"Bu, gimana caranya biar Hafsa itu percaya sama upaya yang aku lakuin?" tanya Loka setelah tiba di ruang keluarga.
Nilam yang mendengar keluhan anak semata wayangnya pun berhenti melangkah dan segera duduk disampingnya, "Nak, Perempuan tu kadang emang susah ditebak."
"Apalagi untuk memutuskan sesuatu, jika ia sudah melewati fase sakit hati, ia nggak akan semudah itu buat memutuskan sesuatu."
"Hafsa pasti bukan hanya bimbang dengan sifat yang kamu miliki dulu, tapi ia pasti bimbang, apakah dirinya juga sepenuhnya sudah berubah menjadi lebih baik," jelas Nilam.
Loka diam berusaha mendengarkan nasihat yang diucapkan oleh ibundanya. Memang, Hafsa pasti masih takut, apakah kejadian dulu akan terulang lagi. Loka pun sadar, bahwasanya ia masih sedikit ragu dengan ego miliknya, apakah dirinya bisa mengalahkan ego dan tak terulang kejadian seperti dahulu.
"Kalau menurut bapak sih, intinya kamu konsisten. Mau kamu suka Hafsa selama ribuan tahun, kalau usahanya pas mood doang mah sama aja," ucap Surya menimpali.
"Tapi aku udah_"
"Udah lama berjuangnya? Belum ada sebulan toh kamu deketin Hafsa lagi."
"Kalau mau dapetin secara instan mah jangan ngejar Hafsa, dia perempuan baik-baik." Surya menatap manik mata Loka dengan heran.
Bagaimana bisa anak semata wayangnya itu mendapatkan sifat sepengecut ini, Surya begitu heran.
Ucapan yang baru saja didengar oleh Loka sedikit menohok hati kecilnya. Ucapan bapaknya benar, jika ingin segera mendapatkan perempuan tanpa adanya usaha jangan menargetkan Hafsa.
Ia baru sadar, yang ia butuhkan bukan hanya jiwa raga Hafsa kembali, tetapi kepercayaan yang dimilki oleh Hafsa juga kembali. Ia harus mengembalikan kepercayaan itu.
Dirinya begitu digelapkan hatinya karena masalah rumor yang tak berdasar. Ia hanya memaksa Hafsa, tindakan Loka bukan mengurangi beban Hafsa, tetapi menambah beban Hafsa.
"Berarti Loka harus gimana?"
"Ya deketin, tapi jangan grusak-grusuk* kayak tikus."
*Grusak-grusuk= bergerak secara tidak teratur.
"Ya gimana? Loka bingung."
"Intinya jangan maksa dia, dia perlu waktu," jawab Nilam.
"Kalau kamu beneran sayang sama Hafsa, kamu harus percaya bahwa dia beneran butuh waktu buat nyembuhin dirinya sendiri. Kamu enggak ada hak buat maksa Hafsa percaya sama kamu lagi, dan yang kamu lakuin sekarang cuman bisa nunjukin perubahan kamu bukan cuman lewat kata-kata tapi tindakan."
Surya menimpali, "Ingat, usaha itu nggak cuma soal ngejar dia terus-terusan. Kadang, usaha terbesar itu adalah nahan diri buat nggak ngejar, buat ngasih dia ruang supaya dia bisa berfikir dan ngerasain sendiri perubahan yang kamu bawa."
"Brati aku harus sabar ya?" tanya Loka.
"Iya, cowok itu harus sabar apalagi dikemudian hari pasti menghadapi beberapa cobaan," jawab Surya.
"Udah-udah, ini kalian malah kayak anak kecil, adu mulut terus gegara bahas kayak gini. Mending minum teh anget dulu," ucap Nilam sembari meletakan 3 cangkir teh hangat di atas meja.
Surya mengambil satu cangkir teh dan segera menyeruputnya dengan nikmat, "Nah gini kan makin cocok kalau mau nasehati Loka yang membandel."
"Aku enggak bandel ya pak, cuman bingung," bela Loka tak mau bersalah.
"Ya itu, bingungmu itu membandel. Enggak hilang-hilang, aneh."
Loka terdiam menerima serangan beruntun, ia tak bisa membela dirinya. Entah mengapa dirinya seperti terdakwa yang sedang diinterogasi.
"Pak, tapi_"
"Tapi apa lagi?" kesal Surya mendengar ucapan yang dilontarkan oleh anak semata wayangnya.
"Gini lo, gimana caranya aku tau kalau Hafsa masih ada rasa kayak dulu lagi?" tanya Loka hati-hati, ia sedikit takut dengan pertanyaan itu.
Surya menatap putranya dengan serius, ia sekarang makin tak paham dengan pola pikir anaknya ini. "Nak, kalau kamu cuma nunggu kepastian dari perasaan Hafsa buat terus berjuang, berarti kamu nggak benar-benar paham arti cinta itu. Cinta bukan soal nunggu jawaban instan, tapi soal menunjukkan komitmen, walau kamu nggak langsung lihat hasilnya."
Nilam ikut menimpali, "Udah ibu bilang kan tadi beberapa kali, kalau Hafsa itu butuh waktu."
"Dia masih ngasih kesempatan kedua aja itu hal langka, jadi jangan meminta 10 keinginan langsung terwujud dalam satu waktu."
"Bapak udah enggak mau denger pertanyaan aneh-aneh lagi dari mulut kamu," ucap Surya.
Loka hanya bisa diam menerima semua serangan yang dilontarkan oleh kedua orangtuanya menjadi satu.
✧*˚🍓*˚✧
Hafsa merebahkan tubuhnya dengan Perasaan campur aduk, "mengapa harus serumit ini?"
Ia tau, bahwa Loka sudah berubah, atau setidaknya Loka berusaha untuk berubah. Tapi bagaimana ia bisa membuktikan semua perubahan itu? Dan ya, Hafsa saja tidak yakin dengan perubahan yang ia miliki.
Hembusan nafas kasar keluar dari mulut Hafsa, ia benar-benar pasrah dengan semua kejadian yang begitu diluar nalar ini.
Satu hal yang ia tahu pasti 'dirinya masih butuh waktu. Dan mungkin, memberi ruang pada Loka adalah langkah pertama yang tepat' tetapi, untuk hasilnya ia tak bisa berjanji untuk memberikan hasil memuaskan untuk Loka.
"Semoga, waktu menjawab semuanya," bisik Hafsa sebelum dirinya memejamkan matanya.
Alina 🦁
8-9-2024
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
ambivalen (END)
Fiksi Remaja[⚠️NO COPAS!!] [HARAP FOLLOW SEBELUM BACA] Ketika Hafsa dan Loka bertemu lagi, perasaan yang tertinggal kembali memanas. Dari pertengkaran di parkiran kampus hingga kenangan manis masa lalu, mereka berdua harus menghadapi kenyataan bahwa perasaan la...