BAB25

15.1K 804 36
                                    

'Ibrahim untuk Syaqira'









______•••______

Hari ini, dipesantren Al-Hakim tengah menggelar sholat ghaib. Berdoa pada sang pencipta agar Gus Ibra segera ditemukan. Masjid utama dipenuhi oleh santri dan juga para pengurus pondok. Mereka begitu khusyuk mengikuti sholat ghaib. Bahkan, para santriwati yang kebetulan tidak sholat pun ikut hadir dan berdiri didepan masjid dengan perasaan masing-masing.

Satu fakta terbongkar. Mereka yang seharusnya belum mengetahui status Syaqira dan Gus Ibra, kini telah mengetahui dengan sendirinya. Tepatnya pada malam itu ketika keluarga ndalem sampai dipesantren, begitu Syaqira turun dari mobil dan terduduk lemas didepan ndalem. Umi Hafsah dengan sabar menguatkan Syaqira. Dan disana lah para santri mengetahui kebenarannya jika Syaqira memang istri dari putra bungsu Kyai Abdullah dan Umi Hafsah.

"Sabar, nduk. Kita bisa, kita kuat." Ucap Umi Hafsah mengusap air mata Syaqira yang kembali turun membasahi kedua pipinya.

"Ira ngga bisa Umi." Lirihnya seraya menunduk dalam.

"Ada Umi, ada Umi yang ada disamping kamu. Kuat ya? Kita hadapi semua bersama-sama." Ucap Umi Hafsah mengusap bahu Syaqira.

Tidak jauh dari Umi Hafsah dan Syaqira. Kedua teman Syaqira menatap sendu Syaqira. Bahkan status Syaqira dan Gus Ibra pun baru mereka ketahui sekarang. Pantas saja ketika teman-teman membahas Gus Ibra, Syaqira menampilkan protesnya.

Mereka memang tidak peka. Tidak peka pada clue yang sudah sangat sering Syaqira berikan. Mereka tidak menyadari bahwa ucapan Syaqira ada benarnya. Tentang dirinya yang katanya masih keluarga ndalem, tentang hubungan kedekatannya dengan Umi Hafsah, juga tentang Gus Ibra yang dengan santai nya menggenggam atau menarik Syaqira. Semua itu tidak terbaca oleh keduanya.

Ini, kali pertamanya mereka melihat sosok Syaqira yang rapuh. Syaqira yang menangis karena kepergian separuh hidupnya. Syaqira yang biasanya kelewat ceria, hari ini justru ia terlihat paling rapuh.

Setelah acara selesai, para santri dibubarkan. Mereka dipersilahkan untuk kembali ke asrama masing-masing. Syaqira yang berjalan keluar masjid dengan mata sembab, kini sudah dikerubungi oleh teman-temannya yang menyampaikan turut berduka karena kepergian Gus Ibra.

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Syaqira. Gadis itu hanya mengangguk lemah sembari mengulas senyum tipisnya pada teman-temannya. Tubuhnya serasa lemas, sekedar menjawab ucapan mereka pun terasa berat.

"Qir." Panggil Lisa.

"Lilis...." Seru Syaqira berhambur memeluk kedua temannya, tangisnya kembali keluar ketika berhadapan dengan kedua teman dekatnya.

"Yang sabar ya? Maaf kami ngga tau tentang kamu dan Gus Ibra, kami ngga ada disaat kamu terpuruk kemarin." Ucap Atika, Syaqira mengangguk saja.

"Aku ngga bisa begini Tika, Lisa. Aku gimana kalau ngga ada Gus Ibra? Aku yang apa-apa sama Gus Ibra, sekarang gimana kalau butuh Gus Ibra?" Ucap Syaqira terisak pilu.

"Syaqir, masih ada kami. Jangan sungkan kalau mau cerita apapun itu." Ucap Lisa mengusap bahu Syaqira dengan lembut.

"Sakit, Lis. Gus Ibra ninggalin aku. Gus Ibra pergi. Dia bilang akan pulang dua minggu sekali, tapi Gus Ibra pulang untuk selamanya. Jasadnya belum ditemukan." Ucap Syaqira.

"Polisi sama tim SAR sudah bekerja, Ira. Aku yakin, jasad Gus Ibra pasti segera ditemukan. Mereka akan bekerja semaksimal mungkin, mereka akan bawa pulang Gus Ibra." Ucap Atika.

"Syaqira, sabar ya. Aku tau kamu kuat. Ini semua ujian dari Allah. Kamu yang ikhlas ya." Ucap Lisa.

"Aku ngga tau, hidup aku ada di Gus Ibra. Kalau Gus Ibra pergi, aku sakit. Rasanya sulit menerima ini. Aku tau Lisa, aku tau kita semua milik Allah. Ada kalanya kita dipanggil kembali padanya. Tapi aku belum siap, aku belum siap ditinggal Gus Ibra." Ucap Syaqira menyentuh lengan Lisa sebagai penopang tubuhnya.

IBRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang