Chapter 6 [titik terang]

53 42 8
                                    

Happy reading
_________

Semenjak mereka pindah, di situlah kami benar-benar terpisah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Semenjak mereka pindah, di situlah kami benar-benar terpisah. Waktu itu aku tidak sempat ataupun terpikirkan meminta nomor ponsel Bu Aidah dan pak Edan.

Mereka juga tidak bersuara jika akan pindah, dan itu terjadi mendadak sekali. Biasanya, setiap hari Senin Kamis, aku selalu berkunjung ke rumah mereka. Membawa buah tangan adalah hal wajib aku lakukan ketika datang.

"Nak, jangan bawa apa-apa, ibu jadi gak enak hati."

Sekilas aku kembali ke ingatan beberapa tahun lalu, ibu Aidah selalu begitu.

Di balik semua ini, ada cerita lucu yang tersemat. Setiap aku mengenang kembali, tawaku selalu terlepas. Bisa-bisanya aku mengalami kejadian itu yang hampir membuat aku meregang nyawa.

Ayo kembali sebentar. Saat itu aku masih duduk di bangku SMP kelas dua. Karena ragaku ini ingin sekali mandi pantai, pertengah pelajaran, aku bersama beberapa teman-teman sebaya memutuskan untuk bolos.

"Haha."

"Kenapa lu? Ketawa sendiri kayak orang gila aja."

Mengingat masa lalu membuat tawaku pecah, wajar saja Bian menatapku seperti sekarang ini.

"Fokus bikin PPT aja sialan!"

Umpatku membuat dia mempersiapkan ancang-ancang akan melayangkan sebuah pukulan. Namun, akulah yang memukulnya duluan hingga berbekas.

"Aduh! Sakit goblok!"

"Gak selesai malam ini, liat aja besok!"

Ancamanku sukses membuat Bian terdiam dan kembali fokus pada layar laptop, aku terkekeh sebelum kembali mengerjakan makalah.

Sampai saat itu, kami semua akhirnya tiba di pantai dengan air yang tenang. Bahagianya masih terasa hingga sekarang. Beramai-ramai kami berlari mencelupkan diri ke air sejuk membuat sebuah kenangan yang terus membekas.

Aku tak tau, jika di situ banyak ubur-ubur yang juga sedang menikmati sejuknya air. Karena terlalu bahagia, sampai akhirnya ubur-ubur itu menyengat seluruh badanku hingga biru jadinya.

Sakit dan perih, aku tak mampu lagi berenang. Teman-temanku takut, Karena ubur-ubur itu sedikit banyak, mereka tidak bisa melakukan apa-apa.

Jika saat itu, ibu Aidah dan pak Edan tidak ada, entah apa jadinya aku kala itu. Aku ditolong, digendong ke rumah mereka. Dibuatkan teh manis, serta merawatku karena tubuhku mulai demam.

Rasa terimakasihku, belum bisa membalas jasa meraka. Janjiku dilangitkan saat itu juga, aku harus menepatinya.

"PUTRA!"

"Gue gak budek, jangan pake teriak segala njing."

"Lagian, gue panggil dari tadi lo gak bergeming sialan."

Ubur-ubur Cinta [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang