Chapter 28 🕊

93 5 0
                                    

“Kita ke rumah Mama, yuk,” ajak Rendra. “Saya pengen makan siang buatan Mama.”
Khaylila menatap Rendra sebentar lalu menganggukkan kepalanya. Lelaki itu tampak sangat bersemangat, seolah tidak ada yang terjadi kemarin. Rendra seperti menganggap hari kemarin tidak pernah ada.
“Ya udah kamu siap-siap. Gak usah bilang-bilang sama Mama kalo kita mau ke sana. Kita bikin kejutan,” ucap Rendra.
Khaylila memberikan sebuah senyuman yang tampak dipaksakan. “Saya mandi dulu kalo gitu,” ucapnya.
Rendra memandang punggung Khaylila sampai dia menghilang di balik pintu kamarnya. Lelaki itu menghela napasnya panjang. Beruntung dia hari ini mengambil cuti. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada Khaylila saat gadis itu sendirian di rumah.
Keduanya sampai di rumah Ibu Dina satu jam kemudian. Sepanjang perjalanan Khaylila hanya diam saja begitupun dengan Rendra. Dia tidak ingin mengganggu Khaylila yang sedang bertarung dengan pikirannya sendiri.
Khaylila mengikuti Rendra masuk ke dalam rumah Ibunya. Ibu Dina tentu saja terkejut dengan kehadiran anak dan menantunya yang tiba-tiba itu.
“Eh.. Kalian kemari kok gak bilang-bilang. Rendra gak kerja, Nak?”
“Rendra cuti, Ma. Pengen makan masakan Mama,” jawab Rendra.
“Ih bisa aja nih, Anak Mama. Berarti makan siang di sini, ya? Nanti Mama masakin yang banyak buat kalian,” ucap Ibu Dina.
Khaylila masih dengan diamnya di balik punggung Rendra. Dia sengaja menyembunyikan diri agar Ibu mertuanya tidak langsung bertanya apa yang terjadi dengannya karena siapapun yang melihat pasti akan tahu bahwa Khaylila sedang tidak baik-baik saja. Khaylila mengikuti Rendra menuju ruang tengah rumah itu. Di sana sudah ada Ayah Rendra yang sedang menonton televisi. Lelaki yang sudah pensiun itu melihat keduanya dan tersenyum lembut.
“Ada yang kangen rupanya,” ucap Ayah Rendra.
“Iya, Pa. Rendra udah lama juga gak pulang,” jawab Rendra.
“Lila kenapa, Nak? Mata kamu kok sembab begitu? Abis nangis ya, Nak?” tanya Ayah Rendra yang melihat wajah Khaylila yang tampak tidak baik-baik saja.
Khaylila tidak lagi bisa menyembunyikan dirinya. Ayah mertuanya sudah terlanjur melihat dengan seksama wajah menantunya itu.
“Ah.. Gak kok, Pa. Lila baik-baik aja. Cuma kurang tidur,” jawab Khaylila.
“Lila kenapa? Diapain sama Rendra, Nak? Sini bilang sama Mama.” Ibu Dina memegang wajah Khaylila dengan raut panik. Wanita paruh baya itu baru saja datang dari dapur dengan membawa dua gelas minuman dan cemilan untuk Rendra dan Khaylila. Dia ikut duduk di sebelah Khaylila di sofa mereka.
“Gak kenapa-napa, Ma. Rendra baik kok sama Lila,” ucap Khaylila.
“Khaylila abis dimarahi sama keluarganya, Ma,” ujar Rendra yang sudah berpindah dari sisi Khaylila karena dorongan dari Ibunya. Lelaki itu terpaksa duduk di sofa single yang ada di sana.
“Rendra!” Khaylila memberikan peringatan pada Rendra dengan suara pelan.
“Dimarahi gimana? Cerita sama Mama, Nak.” Sebelah tangan Ibu Dina menggenggam tangan Khaylila dan tangan satunya lagi mengusap pipi gadis cantik tersebut.
Khaylila menghela napasnya dalam. Dia menatap Ibu Dina lama sebelum mengucapkan, “Maafin Lila ya, Ma.”
“Eh kok malah minta maaf?” ucap Ibu Dina bingung.
“Lila belum bisa kasih cucu buat Mama sama Papa,” jawab Khaylila. Gadis itu menundukkan kepalanya sedih.
Ayah dan Ibu Rendra sontak melihat ke arah anak mereka, saling memberi isyarat apakah ini akar masalah kenapa Khaylila dimarahi keluarganya. Rendra menganggukkan kepalanya membenarkan.
Ibu Dina menarik Khaylila ke dalam pelukannya. “Gak papa, Lila. Mama sama Papa gak maksa kalian buat kasih kita cucu.”
Khaylila hanya diam di dalam pelukan Ibu Dina. Meski berkata seperti itu, Khaylila tahu dengan pasti bahwa orangtua Rendra juga menginginkan adanya seorang bayi di tengah-tengah mereka. Bagaimanapun, kedua anak mereka sudah berumah tangga tapi belum ada satupun yang diberi keturunan. Mereka memilih untuk diam karena tidak ingin membebani anak dan menantu mereka.
“Lila, bohong kalo Papa bilang Papa gak mau punya cucu. Papa pengen banget malah,” ucap Ayah Rendra menimpali. “Papa pengen lihat kalian punya anak supaya kamu ada temennya di rumah waktu Rendra lagi kerja. Tapi Lila, anak itu merupakan rezeki dari Tuhan. Gak bisa dipaksakan. Kalo Tuhan belum kasih, ya kita gak bisa berbuat apa-apa, Nak. Kamu sama Rendra cuma bisa sabar sambil berusaha dan berdoa. Papa sama Mama juga akan terus mendoakan kalian.”
Khaylila memejamkan mata saat merasakan tangan Ayah Rendra mengusap-usap kepalanya. Kenapa keluarganya tidak ada satupun yang memiliki sifat seperti kedua orangtua Rendra? Kenapa mereka hanya bisa menuntutnya melakukan hal-hal yang mereka inginkan? Kenapa mereka tidak bisa mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh Khaylila?
Airmata kembali mengalir dari kedua netra bening itu. Khaylila sedang mengasihani dirinya sendiri yang terlahir dalam keluarga yang tidak pernah berada di pihaknya. Khaylila hanya bisa berharap keluarganya memiliki setengahnya saja dari apa yang dimiliki oleh keluarga Rendra.
“Aduh Sayang, jangan nangis begini dong. Mama jadi ikutan sedih,” ucap Ibu Dina yang mulai ikut meneteskan airmatanya.
“Ma.. Maaf, Ma.” Khaylila terisak-isak di pelukan Ibu mertuanya.
“Gak papa, Sayang. Bukan masalah besar kalo sekarang kalian belum punya anak. Nanti juga dikasih sama Tuhan, Nak. Jangan sedih, ya. Kalo kamu dimarahi lagi, kamu bilang sama Mama, biar Mama balik marahin mereka semua. Mama selalu ada di sini untuk kalian,” ucap Ibu Dina.
Rendra mendekat dan menepuk-nepuk punggung Khaylila pelan. “Sudah, Khaylila. Kamu sudah terlalu banyak menangis. Nanti kepala kamu sakit lagi.”
Khaylila perlahan menguasai dirinya dan berhenti menangis. Gadis itu melepaskan pelukannya pada Ibu Dina dan berbalik pada Rendra.
“Kamu denger kata Mama sama Papa, kan? Kamu jangan sedih lagi, ya. Saya gak suka lihat mata kamu bengkak begini.” Rendra mengusap bagian bawah mata Khaylila dengan lembut.
Khaylila tersenyum samar. “Terima kasih sudah membawa saya ke sini, Rendra.”
Rendra membalas senyuman itu dengan tulus. “Jangan pernah lupa kalau kamu punya keluarga ini, Khaylila. Kamu tidak melewati semua ini sendirian. Sesekali bergantung dengan orang lain juga tidak apa-apa, kan?”
“Ih, anak Mama semenjak jadi suami kok jadi semakin dewasa ya? Omongannya bijaksana sekali sih,” ucap Ibu Dina yang mencoba mencairkan suasana.
“Iya dong, Ma. Rendra kan sudah jadi kepala keluarga. Sudah ada tanggungan yang bernama Khaylila. Mana boleh jadi anak kecil terus. Iya kan, Khaylila?” jawab Rendra.
“Kamu itu tetap saja anak manja yang apa-apa harus diurusin, Rendra,” ucap Khaylila.
“Nah, denger tuh omongan istrinya. Jangan sok dewasa ya.” Ibu Dina mencubit pipi Rendra gemas.
“Aduh, Ma. Jangan dicubit dong. Ntar melar gimana? Kalo Rendra gak cakep lagi kan bahaya, Ma. Ntar cewek cantik ini berpaling ke brondong lain loh,” protes Rendra.
Ayah dan Ibunya tertawa mendengar ucapan Rendra. Khaylila hanya tersenyum tipis. Usaha Rendra untuk membuat perasaan Khaylila menjadi lebih baik akhirnya membuahkan hasil. Gadis itu tidak lagi terlihat semurung sebelumnya.

EleftheriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang