“Lusa kamu ada acara?” Khaylila balik bertanya.
“Hari minggu? Saya biasanya ke tempat pacar saya,” jawab Rendra. “Ada acara keluarga lagi?”
Khaylila menggeleng. “Bukan. Tapi adik saya ulang tahun. Kami biasa merayakan dengan makan di luar berdua karena di keluarga kami tidak ada perayaan untuk ulang tahun. Tahun ini Khanza ingin saya mengajak kamu juga. Dia bilang supaya bisa double date.”
“Kalian tidak merayakan ulang tahun dengan orangtua?” Rendra tampak cukup terkejut dengan fakta ini karena biasanya keluarga kelas atas seperti mereka senang melakukan hal seperti itu.
“Menurut Ibu saya itu tidak begitu penting. Hanya buang-buang waktu.”
“Saya tidak pernah tahu kalau merayakan ulang tahun seseorang bisa membuang-buang waktu. Itu hari yang sangat penting. Kita hanya bertemu dengan hari seperti itu sekali dalam setahun.”
“Maka dari itu saya merayakan berdua dengan Khanza. Bagi kami hari ulang tahun juga sangat penting, Rendra.”
“Untunglah kamu dan adik kamu tidak berpikir yang sama dengan Ibu kalian.”
“Jadi bagaimana? Apa kamu bisa ikut hari Minggu? Atau saya harus bilang sama Khanza kalau kamu sibuk?” tanya Khaylila memastikan.
“It’s okay. Saya akan pergi dengan kalian,” jawab Rendra.
“Pacar kamu bagaimana? Saya bisa meminta izin sama dia secara langsung,” ucap Khaylila.
Rendra terkekeh pelan. “Tidak perlu, Khaylila. Biar saya yang bicara dengan pacar saya dan saya yakin dia pasti mengerti.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Hari Minggu saya jemput ke rumah kamu, Khaylila.”
****
Seperti yang sudah dijanjikan, tepat di hari Minggu Rendra datang ke rumah Khaylila. Ibunya menyambut lelaki itu dengan sebuah senyuman yang cukup hangat meski masih ada sedikit keraguan di matanya.
“Siang, Tante. Khaylila ada?” Rendra tersenyum sangat ramah pada calon mertuanya itu.
“Ada di dalam. Kalian mau jalan?”
“Iya, Tante. Mumpung hari Minggu.”
Ibu Khaylila ingin bicara lebih banyak, tapi Khaylila muncul dan menginterupsi keduanya. “Ayo, Rendra.”
“Pulangnya jangan malam-malam, ya,” pesan Ibu Khaylila.
“Siap, Tante. Kami pergi dulu, ya,” jawab Rendra.
Keduanya melaju dengan menggunakan mobil milik Rendra. Khaylila melirik lelaki yang sedang menyetir di sebelahnya itu dan bertanya, “Ibu saya gak ngomong yang aneh-aneh, kan?”
“Kamu datang tepat sebelum Ibu kamu bisa membuka mulut, Khaylila.”
“Baguslah. Saya sedang tidak ingin mendengar omelannya malam ini karena menemukan setitik kekurangan dari kamu.”
“Jangan terlalu khawatir, Khaylila. Bagaimanapun, saya adalah lelaki yang mendekati sempurna. Ibu kamu tidak akan menemukan kekurangan apapun.”
Khaylila tertawa mendengar kepercayaan diri dari Rendra. “Saya mengandalkan Anda, Mr. Perfect.”
Rendra ikut tertawa dan obrolan terus mengalir di antara keduanya hingga tanpa terasa mereka sudah sampai di mall yang menjadi tempat janjian antara Khaylila dan adiknya.
“Kakak!” Khanza melambaikan tangannya begitu melihat Khaylila yang berjalan bersama Rendra.
Khaylila menghampiri adiknya dan memeluknya erat. “Happy birthday, Sissy. Love you as always.”
“Makasih, Kak. Aku juga sayang banget sama Kakak.” Khanza mencium pipi kakaknya dan tersenyum.
“Selamat ulang tahun, Khanza,” ucap Rendra sembari menyalami adik Khaylila itu.
“Makasih, Mas Rendra. Makasih juga udah mau dateng nemenin Kakak,” jawab Khanza.
“Itu sudah jadi tugas saya sebagai pacarnya,” ucap Rendra dengan senyum terkembang.
“Iya deh iya yang lagi masa-masa kasmaran, manis mulu omongannya,” goda Khanza. “Gak kaya kita yang udah mulai ada hambar-hambarnya.”
Arka menyentil dahi istrinya pelan. “Tambahin garem sana biar ada rasanya.”
“Queen sama siapa, Za?” tanya Khaylila.
“Sama neneknya. Ini waktu buat papa mamanya kencan. Gak boleh diganggu anak kecil,” jawab Khanza.
“Ya udah yok, kita makan dulu. Kita udah booking meja di restoran,” ajak Arka.
Khanza dan Arka bergendengan dan berjalan menuju restoran. Rendra dan Khaylila yang berada di belakang mereka mengikuti dalam diam. Rendra merasa mereka terlalu canggung dan pasti akan menimbulkan kecurigaan. Jadi lelaki itu berinisiatif menarik tangan Khaylila dan melingkarkannya di lengannya sendiri.
Khaylila menoleh pada Rendra dengan heran sebelum menyadari apa yang dilakukan oleh lelaki itu adalah salah satu bagian dari peran yang sedang mereka mainkan bersama.
“Ah, maaf. Saya lupa,” ucap Khaylila pelan.
“Gak papa. Nanti juga terbiasa,” jawab Rendra enteng.
Keempat orang itu duduk di tempat yang sudah dipesan sebelumnya oleh Arka. Khaylila duduk di sebelah Rendra, tepat di depan Khanza.
“Serius deh, Kak. Kalian ini kenal dimana, sih? Aku gak yakin cuma dikenalin sama Ibunya Mas Rendra aja,” ucap Khanza saat mereka sedang menunggu makanan yang sudah dipesan.
“Yakin aja, Za. Karena emang begitu ceritanya,” jawab Khaylila.
Khanza yang tidak puas dengan jawaban kakaknya langsung menoleh pada Rendra, “Gimana, Mas? Masa iya cuma gitu doang?”
“Ya emang gitu doang. Pertemuan kami sesederhana itu. Gak kaya di film-film romance,” ucap Rendra.
Makanan mereka tiba, memutus kata-kata yang ingin dilontarkan oleh Khanza. Empat piring steak dengan segala pendampingnya terhidang di depan mereka.
Rendra memotong-motong daging steak-nya menjadi seukuran sekali gigit lalu menukarnya dengan piring Khaylila. Lelaki itu tersenyum saat Khaylila memandangnya.
“Buruan dimanakan sebelum dingin,” ucap Rendra.
“Terima kasih, Rendra,” ucap Khaylila.
“Liat tuh, Yang. Kamu itu perlu belajar jadi romantis kaya Mas Rendra,” ucap Khanza.
“Sekarang aja tuh romantisnya. Ntar kalo udah jadi suami juga jadinya kaya aku,” jawab Arka santai.
Rendra tertawa pelan sementara Khanza berpura-pura cemberut. Khaylila memperhatikan ketiganya dan diam-diam menghembuskan napasnya berat. Adiknya tampak bahagia melihatnya memiliki seseorang seperti Rendra. Khaylila ingin membuat kebahagiaan itu nyata, tapi dia tidak bisa. Kebahagiaan yang diinginkan Khanza hanyalah sebuah skenario yang dibuatnya bersama Rendra.
****
Selesai makan, mereka berkeliling di dalam mall untuk mencarikan hadiah bagi Khanza. Khaylila memang tidak pernah kejutan berupa kado pada adiknya. Gadis itu lebih suka jika adiknya memilih sendiri apa yang dia inginkan dan Khaylila akan membayar berapapun harganya.
Dan satu hal lainnya yang membedakan perayaan ulang tahun ala dua bersaudara itu dengan orang kebanyakan adalah tidak adanya moment tiup lilin dengan kue tart berwarna-warni. Alasannya sederhana, karena keduanya sama-sama tidak menyukai bau lilin.
“Ayo ke sana, Kak.” Khanza menyeret Khaylila yang memang sejak beberapa waktu lalu digandengnya. Mereka masuk ke satu toko dengan merk yang akan menguras kantong pembelinya.
Khaylila hanya duduk diam memperhatikan adiknya yang sedang sibuk memilih-milih tas dengan ditemani oleh Arka. Khaylila yang memang tidak terlalu suka belanja akan menjadi sangat gampang bosan dengan kegiatan seperti itu. Khanza yang mengerti sifat kakaknya lebih suka meminta pendapat pada suaminya saat memilih sesuatu untuk dibeli.
“Setiap tahun kamu kasih hadiah semahal ini?” tanya Rendra yang ikut duduk di sebelah Khaylila.
“Gak juga. Khanza bebas memilih apa yang dia mau. Saya tidak terlalu mementingkan harganya. Asalkan dia bahagia, saya akan membayar semuanya,” jawab Khaylila.
“Lalu apa yang harus saya beli untuk Khanza sebagai kado? Setidaknya saya juga harus memberikan sesuatu, kan?”
“Tidak perlu, Rendra. Saya akan bilang kalau tahun ini kamu yang membayar.”
“Wow, Khaylila. Jangan seperti itu. Nama kamu harus dipertahankan sebagai kakak terbaik.”
Khaylila tersenyum. “Khanza akan lebih bahagia saat tahu kakaknya memiliki seseorang yang tidak hanya membuatnya diperlakukan dengan baik tapi juga bisa diandalkan dalam hal ekonomi.”
“Kamu gak mau kasih tahu Khanza tentang kita? Dia akan sangat terluka saat tahu yang sebenarnya jika bukan dari kamu langsung.”
“Tidak, Rendra. Kalau Khanza tahu tentang kita dia akan terkena imbasnya jika semua ini terbongkar. Dia akan ikut disalahkan karena tidak berkata jujur pada semua orang. Saya tidak mau itu terjadi pada adik saya, Rendra. Beban seberat ini tidak cocok berada di pundaknya.”
Rendra menatap Khaylila yang masih memperhatikan adiknya. Lelaki itu salut dengan pemikiran gadis di sebelahnya ini. Rendra tidak pernah memikirkan hal-hal seperti itu. Pikirannya sangat sederhana dan jelas. Tidak seperti Khaylila yang selalu rumit dan misterius.
“Kakak, aku mau yang ini,” ucap Khanza dengan membawa sebuah tas kecil berwarna hitam. Terdapat huruf G di bagian depan menandakan merk-nya yang terkenal.
Rendra menatap tas itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Dia tahu betul tentang barang-barang branded meski dia tidak begitu banyak menggunakannya karena keuangannya yang tidak mengizinkannya untuk hidup secara berlebihan. Rendra bisa mengerti karena kekasihnya sangat menyukai barang-barang seperti itu. Dan Rendra dapat menaksir harga tas yang sedang dipegang Khanza bisa mencapai 30 juta.
“Oke. Cuma itu? Gak mau yang lainnya?” tanya Khaylila yang membuat Rendra lagi-lagi menoleh padanya.
Rendra tidak pernah ingin mengetahui seberapa kaya Khaylila sebenarnya, tapi sekarang dia jadi penasaran. Gadis dengan penampilan sederhana, tidak pernah memakai sesuatu yang mewah ataupun barang branded, tiba-tiba saja rela menghabiskan uang yang tidak terbatas untuk adiknya.
“Pengen sepatu juga. Tapi bukan yang di sini,” jawab Khanza.
“Ya udah. Kamu tunggu di sini.” Khaylila menggandeng Rendra sambil membawa tas yang dipilih Khanza menuju kasir. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk membayar dan kembali lagi ke tempat Khanza menunggu bersama Arka.
“Ini hadiah dari Rendra. Dia yang bayarin,” ucap Khaylila.
Khanza mengambil tas itu dari tangan kakaknya dan melihat Rendra dengan senyum lebar. “Makasih banyak, Mas Rendra. Kakak beruntung banget punya cowok yang bisa diandalin kaya Mas. Semoga kalian langgeng terus, deh.”
“Kalo ada maunya aja ngomongnya manis bener,” ucap Arka sambil mencubit pipi Khanza gemas.
Khanza terkekeh. “Kan emang dari dulu begitu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Eleftheria
Romance"Saya punya penawaran menarik buat kamu, Rendra." "Penawaran? Jangan bilang kalo kamu tertarik dengan ucapan Ibu saya yang mau ngejodohin kita." "Kurang lebih begitu. Tapi dengan keuntungan yang lebih besar." "Keuntungan? Kamu mau main-main dengan p...