluruh mahasiswa pun mulai mengeksekusi untuk membuat penutup. Mereka membagi tugas agar cepat selesai. Untungnya, mereka juga dibantu dengan warga sehingga cepat selesai. Tak hanya bapak-bapak saja yang berperan, ibu-ibu juga turut andil dalam memberikan konsumsi buatan mereka.

"Punten Mas, Mbak, ini ada jamu kunir buatan saya sendiri," ujar seorang ibu semberi memberikan satu morong besar jamu buatannya.

"Ini saya tadi buat cilok," ujar bu RT sambil memberikan satu loyang cilok serta cilok tahu dan juga bumbu-bumbunya.

"Widih, terimakasih ibu!" sahut Sena, lantas ia langsung duduk di pelataran rumah dan mengambil sunduk untuk menusuk cilok. Sena menyenderkan tubuhnya yang lelah, nikmat dunia sekali bisa duduk menikmati semilir angin lalu makan cilok.

"Bantuin bege!" teriakan Keivano membuat Sena kelimpungan. Nampaknya Keivano kesal karena ia belum mengambil istirahat tapi Sena malah banyak duduk.

"Ya maap," balas Sena cepat.

Keivano berdecak, "Iket aja Pak ini orang terus gorok lehernya!" tekan Keivano pada Pak Ali, nampaknya anak teknik elektro itu marah pada Sena.

Setelah memakan waktu dua jam lebih, akhirnya penutup itu selesai juga. Mereka seketika lega, karena setelah ini tak ada sesi berebutan kamar mandi lagi.

"Capek bener ya," ujar Sena, lelaki itu nampak mengibas-ngibaskan buku tulis di depan wajahnya. Ia begitu kelelahan setelah aktivitas panjang yang mereka lakukan. Pembuatan penutup untuk kamar mandi di dekat blumbang juga kali kecil sebelah sawah ternyata menyita cukup banyak energi mereka.

Tak berbeda dengan Senapati, Keivano juga langsung menggelegar ke lantai. Tak peduli rambutnya kotor atau apapun. Sementara Jevian dan Azkara tengah menyenderkan tubuhnya di tembok sembari menselonjorkan kaki.

Aroma bau ikan asin, sambal terasi, sayur bening juga lauk tempe dan tahu kontan semerbak saat hidangan itu di bawa oleh Azkia dan Nafisya menuju ke depan. Sontak hal itu disambut riang oleh seluruh mahasiswa yang kelaparan.

"Wah, baunya enak ya," ujar Pak Ali, ia akui bahwasannya aroma ikan asin cukup menggugah selera makannya. Ditambah satu cobek besar sambel terasi yang sangat menggoda untuk segera di cicip.

"Ini nasinya," ujar Nadea yang baru saja keluar dengan membawa satu wadah besar nasi. Tak lupa Azkia juga turut masuk untuk mengambil piring dan sendok.

"Silahkan dinikmati makannya," ujar Nafisya dengan ramah, "Monggo Pak ambil yang banyak," lanjutnya mempersilahkan kepada warga untuk makan yang banyak. Hidangan pun dinimati oleh seluruh orang-orang. Mereka beramai-ramai menyantap apa yang mahasiswi itu buat.

"Wah, sambelnya enak Pak," puji Pak Rohman, sembari mencolek tempe ke sambel dan kembali memakannya, "Bisa nih jadi calon mantu saya," lanjutnya kembali. Tatapan Pak Ali langsung tertuju pada ketiga mahasiswinya itu.

"Hayoo, ini siapa yang buat? Mau di sunting jadi mantunya Pak Rohman tuh," ujar sembari tertawa.

"Azkia Pak," balas Nafisya cepat sembari menyenggol lengan temannya. Gantian seluruh temannya tertuju pada Azkia yang duduk di paling ujung. Wanita itu sontak kaget dan menghentikan kunyahannya.

"Owidi, Azkia dapat besan nih. Habis ini kita ada hajatan nih," ujar Sena sembari kembali menyentong nasi. Entah berapa ronde dia sudah makan sore itu. Tak terhitung jumlah centong nasi yang masuk ke piringnya.

Azkia mendelik, "Ih, enggak!" tolaknya. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya karena takut.

"Anak saya tentara mbak. Sedang pendidikan dia," cetus pria itu kembali, ia masih menunjukkan jati diri anaknya sebagai seorang abdi negara itu, "Dia sepertinya seumuran dengan Mbak-nya, ah mungkin beda tipis usianya," lanjut lelaki itu.

Avec VousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang