2

20.5K 1.8K 85
                                    

Orang yang telah meninggalkan dunia, pasti akan berakhir di alam baka. Itulah hal yang dipercayai oleh semua orang. Dan seharusnya memang seperti itu.

Seorang anak berusia 7 tahun kini terlihat menatap linglung pantulan tubuhnya pada cermin usang yang tersedia di tempat tersebut. Ruangan yang begitu kotor atau lebih tepatnya seperti penjara, karena terdapat jeruji besi yang memisahkan setiap ruang, penuh dengan bau anyir, bahkan suara nyamuk terdengar nyaring saking senyapnya.

Tatapan yang terlihat di mata bulat dengan iris hitam kelam itu hanya datar menelisik setiap lekuk tubuhnya sendiri, lalu terhenti pada bagian bawah.

Anak kecil itu mengangkat jari kelingkingnya, membandingkan jarinya dengan bagian selatannya.

"Kecil sekali." gumamnya pelan dengan wajah datar. Padahal miliknya dulu sangat perkasa.

Dia menghela napas berat, seolah ada beban besar yang menghimpit tubuh mungilnya.

"Barak pasti sudah melakukan perintahku untuk mengirim orang-orang itu bersamaku agar tidak kesepian di Neraka. Tapi kenapa aku ada di sini?" ujarnya pelan.

Sesaat hanya ada keheningan. Ingatan yang sempat dia terima berputar bagai rol film di benaknya. Sungguh tidak bisa dipercaya.

"Aku tahu dosaku terlalu banyak, tapi ... apa memang separah itu? Sampai harus menjelma menjadi tuyul kurus kering begini?" lanjut Callaric. Ya, Callaric.

Callaric Louise, orang tua yang sudah seharusnya masuk ke alam baka kini malah berada di dalam tubuh anak laki-laki berusia 7 tahun. Parahnya lagi, anak laki-laki itu memiliki marga keluarga yang sangat Callaric kenali.

Adriano Killian Joiden, itu nama tubuh anak laki-laki berusia 7 tahun tersebut.

Joiden adalah marga salah satu keluarga berpengaruh di New York.

Dan, Callaric ingat pernah bertemu dengan kepala keluarga Joiden. Tapi bukan dalam pertemuan yang baik, karena orang tua itu berusaha untuk menginvasi wilayahnya hingga terjadi perang dingin di antara mereka.

Beberapa kali Callaric beradu tembakan dengan bawahan Pak tua Joiden itu, saat sosok tersebut berusaha untuk melakukan transaksi ilegal di wilayahnya. Karena tidak terima, tentunya terjadi adu tembakan antara kedua belah pihak hingga memakan korban.

Dan kini, dia malah menjadi cucu pria tua itu. Ah, haruskah dia meralat ucapannya?

Cucu yang tidak dianggap, bahkan dicap pembawa sial. Tak segan tubuh mungil yang masih dalam masa pertumbuhan itu mengalami kekerasan fisik, seperti saat ini.

Hanya karena mengambil sepotong roti tanpa izin di dapur, Adriano harus merasakan pukulan rotan di telapak tangannya serta cambukan di punggung dan tak diberi makan selama dua hari lamanya.

Padahal bocah laki-laki itu hanya berusaha untuk bertahan hidup. Dia mencuri juga karena sudah tidak tahan memakan makanan basi yang diberikan oleh para pelayan.

Dengan teganya para orang dewasa itu meninggalkan anak laki-laki tersebut di penjara bawah tanah tempat para pengkhianat setelah menyiksanya dalam keadaan tak memakai busana.

Callaric hanya diam memandang tubuh kurus kering penuh bekas luka lama maupun yang baru pada pantulan cermin usang di hadapannya. Saking tersiksanya tubuh itu, hingga tulang dadanya saja tercetak jelas.

Miris, tapi Callaric sama sekali tak mengeluarkan air mata. Meski kini Callaric merasakan perutnya terlilit karena lapar.

Dia malah menghina tubuh pada pantulan cermin tersebut, "pendek, bodoh lagi."

Callaric menggeleng miris. Bukan bodoh dalam artian seperti yang kalian pikirkan, tapi bodoh karena mau saja diperlakukan hina oleh orang yang lebih hina dari dirinya.

Sebagai orang yang telah melewati berbagai macam situasi, Callaric merasa ini yang terburuk. Bukan dirinya, tapi situasi anak ini.

Callaric memang tidak berasal dari keluarga terpandang. Keluarganya biasa saja sebelum akhirnya dia pindah ke Spanyol saat remaja. Memulai kehidupan dari nol di Negara orang, hingga merasakan pahitnya kehidupan.

Walau dulu dia pernah kelaparan juga saat masih berada di bawah, tapi tetap saja Callaric masih bisa mengisi perutnya dengan mencuri dan tidak ketahuan. Setidaknya saat usianya masih kecil, kedua orang tuanya memenuhi kebutuhannya.

Ayahnya bukan pebisnis, hanya satpam sebuah pabrik. Ibunya hanya Ibu rumah tangga. Tidak ada yang istimewa, bukan? Tapi kebutuhannya saat kecil masih bisa terpenuhi, bahkan mendapat kasih sayang dari keduanya.

Tapi anak ini? Di usia yang masih membutuhkan kasih sayang dan bimbingan, dia malah merasakan penyiksaan fisik dan batin. Padahal keluarga Joiden tidak akan miskin jika hanya memberikan fasilitas dan tunjangan pada anak laki-laki itu.

Callaric kembali menggeleng miris, tak habis pikir dia tuh. Walau tak memiliki anak dan tak pernah membuatnya juga, Callaric sedikit tahu kalau anak seusia tubuhnya sekarang begitu mendamba kasih sayang.

Perlahan Callaric menjauh dari cermin usang itu, mendudukkan diri di pojok ruangan kotor tersebut dengan ekspresi datar. Tangan kanan kecil dan kurus keringnya bergerak menepuk bahu kirinya sendiri.

"Kau kuat, Nak. Hingga bisa bertahan sampai saat ini. Bahkan aku yang sudah merasakan pahitnya kehidupan hingga meninggal, tidak yakin bisa merasakan hal seperti ini saat kecil dulu." curhatnya.

Tetes demi tetes bulir bening jatuh membasahi pipi Callaric, "menangis? Cengeng sekali."

"Bagaimana hiks cara hiks berhentinya?" isak tangis terdengar memenuhi ruangan yang senyap itu.

Callaric tak tahu cara menghentikan air mata yang tiba-tiba membanjiri pipinya tanpa henti. Dia tidak pernah menangis sebelumnya. Bahkan saat kedua orang tuanya meninggal Callaric hanya mematung memandang gundukan tanah itu, sama sekali tak mengeluarkan air mata, sekarang dia tak bisa menghentikan air mata serta perasaan sesak di dadanya.

Perasaan asing yang baru saja dia rasakan. Ini bukan perasaannya, Callaric sangat yakin.

Apa ini perasaan anak laki-laki tersebut?

Kalau benar, katakan pada anak laki-laki itu untuk menghentikan perasaan sesaknya. Callaric tidak terbiasa dengan perasaan aneh ini.

Suara tangis pilu terus menggema selama beberapa saat di tempat senyap itu. Siapapun yang mendengarnya, pasti akan merasakan sakit di dada. Sayangnya, tak ada siapapun di sana.

Perlahan tangis Callaric reda, tapi masih terdengar sesegukan. Sejenak Callaric mencoba menajamkan pendengarannya saat merasa ada suara lain di tempat itu.

Dengan kasar dan cepat Callaric menghapus jejak air mata di pipinya, sedikit mendongak menatap sosok jangkung yang berdiri di balik pintu jeruji besi di hadapannya.

Ekspresi yang terlihat dari sosok itu hanya datar. Namun, Callaric dapat melihat raut prihatin dan kasihan dari iris mata hazel tersebut.

Callaric tak peduli. Ia hanya menampilkan wajah datarnya. Hanya diam saat pintu jeruji besi itu terbuka, "silakan keluar ... Tuan Muda."

Tak ada tanggapan dari Callaric. Bahkan Callaric masih setia meringkuk memeluk lututnya dengan wajah tanpa ekspresi.

Hal tersebut tentu membuat sosok jangkung itu mengerutkan kening. Sepertinya ucapannya kurang dimengerti oleh anak kecil di pojok sana.

"Masa hukuman Anda sudah berakhir, Tuan Muda. Anda sudah bisa keluar dari tempat ini." Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupnya ia mengucapkan lebih dari 5 kata. Patut dirayakan.

Tanpa mengeluarkan suara ataupun sekedar berterima kasih Callaric beranjak perlahan dari duduknya dan berjalan melewati sosok jangkung itu untuk keluar dari penjara bawah tanah kediaman tersebut. Callaric hanya ingin segera membersihkan diri dan memakai pakaian, ia tidak nyaman mempertontonkan miliknya yang bahkan tak sebesar jari kelingkingnya.

CALLARIC || Transmigrasi Villain (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang