Chapter 16 🕊

115 6 0
                                    

Tepat dua minggu setelahnya, Khaylila mendapatkan telepon dari orang yang mengurusi masalah renovasi apartemennya. Hunian baru yang disewa oleh Khaylila dan Rendra sudah siap untuk ditempati.
“Kalian cepet banget sih dapet rumahnya. Mama belum puas ngobrol sama Lila. Pindahnya besok-besok aja ya, Ren,” ucap Ibu Dina saat mengetahui bahwa mereka sudah memiliki tempat tinggal baru.
“Mama kan sudah ngobrol sama Khaylila berbulan-bulan. Gak bosen apa? Lagian kita pindah pun Mama masih bisa ngobrol. Kan bisa teleponan,” jawab Rendra.
“Mana bisa bosen Mama sama anak Mama yang satu ini,” ucap Ibu Dina. “Lagian ngobrol lewat telepon mana seru. Jangan pindah dulu dong kalian. Ya? Ya?”
“Kalo kita di sini terus, kapan kita mau mandiri, Ma? Rendra sama Khaylila bakalan bergantung terus sama Mama.” Rendra masih menolak usulan Ibunya.
Khaylila hanya diam saja tidak ingin menginterupsi keduanya. Sebagai istri yang baik, Khaylila harus menuruti keinginan suaminya. Jika suaminya ingin pindah, maka dia akan pindah. Sebaliknya, jika suaminya tetap memilih untuk tinggal bersama Ibunya, Khaylila pun akan mengikuti. Begitulah konsep istri yang baik menurut Khaylila dan dia sedang menerapkannya di depan Ibu dan Ayah Rendra.
“Bener kata Rendra, Ma. Mereka harus belajar hidup mandiri,” ucap Ayah Rendra. “Dulu waktu Hani mau dibawa suaminya juga Mama heboh sampe nangis-nangis. Tapi buktinya, mereka bisa kan hidup sendiri. Mereka harus merasakan bagaimana menjadi suami istri yang mengurus semuanya sendiri tanpa bantuan orangtua.”
Ibu Dina cemberut memandang suaminya. Wanita paruh baya itu berbalik menghadap pada Khaylila yang masih tak bersuara. “Lila… belain Mama dong. Kamu gak mau pindah, kan? Kamu masih mau tinggal sama Mama, kan?”
Khaylila menggenggam tangan Ibu mertuanya. “Ma, Lila ikut apa keputusan Rendra aja. Ntar Lila bakalan sering telepon Mama biar Mama tetep ada temen ngobrol.”
“Ya udah deh kalo itu keputusan kalian. Tapi Mama ikut waktu pindahan. Mama mau lihat rumah barunya,” ucap Ibu Dina pada akhirnya.
“Iya, Ma. Besok Mama boleh ikut. Mama Ratna juga udah dikabarin sama Khaylila. Besok Mama Ratna juga ikut sambil bawain beberapa barang Khaylila yang masih ketinggalan di rumahnya,” jawab Rendra.
“Pindahnya besok?” Ibu Dina memasang eskpresi seperti akan menangis.
Rendra menganggukkan kepalanya. “Iya. Besok Rendra izin dari kantor sehari buat pindahan.”
“Cepet banget sih. Mama kira masih minggu depan.”
“Udah deh Ma. Kan tadi Mama sendiri yang bilang kalo mereka boleh pindah,” ucap Ayah Rendra yang tahu istrinya akan memulai lagi drama ‘tidak ingin ditinggal’ andalannya.
****
“Taruh di kamar itu aja, Pak Edi. Nanti Lila yang beresin sendiri,” ucap Khaylila pada Pak Edi yang membawakan dua buah koper besar berisi pakaian-pakaian miliknya yang dibawakan oleh Ibunya dari rumah.
Satu dari tiga kamar yang ada di apartemen itu memang diubah oleh Khaylila menjadi ruang wardrobe. Semua pakaian dan aksesoris miliknya dan Rendra akan diletakkan di sana. Kamar utama menjadi kamar tidur mereka berdua dan kamar satunya lagi akan dijadikan kamar tamu. Begitu yang dikatakan Khaylila pada Ibunya dan Ibu mertuanya. Tapi kenyataannya, kamar utama akan menjadi kamarnya dan kamar tamu itu adalah kamar Rendra saat mereka hanya berdua di apartemen.
“Ren, kulkasnya sudah Mama isi. Ntar Lila tinggal beli sayuran aja, ya,” ucap Ibu Dina dari arah dapur.
“Iya, Ma. Terima kasih ya, Ma,” jawab Khaylila.
“La, kamu gak ada TV?” tanya Ibu Khaylila saat melihat ruang keluarga di apartemen itu terlihat kosong tanpa adanya televisi.
“Ntar aja deh, Ma. Kami gak butuh-butuh banget TV. Kami jarang nonton juga,” jawab Khaylila.
“Gak bisa gitu dong, La. Mama kan suka nonton TV. Ntar kalo Mama kesini gimana Mama mau lihat sinetron kesukaan Mama? Iya kan, Bu Dina? Kita harus nonton sinetron itu tiap hari,” ucap Ibu Ratna.
“Bener, Bu Ratna. Kalo ketinggalan sinetronnya gimana? Gak bisa dong La.” Ibu Dina mendukung ucapan besannya.
“Kalian kan bisa nonton di rumah masing-masing,” ucap Khaylila.
“Kalo kita lagi nginep di sini gimana hayo?” ucap Ibu Ratna. “Pak Edi, tolong beliin TV ya. Sekarang.”
“Mama!” protes Khaylila. “Gak usah Pak Edi. Nanti Lila beli sendiri aja.”
