22 | Mandi Hujan
"Mama sama Papa kayaknya harus bicara sama Chenle setelah ini. Kalau dibiarkan, Chenle mungkin akan terlalu jauh."
Renjun menarik napasnya dalam-dalam. Dia menganggukkan kepalanya. Sepertinya kelahiran si kecil Ryo membuat Chenle iri.
Sebenarnya tidak heran, Chenle itu terbiasa dengan perhatian penuh orang tuanya juga sang kakak. Dia sepertinya belum siap memiliki adik. Berbeda dengan Jaemin yang saat memiliki adik, dia memang ingin punya adik.
Melihat Chenle yang berjalan keluar kamar dan sedikit berlari keluar rumah, Jaemin segera mengejarnya. Menahan lengan adiknya.
"Mau ke mana kamu?"
"Lepasin! Abang sana balik aja, adek gak mau ketemu sama abang. Selamanya!"
Kedua mata Jaemin menyipit. Dia menyentak lengan Chenle membuat anak itu terduduk di undakan tangga teras rumah. Jaemin berjongkok di depannya.
Chenle melengos, tidak mau menatap wajah sang kakak. Sebal sekali rasanya. Udah ngeganti password WIFI, tidak dapat uang buat top up dan semuanya. Chenle marah sama semuanya!
"Abang pernah ngasih tau, 'kan, kalau pengen beli sesuatu yang harganya lumayan, kamu kumpulin dulu uangnya baru kalau kurang, kamu minta tambahan ke Mama atau Papa."
Chenle tidak berkutik walaupun dia mengingat apa kata sang kakak yang sepertinya diucapkan 2 tahun lalu.
"Dan Ryo, dia 'kan masih bayi. Waktu baru lahir, kamu malah gak mau lepas dari dia. Kenapa sekarang nggak pernah main? Nggak suka?"
Chenle meremat celananya sendiri. Dia tidak membalas. Walaupun ucapan sang kakak, sangat sampai ke hatinya.
"Ryo kecil, masih butuh perhatian Mama sama Papa. Tapi, apa pernah Papa sama Mama mengabaikan kamu? Enggak, 'kan? Kamu yang ngerasa sendiri."
Chenle meliriknya, "Kok jadi salah adek?! Salahin aja Ryo karena adek jadi gak pernah tidur sama Mama Papa lagi." jelas Chenle kesal. Sedetik kemudian, kepalanya menunduk dalam. "Semenjak Abang pindah juga, adek jadi sendirian. Kalau mimpi buruk terus mau ke Mama, Mama sama Papa pasti lagi gendong Ryo."
Jaemin diam mendengar penjelasan sang adik. Ucapannya terdengar sedikit menyakitkan. Bagaimana cara Chenle mengatasi mimpi buruknya itu?
"Makanya adek main game, soalnya kalau bangun karena mimpi buruk dan main game, adek gak takut lagi." sambung Chenle, dia semakin menunduk dengan kedua pundak yang bergetar pelan. "Abang udah nikah sama Om Mark, dan nggak tidur sendirian lagi. Jadi, menurut adek, adek gak boleh gangguin Abang tengah malem lagi."
Jaemin menghembuskan napasnya berat. Dia bangkit berdiri, "Ayo pergi." ajaknya membuat Chenle mendongak, menatapnya bingung. "Katanya mau top up, ayo Abang anterin."
Chenle senang, tapi dia kembali mengingat pertengkaran mereka sebelumnya. Dan Chenle tidak suka kalau Jaemin marah padanya.
"Nggak mau."
"Loh, kenapa? Katanya tadi mau top up. Buat beli diamond, 'kan?"
Chenle menggeleng pelan, "Nggak perlu. Adek gak mau abang marah lagi karena adek kebanyakan main game. Adek main yang online tanpa harus top up aja."
Jaemin mengerjap mendengar penjelasan Chenle. Senyumnya terlihat. "Yaudah, jajan aja gimana?"
Sekarang Chenle tidak bisa menahan senyumnya. "Mau!"
"Yaudah, ayo. Kita beli es krim."
Chenle bangkit. Dia menggandeng tangan Jaemin dan menariknya untuk segera pergi ke alpa yang dekat dengan rumah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGULARITY » MARKMIN ✔️
Fiksi PenggemarBeberapa keadaan memaksa Mark untuk menikahi anak mantan kekasihnya sendiri. MARKMIN Kalau kalian nggak suka cerita yang jarak umurnya terlalu jauh, aku saranin jangan baca ini. Bijak dalam memilih bacaan, teman-teman. Top! Mk Bot! Jm