Hafsa berlari tergopoh-gopoh karena jam ditangan kirinya menunjukkan pukul 7.55 pagi. 5 menit lagi kelas akan dimulai dan entah mengapa jarak kelas yang akan ia pakai dengan parkiran universitas tiba-tiba saja seperti memiliki jarak yang begitu panjang.
"Gue telat anjir, bisa ngga sih waktunya jadi lambat."
"Please, pengen jadi superhero biar bisa lari kilat," guman Hafsa sembari berlari dengan kecepatan diluar nalar.
Entah sial atau bagaimana, Hafsa yang berlari tanpa fokus dengan sekitar tiba-tiba saja menabrak seseorang yang sedang berlari karena sama-sama sedang dikejar oleh waktu.
"Maaf kak, maaf buru-buru takut telat," ucap Hafsa tanpa memperhatikan seseorang yang ia tabrak tadi.
Toh dirinya dengan korban yang ia tabrak tidak mendapatkan sebuah luka. Walau Hafsa sedikit mengumpat karena ucapan permintaan maafnya tidak direspon sama sekali.
✧*˚🍓*˚✧
Entah bagaimana, dosen yang mengajar sekarang mendadak mengumumkan bahwa hari ini jadwal yang seharusnya daring dirubah menjadi tatap muka.
Untuk manusia yang bernama lengkap Loka Mahendra, yang selalu memanfaatkan waktu sebaik mungkin karena kadang capek dengan kerja, ia tertinggal informasi dan baru membuka chat grub pada jam 7 dini hari.
Dengan berfikir bahwa melewati gedung fakultas pendidikan adalah jalan pintas tercepat menuju ke gedung falkutasnya adalah hal yang benar. Tetapi untuk hari ini ia malah membuang waktu beberapa menit karena ada seseorang mahasiswi yang berlari dan menabrak Loka.
"Hafsa?" gumannya setelah menengok siapa orang yang telah menabrak dirinya. Sebelum menengok sebenarnya Loka sudah menduga jika mahasiswi itu adalah Hafsa karena suara khasnya.
"Parfum lavender, masih suka bau itu ternyata." Senyum dari bibir Loka terbit seketika mendapati bahwa dirinya baru saja bertemu dengan Hafsa tanpa disengaja.
"Deketin lagi sabi nggak ya?" tanya Loka sedikit ragu.
✧*˚🍓*˚✧
"Lah kok pada keluar?" tanya Hafsa bingung dengan kelakuan teman sekelasnya. Bukankah sekarang ada kelas?
"Jujur Sha, lu kalau denger ini pasti marah-marah sih," ucap Gita.
"Bener banget, apalagi lu yang harus effort lari-lari kek dikejar setan," sahut Rora ikut menimpali.
"Kelas dibatalin lagi?"
Rora dan Gita serempak mengangguk menjawab pertanyaan Hafsa.
"Shibal, Sumpah mau gue maki tapi Dosen sendiri." Peristiwa pembatalan kelas mendadak seperti ini memang sering dialami oleh beberapa mahasiswa.
Apalagi semendadak yang dialami oleh Hafsa. Bagaimana tidak informasi pembatalan yang dikirimkan digrub ternyata jam 8:55 dan disaat itu Hafsa sedang berlari mengejar sebuah waktu agar tidak telat.
"Udah deh nggak usah dibawa pusing, mending kita makan-makan ke cafe yang baru grand opening beberapa Minggu lalu, sambil nunggu kelas berikutnya."
"Boleh sih, gue ngikut." Hafsa menganggukkan kepalanya dan segera keluar kampus bersama ketiga temannya dengan kendaraan masing-masing.
Jarak antara kampus dengan cafe yang baru saja dibuka tak jauh hanya memakan waktu 10 menit untuk sampai ke sana.
Cring
Lonceng pintu berbunyi saat Hafsa membuka pintu cafe. Saat pertama kali memasuki cafe tersebut ia merasakan suatu Dejavu yang benar-benar melekat disetiap interior cafe.
Bukankah ini kayak suatu desain interior yang pernah Loka cerita sama gue ya?
Tapi nggak mungkin ini punyanya dia sih, karena setau gue dia buka cafe baru bukan didaerah sini.
"Ngomong-ngomong, lu sekarang masih jomblo ya Sa?" Tanya Gita membuyarkan pikiran Hafsa yang penuh dengan teka-teki.
"Iya, kenapa emang?" tanya Hafsa kembali sembari berjalan menuju ke meja yang tak jauh dari ia berdiri.
"Cuman kaget aja sih, padahal kating yang deketin lu aja lumayan," Sahut Rora menanggapi.
"Bukan masalah tentang lumayan atau engga sih Ra, tapi emang Gue butuh suatu jeda ya walau emang memakan waktu yang bisa dibilang lama." Menurutnya tak mencari pasangan sesegara mungkin setelah putus adalah suatu hal yang harus dinormalisasikan. Ya walau pendapat Hafsa kadang lebih sering dibilang katro atau apalah itu, tapi menurutnya itu adalah sebuah self reward untuk diri sendiri agar lebih memahami karakter diri sendiri.
"Masih gamon?"
"Bentar, Kak boleh kesini sebentar?" tanya Hafsa mengancungkan tangannya untuk memberikan tanda keberadaannya.
"Iya kenapa kak?" tanya barista cafe mendatangi meja yang sedang mereka duduki.
"Boleh minta daftar menunya?" Pinta Hafsa kepada pelayan cafe.
"Boleh," jawab barista sembari memberikan daftar menunya kepada Hafsa dan segera pergi meninggalkan mereka bertiga.
"Mending pesen dulu, habis itu kita cerita." Hafsa segera membaca daftar menunya dengan perasaan bingung.
Ini benar-benar seperti apa yang diplanning oleh Loka beberapa bulan sebelum mereka putus. Apakah ini benar-benar cafe milik Loka? Dan informasi tentang cafe milik Loka di blok A adalah kesalahan?
Harus gue selidiki nggak sih? Tapi kalau gue selidiki pasti isinya makan ati.
"Kenapa sih lu? Habis masuk ke cafe ini ngelamun terus perasaan," tanya Gita heran dengan gerak-gerik Hafsa yang begitu mencurigakan.
"Ngga, cuman kaget aja ini 70% makanannya ada stroberinya," elak Hafsa.
Dia benar-benar naif, tak mungkin seorang loka yang notabenenya adalah mantan kekasih akan tetap membuat suatu desain interior dan menu cafe yang dulu ia impi-impikan. Dan bisa saja, ini benar-benar bukan cafe milik Loka.
"Gue juga kaget sih, gue kira itu cuman hoax ternyata bener 70% makanan disini di dominasi sama stroberi," Rora ikut menimpali ucapan Hafsa.
"Eh bentar deh Sa, gue baru inget."
"Ini tuh yang punya cafenya mantanmu kan?"
"Hah, emang iya?" tanya balik Hafsa sedikit tidak percaya.
Jika ucapan Gita adalah sebuah fakta, bisa dikatakan ini adalah suatu musibah. Ia takut untuk bertemu dengan Loka secara langsung.
"Kayaknya sih, dari rumor. Menfess kampus nggak ada kabar sama sekali, jadi bisa dikatakan rumor itu masih Fifty-Fifty."
"Oh, yaudah deh," jawab Hafsa tersenyum sedikit lega. Masih bisa berharap bahwa pemilik cafe ini Loka hanyalah rumor belaka.
Alina 🦁
26-11-2023
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
ambivalen (END)
Teen Fiction[⚠️NO COPAS!!] [HARAP FOLLOW SEBELUM BACA] Ketika Hafsa dan Loka bertemu lagi, perasaan yang tertinggal kembali memanas. Dari pertengkaran di parkiran kampus hingga kenangan manis masa lalu, mereka berdua harus menghadapi kenyataan bahwa perasaan la...