konsultasi

84 20 41
                                    

"Sa, ayo konsul." Ela menggoyangkan badan Hafsa agar mendapatkan jawaban dari sahabatnya itu.

Sudah sekitar 30 menit Hafsa bergumam tak jelas karena mendapati berita yang tak mengenakkan.

Alasan dibalik ini adalah berita kecelakaan Loka Mahendra. Ia merasa, dirinya termasuk bersalah karena menyumpah serapahi tadi sore di parkiran kampus.

"Iya Sa, lu udah lama kan engga Konsul?" ucap Jihan merasa khawatir dengan kondisinya.

"Sa, Konsul ayo. Nanti kita yang anter pake mobilnya mas Regan. Lu kalau enggak mau Konsul sekarang, nanti malam enggak bisa tidur."

"GUE ENGGAK MAU KONSUL. KALIAN KENAPA SIH KEUKEH BUAT NYURUH GUE KONSUL?!" teriak Hafsa kesal.

Ia sudah lama membolos jadwal konsultasinya dengan psikiater. Hafsa rasa dirinya sudah baik-baik saja.

Walau, sebenarnya jika dilihat oleh orang lain. Hafsa tidak baik-baik saja, Hafsa sangat berantakan.

"Apa yang lu takutin?" tanya Jihan sembari membalikan badan Hafsa agar dirinya bisa menatap manik matanya.

"Ruangan serba putih? Atau butiran tablet yang engga tau jumlahnya itu?"

"Lu benci butiran tablet itu karena sering nambah tiap Konsul. Padahal yang salah itu lu kan? Sukanya bol-"

"Udah La, jangan mojokin Hafsa sekarang," potong Jihan.

Hafsa mendengar celotehan kedua sahabatnya itu hanya bisa mendengus kesal. Ia hanya malas untuk melihat banyak orang menatap dirinya seperti orang gila saat menunggu antrian di poli jiwa.

Bukankah dirinya tidak gila? Hafsa rasa dirinya masih seperti orang normal pada umumnya. Kenapa tatapan yang ditunjukkan untuknya seperti orang gila yang seakan-akan kapan saja bisa melukai orang?

Apalagi, saat orang tua bertanya dengan  lugasnya, dan memberikan sebuah komentar yang membuat dirinya semakin sakit hati. 'sering ibadah, lebih dekat lagi dengan Gusti Allah' ia harus sedekat apa? Ia selalu melakukan ibadah wajib setiap hari, ia selalu mengamalkan apa yang ia bisa amalkan sesuai ajaran agama.

"Sa, Konsul ya?" tanya Jihan sekali lagi.

Hafsa menggeleng lemah, "Engga Han, gue ngerasa kayak nggak pantes." Ia merasa dirinya masih bisa mengkontrol jikalau anxiety disorder kambuh karena mendapati suatu peristiwa yang tak menggenakan.

"Nggak pantes buat apa sih Sa?" tanya Ela semakin naik pitam mendengar jawaban dari Hafsa.

"Lu nggak cocok sedih kek gini, gue sukanya lu itu ceria, suka nyebar energi positif, bukan energi amburadul," ucap Ela.

"El, di rem bentar buat emosinya. Takut Hafsa makin parah," ujar Jihan berusaha untuk menangani mereka berdua.

Ah, Jihan menjadi semakin pusing. Satu pihak keras kepala, satu pihak lagi emosi nggak bisa ditahan. Ia rasa, lebih baik mendengarkan mereka berdua adu debat.

Mendengar ucapan Jihan, Ela seketika diam. Walau dirinya masih saja marah-marah didalam lubuk hatinya.

"Lu Konsul sekarang, benefitnya lu boleh bahas mantan lu itu selama sebulan."

"Apaan, kok jadi gini. Hafsa dilarang bahas mantan aja masih bahas, apalagi dibolehin sama lu Han, makin pusing aja gue dengernya nanti," protes Ela tak terima dengan ide gila Jihan.

Bagaimanapun, ia merasa kewarasan juga harus diutamakan. Mendengar pembahasan mantan kekasih Hafsa, sudah seperti menonton sinetron televisi yang sangat memusingkan alurnya.

"Demi Hafsa, ngalah bentar La."

"Oke, kalau gitu lu juga harus ngasih gue info cowok yang gue demen," ucap Ela tak mau kalah.

"Lu masih ngincer dia?" tanya Jihan heran.

"Bentar, kalian berdua ngomongin apaan?" sahut Hafsa tiba-tiba.

"Sekarang lu siap-siap ajadeh Sa, gue mau balik dulu ambil mobilnya Mas Regan." Jihan melangkah keluar dan melambaikan tangannya mengisyaratkan berpamitan.

"Hah? Kok?" tanya Hafsa tak mengerti alur hidup yang sedang ia jalani sekarang.

Ela yang melihat kebingungan Hafsa hanya bisa tersenyum penuh misteri dan segara mendorong Hafsa ke kamar mandi untuk segera berganti pakaian dan bersiap-siap pergi menuju ke rumah sakit.

✧*‌˚🍓*‌˚✧

Ruangan ber-cat putih yang sedang Hafsa singgahi sekarang diselimuti oleh keheningan yang mencengkam.

Ia merasa sedikit takut untuk bertanya karena raut wajah sang dokter seperti ingin sekali menerkam Sang pasien.

Rika merasa sedikit lepas kendali untuk tidak memperlihatkan raut muka kesal, bagaimana tidak kesal? Pasiennya sudah membolos kontrol rutin dan tiba-tiba datang kembali dengan kondisi yang semakin tidak beraturan.

"Bu, aku enggak kenapa-kenapa kan?" tanya Hafsa sedikit ragu dengan pertanyaan yang ia lontarkan.

"Coba kamu tanya dengan diri kamu sendiri terlebih dahulu, sebelum menanyakan keadaanmu kepada orang lain," jawab Rika dengan halus.

Hafsa mendongakkan kepalanya sembari menatap langit-langit ruangan, "Aku nggak tau Bu."

"Rasanya, kayak ada yang kosong."

"Apalagi, mantan pacar tadi habis kecelakaan. Kecelakaan setelah ketemu aku beberapa bulan setelah putus lagi."

"Aku merasa bersalah, kayak kecelakaan itu gegara ucapanku."

"Dan, aku sedikit kesal. Engga sedikit sih Bu, lebih tepatnya banyak banget."

"Aku kasihan ibu, dirumah suka ngalah setiap hari, apalagi emosi bapak yang apa-apa harus dituruti. Kayak apaan, iyasih dia kepala keluarga. Tapikan harus tau juga istrinya baru ngapain, bikin kopi sendiri sesekali juga bisa, bikin mie sendiri sesekali juga bisa."

Konsultasi yang memakan kurang lebih 1 jam itu akhirnya  selesai dengan hasil yang sedikit menjengkelkan untuk Hafsa.

Karena, saat keluar dari ruangan serba putih itu, ia membawa struk obat yang harus ia tembus di apoteker sebanyak 8 resep.

Ia berasa seperti robot, jika tidak meminum tabletnya energinya akan hilang.

"Mau jengguk Loka sekalian?" tanya tiba-tiba Ela.

"Enggak, wajah gue aja kayak manusia kurang nutrisi kayak gini," kesal Hafsa. Bagaimanapun ia masih harus memperhatikan penampilannya.

"Mending nunggu kalau lu udah mendingan, daripada malah nambah pikiran gegara lihat kondisinya Loka," sahut Jihan realistis.

"Yap, bener ucapan lu Han. Gue sekarang jadi mau pancake stroberi dah gegara ucapan lu itu," ucap Hafsa.

Mendengar celotehan Hafsa yang sedikit aneh, Jihan dan Ela reflek menatap Hafsa dengan wajah curiga. "Lu engga kenapa-kenapa kan Sa?"

"Gue aja ngga bahas pancake stroberi, tiba-tiba pengen makanan itu," ucap Jihan heran dengan Hafsa.

"Gue fine, cuman dikit ngelu aja mata gue karena kebanyakan nangis."

Alina 🦁
1/06/2024
TBC

ambivalen (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang