Tandai typo~~~
"Adriano Killian Joiden." desis Callaric, membuat tubuh 38 tahun itu tersentak hingga mundur beberapa langkah.
Callaric menghela napas. Sepertinya dugaannya benar. Tubuhnya ditempati oleh jiwa Adriano dan jiwanya justru menempati tubuh 7 tahun pria itu.
Dengan perlahan Callaric menginjakkan kakinya ke tanah. Berjalan mendekati tubuh jangkungnya, lalu menyentuh ujung lengan kemeja tubuh itu sambil mendongak.
"Sepertinya kita perlu bicara empat mata, Adriano Killian Joiden." kata Callaric dengan wajah datar.
Tubuh 38 tahun itu tersentak kemudian mengangguk pelan. Karena sepertinya hal itu memang harus dilakukan. Dan sosok yang menempati raga 7 tahunnya pasti mengetahui sesuatu.
Melihat kanan dan kiri, tubuh 38 tahun itu segera mengangkat tubuh 7 tahunnya. Satu hal yang ia sadari setelah menggendong tubuh 7 tahunnya, tubuh itu jadi sedikit lebih berat. Dan pipi yang dulu ia lihat begitu tirus di cermin, kini nampak sedikit menggembung. Rasanya ingin ia coba untuk mencubit pipi tubuh 7 tahunnya.
"Jangan macam-macam atau aku patahkan tanganmu," ancam Callaric melihat gelagat aneh tubuh 38 tahunnya.
Ia menelan ludah susah payah, sepertinya jiwa yang mengisi raganya adalah sosok pemarah.
Tak ingin memperdebatkan, ia segera melangkahkan kaki panjangnya meninggalkan tempat tersebut menuju lokasi yang paling aman yang bisa mereka tempati untuk berbincang serius.
Callaric hanya diam, tapi sudut hatinya merasakan kekhawatiran. Seperti akan ada hal besar yang terjadi karena dirinya pergi tanpa izin.
'Tidak mungkin pertemuan itu akan cepat berakhir, kalaupun iya. Paling pak tua itu hanya serangan jantung kecil. Tidak sampai mati, karena waktu kematiannya masih 20 tahun lagi.' batin Callaric menampilkan raut tak peduli.
Di waktu yang bersamaan, keributan tengah terjadi di dalam aula besar salah satu hotel. Beberapa orang saling menodongkan senjata dengan raut murka.
Di salah satu kursi yang berhadapan langsung dengan sosok kepala keluarga Joiden, terlihat pria paruh baya berusia 49 tahun berdiri menatap datar hal tersebut.
Wajah tak peduli itu begitu kentara, hingga membuat Herizon yang masih duduk tenang di kursinya menaikkan sebelah alisnya.
"Di mana Tuan-mu?" Herizon bertanya, memecah keheningan di mejanya.
Ramon, pria berusia 49 tahun itu menoleh menatap lawan bicaranya. Memperhatikan dengan seksama sosok tersebut sebelum mengeluarkan jawaban, karena ia harus memperhatikan tutur katanya agar tak mengundang musuh tak berarti untuk sosok yang dia layani yang telah menganggapnya sebagai keluarga.
Walau akhir-akhir ini sikap sosok tersebut terlihat berbeda dari biasanya. Callaric Louise yang ia kenal selalu menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu, merokok setiap saat untuk menghilangkan stres. Tapi beberapa hari ini Sosok yang ia lihat berperilaku sebaliknya.
Tak ada lagi sebatang rokok yang terselip di bibirnya setiap waktu. Meja kerjanya tak lagi terlihat bersih, kini tumpukan berkas penting justru tersusun hingga menjadi beberapa tumpuk.
Tapi Ramon memilih mengabaikan keanehan tersebut, karena dilihat berapa kalipun sosok itu tetaplah Callaric Louise yang ia tahu. Ya, kesampingkan hal itu dulu. Biarkan Ramon menjawab pertanyaan yang diberikan oleh pemimpin salah satu organisasi sekaligus salah satu keluarga berpengaruh di New York.
"Tuan saya mencari udara segar di luar," jawab Ramon seadanya. Malah dia bersyukur akan hal itu, karena jika Callaric ada di sana, mulut pedas pria itu pasti akan mengucapkan hal yang mengundang suara tembakan. Karena seperti itulah Callaric Louise yang ia tahu.
Pria bermulut pedas yang selalu saja mengeluarkan kata-katanya tanpa saring, seperti kejadian terakhir kali. Di mana Callaric Louise memaki seorang pria berpakaian wanita yang menggodanya. Kira-kira seperti ini ucapan manis penuh bubuk cabe Callaric saat itu.
"Jangan menyentuhku! Percuma saja kau menutupi tubuhmu itu dengan baju wanita, milikmu tetap saja terong panjang, sialan!"
Membayangkan kejadian itu membuat Ramon memejamkan mata, mana kala itu mereka menjadi tontonan orang sekitar karena suara kekesalan Callaric yang menggema menarik perhatian orang-orang.
Ramon menghela napas pelan, tapi akhir-akhir ini pria 38 tahun itu banyak diam daripada mengumpat. Entah apa yang terjadi, ataukah Callaric sudah berada difase jengah dengan rutinitas yang monoton?
Herizon hanya mengangguk samar. Mengalihkan pandangan menatap perdebatan beberapa orang yang masih terus berlanjut. Sungguh membosankan, dia jadi merindukan raut aneh Cucunya. Tapi ada yang aneh.
Kenapa dua orang yang seharusnya menjaga cucunya berada di hadapannya?
"Apa yang kalian lakukan di sini?" Herizon bertanya dengan tatapan tajam menatap dua orang itu.
Mereka menelan ludah kasar sebelum menjawab, "kami mendengar adanya keributan di sini, Tuan. Jadi kami bergegas menghampiri Anda, menjaga Anda tetap aman."
Bukannya puas dengan jawaban tersebut, Herizon justru menyipitkan mata tak suka.
Dia masih bisa menjaga dirinya sendiri walaupun usianya sudah 63 tahun. Dan lagi, ada Gael yang setia berdiri di sampingnya memastikan keamanannya.
"Dasar bodoh!" desis Herizon membuat semua pasang mata dalam ruangan tersebut menatap ke arahnya.
Mereka menelan ludah kasar melihat raut kemarahan di wajah pria paruh baya itu, terutama dua pria kekar berjas hitam yang kini menunduk takut dengan tubuh gemetar.
"Di mana Cucuku sekarang?" tanya Herizon murka. Jika terjadi sesuatu pada Cucunya, akan ia pastikan memberikan hukuman dua bawahannya itu.
"Tu.. Tuan Muda tengah duduk dibangku taman dekat hotel, Tuan." jawab salah satunya dengan suara bergetar.
Tanpa menunggu lagi Herizon meninggalkan aula tersebut untuk memastikan keadaan Cucunya. Ada perasaan takut yang saat ini dirasakan oleh orang tua itu. Bukan takut kehilangan penerus yang akan mewarisi organisasinya kelak, tapi rasa takut seorang Kakek kehilangan cucunya.
Di tempat lain, dua pria berbeda usia kini telah duduk berdampingan dalam keheningan. Tak ada dari dua orang itu yang membuka suara sejak tiba di sana.
Callaric menghela napas. Setelah kesulitan mencari tempat aman untuk berbincang serius, keputusan terakhir jatuh pada mobil sedan Toyota New Vios warna hitam. Mobil yang katanya digunakan oleh tubuh 38 tahunnya ke tempat pertemuan.
"Aku Callaric Louise, pemilik raga yang kau tempati." Callaric membuka suara dengan tatapan datar tertuju pada sosok di sampingnya.
Sesaat tubuh 38 tahun itu terlihat tersentak, tapi dengan cepat ia netralkan raut wajahnya. Jadi mereka bertukar tubuh?
"Jadi... Adriano." Callaric menjeda ucapannya sesaat, kemudian melanjutkan, "berapa usiamu saat meninggal?"
Pertanyaan itu bukan Callaric lontarkan tanpa sebab, karena ia perlu tahu apakah tubuh 7 tahun tempat jiwanya memiliki penyakit dan meninggal di usia muda atau karena suatu kejadian.
Sejenak keheningan kembali menguasai dalam mobil hingga jawaban yang Callaric tunggu terdengar keluar dan memecah keheningan.
"Saya meninggal diusia 48 tahun... karena dibunuh." jawaban lirih penuh amarah tertahan, terdengar dari bibir sosok yang kini menunduk dengan tangan bergetar hebat.
Mata Callaric menyipit mendengar jawaban itu, "oleh siapa?"
Kepala yang tadinya menunduk, kini menatap lekat wajah lawan bicaranya.
"Sesillia Adeva Joiden." Callaric pernah mendengar nama itu di kehidupan sebelumnya, wanita yang menjadi istri Putra Kedua Herizon. "Istri kedua Ayahku."
Hah? Sepertinya ada yang salah.
'Anak-anak Pak Tua itu suka kawin silang?' Callaric membatin dengan wajah bodohnya. Masih mencoba untuk mencerna kebenaran yang ia terima.
KAMU SEDANG MEMBACA
CALLARIC || Transmigrasi Villain (Hiatus)
ActionApa jadinya jika ketua Mafia yang ditakuti di dunia bawah meninggal di usia 79 tahun, lalu bertransmigrasi ke tubuh bocah berusia 7 tahun yang diabaikan oleh keluarganya? "Aku tahu dosaku terlalu banyak, tapi ... apa memang separah itu? Sampai harus...