“Kapan kamu mau belinya? Mama maunya sekarang. Udah Pak Edi pergi aja beli TV. Samain aja kaya yang di rumah. Ini kartunya.” Ibu Ratna memberikan sebuah kartu kredit pada Pak Edi yang langsung diterimanya.
Khaylila menghela napasnya jengah. Ibunya masih saja suka mengatur. Rendra yang melihatnya hanya mengangkat bahunya menandakan bahwa dia tidak peduli. Toh, ini bisa menghemat biaya mereka untuk membeli televisi. Bagaimanapun, barang gratis lebih menggiurkan.
****
Hari-hari awal tinggal di apartemen baru mereka dihabiskan oleh Khaylila dengan memberesi barang-barang yang jumlahnya ternyata cukup banyak. Baju-baju miliknya dan milik Rendra disusun dengan sangat rapi berdasarkan warna dan jenisnya dalam kamar khusus wardrobe. Khaylila memang sengaja meletakkan semua baju mereka di sana agar tidak perlu memindahkan apapun saat ada keluarga mereka yang datang menginap. Rendra hanya tinggal pindah tidur saja ke kamar utama bersama Khaylila, tidak harus memikirkan baju yang tertinggal di kamarnya sendiri. Dan keluarganya tidak akan curiga kenapa baju mereka diletakkan di kamar yang terpisah.
Khaylila benar-benar mengurus apartemen itu dengan tangannya sendiri. Ibunya dan Ibu mertuanya hanya ada di hari pertama mereka pindah dan sedikit membantu untuk bagian dapur. Rendra sendiri ingin membantu, tapi pekerjaannya membuat lelaki itu tidak memiliki waktu yang cukup.
“Khaylila,” panggil Rendra dari arah pintu masuk. Dia baru saja pulang dari kantor dengan membawa beberapa bungkusan plastik di tangannya.
“Hmm.. Sudah pulang?” Khaylila menyapa seadanya. Gadis itu sedang sibuk memasang sarung bantal sofa.
“Kamu sudah makan malam?” tanya Rendra.
“Belum. Gak sempat masak. Nanti aja saya pesan online,” jawab Khaylila.
“Gak usah pesan. Ini saya sudah bawa makanan untuk kamu.”
“Eh? Itu bukan makan malam kamu?”
“Iya. Tapi saya sekalian beliin buat kamu juga. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf karena gak bisa bantu banyak untuk ngeberesin tempat ini.”
Khaylila hanya tersenyum mendengarnya. Mereka memang sepakat untuk tidak saling merepotkan dalam hal apapun termasuk makanan. Rendra meminta Khaylila untuk tidak perlu menyiapkan makanan untuknya karena lelaki itu akan melakukannya sendiri dan Khaylila menyetujuinya. Untuk urusan pakaian kerja Rendra juga tidak lagi disiapkan oleh Khaylila semenjak mereka pindah ke apartemen. Kebiasaan yang diajarkan oleh Ibu Dina sudah dihentikan oleh anaknya sendiri. Khaylila dan Rendra benar-benar tinggal di sana layaknya anak kost yang berteman tetapi menjalani hidup masing-masing.
“Kamu harusnya minta bantuan aja ke Mama, Khaylila. Kamu gak capek beresin tempat ini sendirian? Ini sudah hampir satu minggu,” ucap Rendra saat keduanya sudah duduk di meja makan dan menyantap makanan yang dibelinya.
“Gak papa. Saya juga kan gak punya kegiatan yang berarti,” jawab Khaylila.
“Tapi kan capek, Khaylila.”
“Kalo saya capek ya saya tinggal istirahat.”
“Ya udah sekarang kamu istirahat. Selesai makan kamu gak boleh ngapa-ngapain lagi. Kalo perlu langsung tidur aja sampe besok pagi.”
Khaylila tertawa mendengarnya. “Ini masih jam 7 loh, Rendra. Kamu mau nyuruh saya tidur apa latihan meninggal?”
Rendra ikut tertawa bersama Khaylila. “Kamu ngerti maksud saya, Khaylila.”
“Iya. Iya. Saya mengerti. Saya akan istirahat. Tapi nanti setelah saya membereskan bekas makan malam ini.”
“No. No. No. No. Gak perlu. Biar saya aja yang beresin sama cuci piring-piringnya.”
“Gak bisa gitu dong, Rendra. Kamu sudah beli makanannya, giliran saya yang beresin dan cuci piring. Itu baru adil.”
Rendra menggelengkan kepalanya. “Kan saya sudah bilang ini sebagai permintaan maaf dari saya.”
“Termasuk cuci piring?”
“Iya. Jadi, kamu sekarang masuk ke kamar dan istirahat. Oke?”
Khaylila menghembuskan napasnya, mengalah pada sang suami. “Oke. Gak sekalian nyapu sama ngepel lantainya?”
“Oh, boleh. Nanti saya kerjain, ya.”
“Eh! Bukan, Rendra. Saya cuma bercanda. Gak usah dikerjain.” Khaylila jadi panik dengan candaannya yang dianggap serius oleh Rendra.
“Gak papa, Khaylila. Saya beneran bisa kerjain.”
“No, Rendra. Lantainya sudah saya pel sore ini. Kamu gak perlu pel lagi.”
“Beneran?”
“Iya bener.”
“Oke kalo gitu. Apa ada yang lain yang harus saya kerjakan?”
Khaylila menggeleng dengan cepat. “Gak ada. Kamu cukup cuci piring aja.”
“Right. Sekarang kamu istirahat sana. Good night, Khaylila.”
“Good night.”

EleftheriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang