002: Menuju Lokasi Survey

54 32 9
                                    

"Azkia mana?" pertanyaan itu dilontarkan oleh Senapati untuk yang ke-5 kalinya saat Askara dan Keivano datang paling belakangan. Askara langsung mengendikkan bahunya menyatakan tidak tau. Sementara Keivano kontan menggeleng, ia juga tidak tau akan hal itu. Sudah dua jam lamanya mereka menunggu personil mereka lengkap untuk pergi ke desa yang akan mereka gunakan untuk pengabdian selama 5 bulan ke depan.

Abidzar saat itu datang bukan yang pertama. Ada Jevian dan Nadea yang datang lebih dulu. Fyi, mereka memang sepakat untuk ke desa di keesokan harinya. Berhubung waktu mereka mepet, mereka harus segera memastikan tempat tinggal, dan letak sekolah mereka nanti. Hitung-hitung, survey yang mereka lakukan juga untuk melihat kondisi desa.

Abi melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia sudah pusing duduk lama untuk menunggu 5 anggota mereka berkumpul. Cowok itu menatap ke arah Sena, "Lo gak tau dia dimana, Sen?" tanya Abi penuh tuntutan. Sebelumnya memang si Senapati inilah yang paling aktif di grup mereka. Jam 3 pagi saja ia sudah menelfon Abidzar dengan dalih agar sang ketua itu tidak telat.

"Enggak, Pak," jawab Sena kalem. Hal itu dilakukannya karena Abidzar seolah menunjukkan mode perang kepadanya. Abi sama sekali tidak ramah hari ini.

Abi yang saat itu tidur dengan lelapnya seketika bangun kala ponselnya terus berbunyi. Awalnya Abi tak menanggapi, namun setelah 4x ponselnya berbunyi, barulah Abi langsung bangun saat itu juga. Abi mengambil ponselnya yang ada di nakas, ia semakin menggeram kesal begitu mendapati Senapati yang sedang menelfonnya.

"Apa sih anj****!"

Tidak ada salam, dan tidak sapa dengan lembut. Abidzar langsung ngegas saat itu juga. Ia memang sangat kesal karena kegiatan tidurnya diganggu oleh Senapati.

"Eh, santai Pak Ketua! Kenapasih marah-marah mulu. Kerasukan ya?" tanya Sena dari seberang sana.

Abidzar tak menjawab. Ia menghela napas setelah beberapa saat, "Ada urusan apa?" tanya Abi kembali. Kali ini ia sudah merendahkan suaranya, namun masih terkesan cuek.

"Barang-barang udah disiapin semua belum, Pak?" tanya Sena lagi. Abidzar mengernyitkan alisnya, agak heran dengan pertanyaan yang Senapati tanyakan.

"Udah."

"Terus, udah Whatsapp kepala sekolah sama bapak kepala desa, gak?" tanya Senapati kembali. Sebelumnya, Abidzar sebagai ketua kelompok diminta oleh Pak Ali--dosen pembimbing lapangan---untuk memberikan kabar kepada sekolah yang akan mereka tempati bahwa mereka akan berkunjung kesana di hari itu. Pak Aliansyah juga sudah mencari kontak nomor sang kepala sekolah dari Pak Dendy sebagai koordinator kegiatan pengabdian.

"Udah," balas Abi lagi dengan sangat malas.

"Oh, yaudah," sahut Sena lagi, "Jangan lupa nanti bangun pagi ya, Pak," balasnya kemudian ia langsung mematikan ponselnya secara sepihak. Abidzar menaikkan alisnya, namun emosinya sudah memuncak saat itu juga gara-gara ulah Senapati. Kurang ajar sekali anak itu, pagi-pagi sudah membuatnya emosi.

"Dia telat lagi," gumam Abi dengan kesal. Bukannya apa-apa, kemarin ia sudah memberikan peringatan kepada Azkia agar tidak telat. Anak itu sudah terlambat saat pertemuan pertama mereka. Namun, Pak Aliansyah bisa memakluminya. Dengan ramah pria itu tersenyum dan mempersilahkan Azkia untuk duduk.

"Mungkin kena macet kali, Bi," kali ini Jevian angkat suara. Laki-laki yang sejak tadi diam dan tanpa mau berucap apapun itu akhirnya memberikan opininya. Sekalipun Jevian sendiri tidak tau itu benar atau tidaknya. Di sebelah Jevian ada Nadea, gadis psikologi yang terlihat cantik nan anggun. Gadis itu turut mengangguk, menyetujui ucapan Jevian.

"Iya, mungkin dia masih kena macet di jalan," imbuhnya.

Abidzar terdiam, ia melirik Nadea sekilas. Dalam hati, Abidzar bertanya-tanya kenapa gadis itu dari awal mereka bertemu selalu dekat dengan Jevian. Bahkan, saat Abi berangkat tadi, Jevian dan Nadea sudah duduk berdua. Abi sempat menduga jika keduanya berpacaran. namun ternyata sehari lalu Senapati sempat nyeletuk begini, "Ngapain bingung kagak laku, orang Jevian yang ganteng paripurna aja juga masih jomblo," begitu katanya. Lantas, jika mereka bukan pacar, kenapa bisa sedekat itu? Ck, Abidzar benci menduga begini. Nanti sajalah ia akan bertanya pada Sena lagi. Sekalipun ia sungguh malas berurusan dengan Senapati yang ujungnya selalu membuatnya emosi. Pokoknya yang terpenting sekarang, bendaharanya itu, Azkia, segera datang agar mereka segera berangkat.

Avec VousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang