Hafsa benar-benar sudah muak melihat layar laptop yang sudah ia tatap selama hampir 5 jam nonstop.
"Hal paling nggak gue suka itu nyari artikel yang bikin kepala meledak," kesal Hafsa.
Ia merasa hidupnya semakin monoton jika kegiatan sudah berkutat dengan laptop berwarna abu-abu, "Ngerjain naskah aja nggak sih? Gue pusing anjir nyari artikel yang sesuai sama essai. Agak bangsat emang tadi tiba-tiba keluar dari web."
"Hah?" kaget Hafsa mendengar nada dering.
"Kenapa Loka telepon?" Bingung Hafsa.
"Lama amat dek ngangkatnya."
Hafsa mendengus kesal, "Apaan sih dak, dek, dak, dek gue bukan adek lu."
"Iya-iy__"
"Lu mau apaan sih tiba-tiba telepon? Gue baru sibuk, nganggu kehidupan orang aja."
Loka menjeda jawaban yang akan ia keluarkan, "Nggak jadi deh, lu pasti enggak mau."
"SUMPAH, BANGSAT BANGET JADI ORANG. GUE HERAN KENAPA DULU BISA PACARAN SAMA LU?!"
Loka menjauhkan handphonenya disaat Hafsa berteriak dengan sangat kencang, "Kuping Gue Sa, please jangan suka teriak mendadak."
"Ya lu yang songong, ganggu kehidupan gue. Gue udah ngasih waktu yang gue punya buat jawab telepon yang ada. Tapi lu malah bilang enggak jadi? Bangsat tau enggak sih?"
Hafsa benar-benar kesal sekarang, siapa yang tidak kesal coba jika diganggu seperti ini.
"Okay, gue enggak bercanda sekarang."
"Lu mau ke perpustakaan enggak besok?"
"Enggak, malas." Hafsa menolak mentah-mentah ajakan Loka.
"Beneran enggak mau? Gue cuman mau bantu lu yang kesusahan sama tugas."
Hafsa memutar bola matanya malas, ya kalau sudah menolak kenapa harus ditanya kembali? "Enggak beneran."
"Gue traktir beberapa menu stroberi gratis di cafe gue deh?"
Hafsa terdiam, ia sedang bertengkar dengan dua pihak yang ada di dalam kepalanya.
Pihak A yaitu gengsi
Pihak B yaitu Kesukaan
Benar-benar ia bingung untuk memilih, jika menuruti gengsi ia tidak bisa merasakan Buah stroberi yang sangat enak. Jika langsung mengiyakan, ia takut dicap murahan oleh Loka
Hafsa menghela napas panjang, menimbang-nimbang antara gengsi dan kesukaannya yang besar terhadap stroberi. Akhirnya, setelah beberapa detik, ia memutuskan untuk menuruti keinginannya.
"Oke, deal. Besok jam 10 di perpustakaan kota?" kata Hafsa dengan nada setengah kesal, setengah pasrah.
Loka tertawa kecil di seberang telepon, "Deal! Gue tunggu besok, Sa. Jangan telat ya."
"Ya. Jangan lupa traktirnya," balas Hafsa sambil mematikan telepon.
Ia tiba-tiba berusaha memahami yang barusan saja terjadi, "Kok dia tau kalau gue pusing sama tugas dosen?"
Hafsa tiba-tiba meriding,"Dia enggak punya temen makhluk halus kan?"
✧*˚🍓*˚✧
Keesokan harinya, Hafsa berusaha menepati janji dan tiba di perpustakaan kota tepat pukul 10. Ia melihat Loka sudah menunggunya di depan pintu masuk dengan senyum lebar.
"Selamat pagi, Sa. Udah siap buat hari yang produktif?" sapa Loka dengan ceria.
Hafsa hanya mengangguk malas, "Ayo masuk, gue nggak mau buang waktu."
Mereka berdua masuk ke dalam perpustakaan dan mencari tempat yang tenang untuk bekerja. Suasana perpustakaan yang hening dan sejuk sedikit membantu meredakan kepenatan Hafsa. Loka mulai membantu Hafsa mencari referensi untuk esainya, sementara Hafsa berusaha fokus pada pekerjaannya.
Setelah beberapa jam bekerja, Loka membawakan beberapa buku yang menurutnya relevan. "Sa, coba liat yang ini. Mungkin bisa bantu punya lu dikit-dikit."
"Bentar deh, kok lu bisa tau sih kalau gue baru pusing gegara tugas Dosen?"
"Lu punya kamera pengawas ya dikamar gue?" curiga Hafsa.
"Enggak, gue kan bisa tanya temen gue yang satu fakultas sama lu."
"Kalau gue punya kamera pengawas dikamar lu, ya enggak buat gituan kali," jawabnya dengan seringai kecil tercetak diwajahnya.
Hafsa membulatkan matanya tak percaya, "DASAR COWOK MESUM!"
"Shut, diem jangan bikin bising," ucap Loka membekap mulut Hafsa secara spontan.
Hafsa melempar tangan Loka dengan sekali hentakan, "Lu yang bikin gara-gara ya!"
"Pikiran lu yang kotor Sa, Gue enggak bakal gitu juga," bela Loka.
Ia masih tak percaya dengan ucapan yang terlontar dari mulut Loka, apaan coba bilang 'bukan buat gituan' kalau untuk mencari informasi apakah Hafsa baru sibuk atau tidak kan menurutnya hal positif, berarti yang diucapkan oleh Loka adalah Hal negatif.
"Nggak percaya."
"Udah-udah jangan adu mulut terus, nanti tugas lu enggak selesai. Coba baca buku yang gue baca itu, essai yang lu buat lumayan relevan."
Hafsa mengambil buku yang diserahkan oleh Loka, tetapi dirinya tiba-tiba diam untuk mencerna situasi yang terjadi, "Kok lu tau topik apa yang bakal gue buat?"
Melihat kebingungan Hafsa, Loka benar-benar gemas, "Kan emang kelas lu, ambil topik itu kan? Temen gue satu kelas sama lu, udah deh jangan nething mulu."
"Ah, iya," gugub Hafsa merasa malu dengan tidakkan konyol yang ia buat.
Ia segera membuka bukunya dan membaca beberapa halaman. Setelah membaca beberapa menit, dirinya mendapatkan beberapa poin penting yang diperlukan di tugasnya.
Hafsa melirik Loka yang fokus membaca buku di tangannya, "Thanks, sedikit membatu buat otak pas-pasan kek gue."
"Okay, tapi otak lu nggak pas-pasan."
"Ta__"
"Enggak usah ngerendah, lu itu pinter Sa. Nggak usah bilang yang aneh-aneh, buat gue itu lu bener-bener perfect, apalagi anak gue punya ibu kayak lu pasti pintarnya nurun."
"Mimpi," ketus Hafsa spontan setelah mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan oleh Loka, sedangkan Loka hanya tersenyum melihat sang mantan kesal.
Alina 🦁
11-08-2024
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
ambivalen (END)
Teen Fiction[⚠️NO COPAS!!] [HARAP FOLLOW SEBELUM BACA] Ketika Hafsa dan Loka bertemu lagi, perasaan yang tertinggal kembali memanas. Dari pertengkaran di parkiran kampus hingga kenangan manis masa lalu, mereka berdua harus menghadapi kenyataan bahwa perasaan la...