Chapter 19 🕊

102 5 0
                                    

Khaylila mematikan laptop setelah menyimpan file tulisan yang baru saja diketiknya. Gadis itu mengerjakan beberapa bab novelnya sembari menunggu kantuk tiba. Tapi sudah sampai tengah malam, Khaylila tak kunjung ingin memejamkan matanya.
“Mau ngapain lagi?” Khaylila bertanya pada dirinya sendiri.
Rendra yang sudah pulang sejak pukul 7 tadi tidak keluar lagi dari kamarnya setelah mandi dan berganti pakaian. Mungkin lelaki itu sudah terlelap karena lelah seharian bekerja.
Khaylila beranjak dari tempat duduknya yang nyaman di sofa ruang tengah. Gadis itu memang biasa mengetik novelnya di sana karena lebih nyaman dan leluasa.
Khaylila masuk ke kamarnya dan meletakkan laptopnya di atas meja. Setelah itu dia melangkah menuju kamar mandi. Karena tidak bisa tidur, Khaylila memutuskan untuk membersihkan kamar mandinya saja.
“KYAAAAAAA!!!!”
Khaylila berteriak kencang saat baru saja masuk ke dalam kamar mandi. Dengan secepat kilat gadis itu berlari keluar dan menggedor kamar Rendra.
“RENDRA!! RENDRA!! TOLONG! RENDRA!” serunya kencang.
Rendra yang sedang tidur tentu saja terkejut dengan teriakan Khaylila. Segera saja dia melompat dari tempat tidurnya dan membuka pintu kamar.
“Kenapa? Ada apa? Kebakaran? Maling?” tanya Rendra yang ikut panik.
“Rendra.. Tolongin..” ucap Khaylila.
Gadis itu berdiri di hadapan Rendra dengan tubuh gemetar dan keringat dingin membasahi wajahnya. Rendra memegang kedua lengan Khaylila agar dia dapat bicara dengan lebih jelas.
“Ada apa, Khaylila?” tanyanya lagi.
“Itu.. Di kamar mandi saya.” Khaylila menunjuk kamarnya.
“Ada apa di kamar mandi?” Rendra belum berhenti bertanya. Kakinya melangkah menuju kamar mandi Khaylila dengan amat pelan. Bagaimanapun, lelaki itu juga takut dengan hal yang membuat Khaylila gemetar ketakutan itu. Dia tidak tahu apa yang harus dihadapinya.
“Ada.. kecoa,” jawab Khaylila berbisik. Gadis itu berjalan tepat di belakang Rendra. Tangannya menggenggam baju Rendra dengan erat.
Rendra berhenti seketika saat mendengar jawaban dari Khaylila. Lelaki itu berbalik menghadap istrinya dengan wajah yang sulit diartikan.
“Hah? Apa kamu bilang?”
“Ada kecoa, Rendra. Saya takut sekali.”
“Astaga, Khaylila.. Saya kira ada monster dari planet neptunus yang menginvasi kamar mandi kamu,” ucap Rendra.
“Cepetan, Rendra. Bunuh kecoanya.” Khaylila tidak memperdulikan protes yang dilayangkan oleh Rendra.
“Iya. Iya. Sebentar,” ucap Rendra. “Kamu tunggu di sini aja.”
Khaylila menggelengkan kepalanya. “Gak mau. Saya mau pastikan kecoanya mati dulu.”
“Biar saya aja, Khaylila. Nanti kamu malah makin ketakutan.”
“Gak mau. Kalo gak lihat langsung kecoanya mati dengan mata saya sendiri, saya akan tetap panik dan ketakutan,” tolak Khaylila lagi.
Rendra menghela napasnya dan menyerah. Dibiarkannya saja Khaylila menarik baju belakangnya dengan erat sementara dia berjalan menuju kamar mandi.
Rendra mendapati kecoa yang menjadi sumber keributan di apartemen mereka itu dan langsung memukulnya menggunakan botol shampo milik Khaylila. Setelahnya dia menunjukkan pada Khaylila bahwa kecoa itu sudah mati.
“Nih, sudah mati, kan?”
Khaylila menganggukkan kepalanya. “Iya. Terima kasih, Rendra.”
Rendra membuang kecoa itu ke dalam toilet dan menyiramnya. “Gak perlu berterima kasih, Khaylila. Kalau ada hal-hal yang bikin kamu takut begini, kamu selalu bisa panggil saya kapan saja. Saya siap nolongin kamu.”
****
Rendra memasuki apartemennya dengan langkah santai. Dia pulang lebih awal dari tempat kerjanya hari ini. Biasanya dia akan sampai di apartemen pukul 7 malam, tapi hari ini baru pukul 5 dia sudah pulang.
Lelaki itu langsung ingin masuk ke dalam kamarnya tetapi langsung urung ketika melihat Khaylila yang berbaring meringkuk di sofa. Rendra berjalan untuk melihat keadaan gadis yang berstatus sebagai istrinya itu.
“Khaylila?”
Khaylila yang mendengar namanya dipanggil pun mendongakkan kepalanya. Matanya tampak sayu dengan wajah yang pucat. Terlihat sekali bahwa gadis itu tengah menahan sakit.
“Khaylila, kamu kenapa? Wajah kamu pucat sekali,” tanya Rendra dengan nada khawatir yang tidak dia sembunyikan.
“Saya gak papa, Rendra.” Khaylila kembali ke posisinya yang meringkuk.
“Apa yang sakit? Bilang sama saya, Khaylila.”
“Gak perlu khawatir begitu, Rendra. Saya cuma sedang kram perut. I’m on my period,” jawab Khaylila.
“Ah.. Kamu kram..” Rendra paham yang dimaksud oleh Khaylila karena bagaimanapun dia juga memiliki seorang adik perempuan yang mengalami hal sama setiap bulannya. Hanya saja ini pertama kalinya dia melihat Khaylila sepucat ini. “Tapi kamu benar-benar terlihat pucat, Khaylila. Hani tidak sampai seperti kamu. Apa perlu ke rumah sakit?”
Terdengar suara tawa yang teredam dari Khaylila. “Mau bilang apa di rumah sakit, Rendra? Mau bilang kalau saya sedang sakit perut karena menstruasi? Kamu jangan buat saya malu.”
“Iya juga, ya,” gumam Rendra yang tidak pernah mendengar seorang perempuan dibawa ke UGD karena PMS.
“Nah itu kamu tahu.”
“Lalu apa yang bisa saya bantu, Khaylila?”
Khaylila menggelengkan kepalanya. Suasana kembali diam seperti saat Rendra belum pulang dari kantor. Khaylila memang sedang tidak dalam mood melakukan apapun saat ini.
Rendra memilih masuk ke dalam ruang wardrobe dan mengambil baju kaos dan celan pendek yang biasa dia pakai di rumah. Lelaki itu membersihkan dirinya dan mengganti pakaian lalu kembali menghampiri Khaylila.
“Kamu kenapa baring di sini, Khaylila? Kenapa tidak di kamar? Di sana akan lebih nyaman,” ucap Rendra.
“Di kamar panas,” jawab Khaylila.
“Kamu bisa nyalain AC-nya kalau panas.”
“Dingin.”
“Pakai selimut kalau dingin.”
“Gerah.”
Rendra mengusap wajahnya mendengar jawaban-jawaban Khaylila. Perempuan yang sedang PMS memang tidak bisa dilawan. Mereka akan lebih menyeramkan daripada singa lapar.
“Kamu sudah makan?” tanya Rendra lagi.
“Gak selera.”
“Saya belikan makanan, ya?”
“Hmm.”
“Oke. Kamu tunggu sebentar, saya keluar dulu.”
Rendra bergegas menuju minimarket yang ada di lantai satu gedung apartemen mereka. Lelaki itu membeli banyak cemilan dan coklat. Selain itu, dia juga memesan pizza dan ayam goreng yang sering dibeli oleh Khaylila di toko pizza yang terletak di seberang apartemen.
Setelah selesai, lelaki itu kembali ke apartemennya dan meletakkan berbagai makanan yang tadi dibelinya di meja depan sofa. Khaylila melirik makanan-makanan itu dan kemudian memandang Rendra yang sudah duduk di lantai tepat di depannya.
“Kamu mau buka warung?” tanya Khaylila melihat banyaknya makanan yang dibawa oleh Rendra.
“Kalo Hani lagi dapet, dia bakalan makan kaya kesurupan. Saya rasa kamu juga sama,” ucap Rendra.
“Kamu mau bilang kami perempuan ini rakus?” Khaylila bangkit dari posisinya yang meringkuk dan ikut duduk di lantai seperti Rendra.
“Gak rakus, cuma menjadi lebih lapar saja,” jawab Rendra yang menahan tawanya.
Ucapan dan tindakan Khaylila tidak sesuai sama sekali. Gadis itu kesal saat Rendra bilang kalau perempuan yang sedang menstruasi akan makan seperti kesurupan, tapi pada kenyataannya sebelah tangan Khaylila sudah memegang pizza dan sebelahnya lagi memegang sebungkus coklat. Mulutnya penuh dengan kedua makanan itu.
“Enak?” tanya Rendra yang sedikit heran dengan perpaduan makanan yang cukup aneh di matanya itu.
Khaylila memandang Rendra dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu terlihat sudah hampir menangis dan itu membuat Rendra kembali bingung. Baru saja marah, lalu sekarang berubah sedih.
“Eh, kenapa lagi?” tanya Rendra.

EleftheriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang