kata ibu

117 25 46
                                    

"Loka, kamu nanti kirim bingkisan ini ke kosan milik budhe Imah!" suruh Nilam sembari fokus memasukkan beberapa barang ke satu tas berukuran sedang.

"Bapak aja buk, Loka baru ngerjain kerjaan banyak nih nangung dikit lagi."

Nilam mendengus kesal mendengar penolakan dari anaknya, "Enggak harus sekarang kok, besuk aja sekalian kamu mau ke kampus. Bingkisannya juga engga cepet basi."

"Yaudah deh, nanti kirim petanya pake google maps. Loka belum tau kosan punya budhe Imah di daerah mana," jawab Loka mengiyakan perintah ibundanya.

Mau menolaknya lagi pun Ia tidak tega, toh sekalian ke kampus dan satu arah.

"Kamu belum ada niatan buat balikan sama Hafsa?" tanya Nilam tiba-tiba dengan nada menyindir.

Ia bertanya dengan anak semata wayangnya itu bukan hanya seolah-olah kepo, tetapi masih mengharapkan bahwa Hafsa bisa menjadi calon menantunya kelak.

Ya, walau memang ibundanya tak paham betul dengan alasan mengapa pasangan itu putus. Tetapi ia meyakini bahwa masalah itu masih bisa diselesaikan dengan baik-baik.

"Nggak, aku juga udah enggak ada rasa."

Mendengar respon yang diberikan oleh anaknya Nilam merasa ada sesuatu hal yang semakin aneh,"Ngibul kan kamu?" tanya Nilam sama sekali tak percaya.

"Ya kenapa emang kalau Loka udah nggak suka?"

"Ya aneh. Yang suka curhat sama oyen itu siapa? Hantu atau Kodam kamu? Bunda sering denger ya, apalagi kamu suka ngingau pas tidur kalau kecapean."

Loka seketika menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena tertangkap basah,"Sekeras itu?"

"Iya, udah kayak pake toa."

"Kalau masih suka itu bilang, umurnya dah siap nikah dia. Kamu kalau keduluan bukan cuman pacaran, tapi ditinggal nikah!" ucap Nilam dengan kesal.

"Dia belum lulus S1 bu, dia dulu aja bilang mau nikah kalau udah lulus S2," bela Loka tak mau kalah.

Sebenarnya setelah mendengar ucapan ibundanya, Loka merasa sedikit was-was dan takut. Jika tiba-tiba ia menyebarkan undangan nikah dan namanya hanya tertulis sebagai tamu undangan bukan orang yang akan menikahi Hafsa.

Jika itu benar-benar terjadi, sepertinya Loka akan mengurung dirinya didalam kamar selama beberapa Minggu.

Membayangkannya saja sudah mengerikan, apalagi situasi itu beneran terjadi.

"Ka, bayangin dong. Kamu jadi Hafsa terus ketemu sama cowok yang udah mapan, keluarganya ngertiin dia, terus bisa paham sama keadaannya."

"Dia nggak bakal nolak dan bakal setuju," ucap Nilam berusaha menyakinkan anaknya.

Perempuan itu pasti yang paling dicari dari calon pendamping hidup adalah yang pertama mapan, kedua sifat mengayomi.

Jika keduanya sudah memenuhi, terakhir hanya masalah kita menyukai atau tidak.

Toh, jika hanya cinta tapi tidak mapan dan mengayomi tak membuat pernikahan itu langgeng. Kebanyakan perceraian juga karena masalah ekonomi dan kdrt.

"Ibu, kenapa malah nakut-nakutin gitu?" tanya Loka tak habis pikir.

"Biar kamu sadar, malas ibu punya anak cowok yang nggak sat-set, sukanya gantung hubungan, mengutamakan gengsi, cuman suka ngasih kode ngga ada tindakan yang langsung kelihatan hasilnya." Nilam mengeluarkan semua fakta yang dimiliki oleh Loka dengan satu tarikan nafas.

Jika Nilam bercerita di depan keluarga besar, sepertinya Loka akan mengubur dirinya sendiri secepat mungkin.

Harga diri Loka sangatlah tinggi, tetapi harga diri Loka bisa turun drastis jika mendengarkan kalimat yang diucapkan oleh ibundanya barusan.

"Mending sekarang aja bu mana, di rumah cuman disindir terus."

"Langsung chat budhe Imah aja, bingkisannya tas merah," ucap Nilam tersenyum kecil. Usahanya sekarang sepertinya akan berhasil.

✧*‌˚🍓*‌˚✧

"Ini bukan sih?" guman Loka melihat sekitar kos.

Dari google maps yang ada dilayar hpnya memang benar ini tempatnya. Tetapi kenapa suasana yang terlihat dari luar sangatlah sepi.

Padahal biasanya kos itu identik dengan sebuah kata ramai. Sepertinya itu pengecualian untuk kos putri mungkin.

"Tanya langsung aja deh, daripada nunggu lama." Loka segera mengetuk pintu itu tanpa pikir panjang.

✧*‌˚🍓*‌˚✧

Hafsa tiba-tiba merasakan suatu firasat yang tidak enak menghampirinya, meskipun sepanjang waktu dia hanya rebahan santai menonton drama Korea di dalam kamar kosnya. Pikirannya terganggu oleh perasaan yang tidak dapat dijelaskan, membuat perasaan gelisah dan waspada terhadap apa yang mungkin terjadi hadir.

Atau, ia berfikir ini efek samping dari menonton drama Korea bergenre thriller. Apalagi saat menonton drama Korea tadi, kos sepi dan hanya dihuni oleh dirinya dan ibu kos, karena tetangga kos memiliki kesibukan di luar sana.

Tiba-tiba bunyi notifikasi pesan muncul dilayar handphonenya. Dengan cekatan Hafsa membaca pesan itu.

Bocil
[Kak, ibu sama bapak perang dingin lagi.

Anda
Kamu nggak kenapa-kenapa kan tapi?]

Bocil
[Enggak, tapi kaca di kamar ibu jadi korbannya sekarang.

Anda
Yang terpenting, nggak ada yang luka. Kalau ada apa-apa langsung bilang jangan diem aja.]

Hafsa meremat handphone miliknya dengan sangat keras, dia ingin keluarganya tak mengedepankan suatu ego. Ia benar-benar kasihan dengan sang adik yang harus berusaha dewasa dengan umur yang baru menginjak umur 11 tahun.

Tok tok tok

"Suara apaan itu anjir," ucap Hafsa kesal.

"Permisi." Ucapan itu terucap setelah suara ketukan pintu berbunyi.

Mendapati  bahwa suara itu berasal dari seorang tamu, ia segera beranjak pergi dari kamar untuk menemui tamu asing itu yang datang ke kos.

Untuk Hafsa menemui tamu yang datang di kos seperti sebuah rutinitas, karena pemilik kos ini berpesan jika ada tamu temui dulu entah siapa yang ia cari nanti.

Karena Hafsa memang sering di kos, dan keluar jika hanya ada pekerjaan yang diharuskan keluar seperti mengajar les. Jadi bisa dikatakan orang yang selalu menemui tamu pertama kali adalah Hafsa.

"Bu Imah ada?"

Hafsa mendongakkan kepalanya untuk memastikan pendengaran telinganya itu benar dan jelas.

Bangsat, kenapa dia kesini?

"Oh, bentar gue pangillin." Hafsa melangkahkan kakinya untuk meninggalkan tamu dan memanggil Bu kos, tetapi saat dirinya ingin melangkahkan kakinya tangannya ditahan.

"Sa," panggil Loka.

"Ada urusan sama Bu Imah kan? Mau gue pangillin," ucap Hafsa berusaha melepaskan tangannya yang digengam oleh Loka dengan erat.

Hari ini plot twist nya benar-benar combo. Kenapa Loka mempunyai suatu urusan dengan Bu kos? Ini menurutnya suatu hal yang diluar prediksi manusia jika Loka adalah keponakan dari Bu Imah.

Karena jika dipikir-pikir, kenapa harus dia yang menjadi keponakan Bu Imah? Atau Hafsa bisa protes dengan kalimat "kenapa harus gue yang ada di situasi ini?"

"Habis gue bicara sama budhe Imah, bisa bicara berdua ngga?"

"Enggak, gue sibuk." Hafsa menolak ajakan Loka tanpa pikir panjang.

Alina 🦁
11-12-2023
TBC

ambivalen (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang