ledakan

26 4 9
                                    

Hafsa sore ini begitu tak berselera, entah mengapa firasatnya mengatakan akan ada kesialan yang menimpa dirinya.

"Mbak," panggil Haifa sembari menggendor pintu kamar dengan semangat.

"Buka aja, nanti malah rusak pintunya kalau kamu gituin," jawabnya dengan suara lelah.

Haifa membuka pintu dan masuk ke kamar Hafsa. "Mbak, aku udah siap buat les. Kamu kan yang nganterin?" tanya Haifa sambil mencincing tas berwarna merah bata.

Hafsa menghela napas panjang, "Iya, mbak yang antar. Ayo kita pergi sebelum terlambat," jawab Hafsa sambil berdiri dari tempat tidurnya dan mengumpulkan energi untuk mengantar adiknya.

Dalam perjalanan menuju tempat les, Hafsa berusaha mengusir perasaan negatif yang menghantui pikirannya. Ia berusaha fokus pada sore ini dan berharap semuanya akan berjalan lancar sampai berganti hari

Sesampainya di tempat les, Hafsa melihat anak-anak yang sedang bermain di halaman. Mereka terlihat sangat bahagia dan riang, membuat Hafsa merasa sedikit lebih baik.

"Terima kasih, Mbak. Nanti jemput aku ya," kata Haifa sebelum berlari menuju teman-temannya.

"Iya, belajar yang rajin," ucap Hafsa.

Setelah mengantar Haifa, ia segera berbalik arah menuju ke rumah.

Sesampainya di rumah, ia mendengar suara orang tuanya berbicara dengan nada tinggi dari dapur. Firasat buruknya semakin kuat.

"Mas, bentar ya. Aku mau istirahat sebentar, agak capek," suara ibunya, Ratna, terdengar lelah.

"Capek? Kamu pikir aku nggak capek kerja siang malam buat biayain semua ini?" Wahyu terdengar kesal. "Kamu tahu berapa banyak uang yang sudah aku keluarkan buat kuliah Hafsa? Buat sekolah Haifa juga."

Mendengar itu, Hafsa merasa hatinya seperti ditusuk. Ia langsung melangkah cepat menuju dapur dan berdiri di hadapan orang tuanya. "Apa maksud Bapak bicara seperti itu? Aku sudah berusaha keras kuliah sambil nyari beasiswa dan kerja sampingan, buat ikut bantu biaya kuliah juga."

Wahyu menatap Hafsa dengan tatapan dingin. "Hasilnya apa? Kuliahmu cuma bikin kamu jadi anak yang nggak tahu diri."

Hafsa langsung membalas dengan emosi yang memuncak, "Nggak tau diri gimana sih pak? Aku udah usaha buat menghormati orang yang lebih tua, aku juga udah usaha buat bisa nolong ekonomi kita."

"BERANI YA KAMU MARAH KE ORANG TUA! BELAJAR DARI MANA KAMU JADI ANAK DURHAKA KAYAK GINI?" Wahyu berteriak lebih keras.

Hafsa menahan air mata yang mulai mengalir di pipinya, ia tak menggubris ucapan Wahyu dan fokus untuk mengeluarkan keluh kesahnya. "Aku nggak pernah cerita ke Bapak atau Ibu karena aku nggak mau kalian khawatir. Tapi aku sudah berjuang keras buat tetap berdiri dan berusaha. Tolong, sedikit pengertian dari kalian," katanya dengan suara yang lebih lembut namun penuh harap.

"Apa gunanya semua itu kalau kamu cuma bikin masalah di rumah?" Wahyu kembali menyela.

"Kamu juga sekarang penyakittan, banyak obat di kamar."

"Itu obat biar aku bisa tenang pak! Aku tiap bulan ke psikiater buat konsultasi, aku minum obat itu buat enggak depresi dengan segala situasi yang ada."

"AKU KELIAHATAN TEGAR GINI JUGA BUTUH DUKUNGAN," teriak Hafsa, suaranya pecah. Ia benar-benar tak menyangka bahwa orang tuanya akan mengetahui rahasia terbesarnya.

Wahyu terdiam sejenak, terkejut mendengar pengakuan anaknya. Namun, ia tidak mau mengalah. "Depresi? Itu cuma alasan buat kamu menghindari tanggung jawab! Uang yang Bapak keluarkan itu buat kamu belajar, bukan buat jadi penyakitan! Depresi itu cuman omong kosong, kamu cuman kurang ibadah. Ke psikiater juga cuman hambur-hamburin uang nggak jelas."

"Kamu juga sekarang pinter banget ya bentak orang tua, siapa yang ngajarin kayak gitu? Pinter banget jadi anak durhaka."

"Aku belajar dari apa yang aku lihat pak, bapak yang teriak-teriak ke ibu itu yang aku copy, kalau mau mengelak bukannya tadi habis teriak-teriak nggak jelas ke ibu?" Hafsa berusaha untuk menahan tangisannya.

"Dan tentang masalah depresi kurang ibadah, jangan normalisasikan itu. Penyakit mental bukan karena kurang ibadah, tapi karena segala situasi yang terjadi."

"Emang kalian berdua berantem nggak akan berdampak sama anak kalian? Bapak yang egois, ibu yang suka ngalah, itu kayak bom yang bisa kapan saja meledak bikin rumah berantakan dan enggak bisa utuh," jelas Hafsa.

Wahyu terdiam, tampak terguncang oleh kata-kata Hafsa yang penuh emosi dan kebenaran pahit. Sementara itu, Ratna menatap dengan mata berkaca-kaca, merasakan kesedihan dan penyesalan mendalam.

"Ibu minta maaf, Hafsa. Ibu nggak pernah tahu kamu merasa seperti itu," ucap Ratna dengan suara gemetar.

Hafsa menatap ibunya dengan air mata yang tak bisa lagi dibendung. "Aku cuma butuh dukungan, Bu. Aku butuh kalian untuk mengerti dan berhenti saling menyalahkan."

Wahyu, yang biasanya penuh dengan amarah dan otoritas, kali ini terlihat kebingungan dan kalah. "Maafkan Bapak, Hafsa. Bapak nggak tahu kalau kamu mengalami semua itu. Bapak cuma mau yang terbaik buat kamu."

Hafsa menghela napas, mencoba menenangkan diri. "Yang aku butuhkan sekarang adalah dukungan dan pemahaman, bukan tuntutan dan kritik. Kita semua butuh untuk saling mendukung, apalagi di saat-saat sulit seperti ini."

"Aku enggak mau keluarga ini hancur, aku mau keluarga ini kayak dulu pas aku kecil. Memancarkan keceriaan, bukan sebuah kesuraman."

Ratna meraih tangan Hafsa, menggenggamnya erat. "Ibu bakalan berusaha jadi lebih baik. Kita akan mencoba jadi keluarga yang saling mendukung, keluarga yang diinginkan sama Hafsa."

Wahyu mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Iya, kita akan berubah. Bapak akan berusaha lebih baik."

Hafsa merasakan sedikit beban terangkat dari pundaknya. Meskipun masalah mereka belum sepenuhnya terselesaikan, setidaknya ada titik terang untuk masa depan mereka sebagai keluarga."Terima kasih, Bu. Terima kasih, Pak," ujar Hafsa dengan suara lembut.

"Kita bisa mulai dari sini, bersama-sama."

Alina 🦁
16-08-2024
TBC

ambivalen (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang