“Sekarang sudah sampe mana? Saya perlu nyusul gak?” tanya Rendra lagi.
“Gak usah, Rendra. Saya sudah di deket kantor kamu. Sepuluh menit lagi saya sampai,” jawab Khaylila.
“Oke. Hati-hati di jalan,” ucap Rendra sebelum memutus sambungan teleponnya.
Ibu Dina segera mendekati anaknya dengan wajah khawatir. “Lila kenapa?”
“Mobilnya mogok, jadinya dia jalan kaki pulang,” jawab Rendra.
“Ya ampun, Ren. Jemput sana. Kasihan dia jalan kaki begitu. Pasti capek banget,” ucap Ibu Dina.
“Dia udah deket kok, Ma. Udah di depan sini. Bentar lagi juga nyampe.”
Ibu Dina hanya bisa diam mendengarnya. Wanita paruh baya itu berjalan menuju pintu dan membukanya, menunggu menantunya pulang dengan penuh rasa cemas.
Dan seperti yang dikatakan oleh Khaylila tadi, sepuluh menit kemudian dia sampai dia apartemen mereka. Ibu Dina segera menyambutnya dan mengusap keringat yang ada di dahi gadis itu.
“Capek ya, nak? Aduh, kamu kok malah jalan kaki sih. Ayo, ayo, masuk. Kamu istirahat dulu sini.” Ibu Dina merangkul Khaylila dan membimbingnya menuju sofa tempat Rendra sudah lebih dulu duduk.
“Lila gak papa, Ma. Cuma jalan sedikit aja, buat olahraga juga,” ucap Khaylila.
“Tetep aja capek, La. Di luar itu panas dan berdebu. Lihat nih, keringat kamu,” ucap Ibu Dina. Tangannya mengambil tissue dan mengelap wajah Khaylila dengan seksama.
“Mama tuh kalo udah ketemu Khaylila aja lupa sama anaknya sendiri,” sindir Rendra.
Ibu Dina melemparkan tissue di tangannya pada Rendra. “Kamu tuh yang lupa sama istri sendiri. Kenapa Lila gak dijemput aja tadi?”
“Dia sendiri yang bilang mau jalan, Ma. Kok malah nyalahin Rendra sih?” sungut Rendra tak terima terus disalahkan.
“Iya, Ma. Lila yang emang pengen jalan, makanya gak mau dijemput sama Rendra,” lerai Khaylila.
Ibu Dina menatap menantunya tidak setuju tapi kemudian kembali tersenyum. “Mama bawain kalian banyak makanan. Kita makan dulu, ya?”
“Lila mandi dulu ya, Ma. Gak enak badannya keringetan begini,” ucap Khaylila.
“Iya, iya. Sana mandi dulu. Mama siapin mejanya,” ujar Ibu Dina.
“Gak usah, Ma. Ntar Lila aja sehabis mandi.”
“Udah.. Kamu mandi aja sana.” Ibu Dina mendorong menantunya masuk ke dalam kamar.
****
Khaylila keluar dari kamarnya setelah selesai mandi dan berganti pakaian. Meja makannya sudah penuh dengan berbagai hidangan karya Ibu mertuanya. Khaylila duduk di sebelah kiri Rendra yang sudah lebih dulu duduk di kepala meja dengan Ibunya yang duduk di sebelah kanannya.
Khaylila mengambil piring milik Rendra dan mengisinya dengan nasi beserta lauk dan sayur lalu menyerahkan pada suaminya itu. Mereka benar-benar terlihat natural dan tidak dibuat-buat. Seolah-olah melayani Rendra seperti itu adalah keseharian Khaylila.
Ibu Dina tersenyum melihat perhatian yang diberikan oleh Khaylila pada Rendra. Impiannya untuk memiliki seorang menantu yang bisa mengurus anak lelaki kesayangannya ini sudah terwujud. Rendra berada di tangan yang benar.
“Masakan Mama emang paling enak,” puji Khaylila setelah mencicipi masakan Ibu Dina.
“Bisa aja kamu, La. Masakan kamu juga pasti enak. Iya kan, nak?” Ibu Dina menatap anaknya.
“Iya. Masakan kalian berdua paling enak,” jawab Rendra mencari aman.
Baik Ibu Dina maupun Khaylila tertawa mendengarnya. Pasalnya mereka dapat melihat dari ekspresi Rendra bahwa lelaki itu hanya menjawab dengan asal-asalan saja.
“Mama malam ini nginap di sini, kan?” tanya Khaylila.
“Emang boleh?” tanya Ibu Dina.
“Pake nanya segala. Biasanya juga langsung tidur aja,” seloroh Rendra.
Khaylila menepuk pelan lengan Rendra. “Boleh dong, Ma.”
“Ya udah, Mama tidur sini malam ini,” ucap Ibu Dina.
Khaylila tersenyum lebar mendengarnya. “Besok jalan-jalan sama Lila ya, Ma? Kita ke mall. Belanja.”
“Belanja?” ulang Ibu Dina.
“Iya, Ma. Kita berdua aja. Dia gak usah diajak.” Khaylila mengibaskan tangannya pada Rendra, mengisyaratkan bahwa lelaki itu tidak masuk hitungan.
“Mama sih ayo aja,” jawab Ibu Dina.
Ketiganya melanjutkan makan malam mereka dengan diselingi obrolan-obrolan ringan dan tawa. Setelah selesai, giliran Khaylila membersihkan meja makan dan mencuci piring. Rendra sebenarnya ingin membantu, tapi Khaylila dengan tegas melarangnya. Ibu Dina tidak akan suka melihat anak kesayangannya berdiri di depan wastafel dengan busa di tangannya. Khaylila menyuruh lelaki itu menemani Ibunya menonton televisi dengan beberapa cemilan di meja dan biarkan dia menyelesaikan tugasnya sebagai istri dan menantu yang baik.
****
Pukul sebelas siang keesokan harinya, Khaylila sudah siap berada di balik kemudi mobilnya yang satu lagi. Ibu Dina duduk di sebelahnya mengamati interior mobil yang tampak sangat berbeda dengan milik Rendra. Ibu Dina tidak paham bahwa mobil Khaylila merupakan mobil keluaran Eropa dan milik Rendra mobil biasa produksi Jepang. Yang Ibu Dina tahu, mobil Khaylila jauh terasa lebih nyaman.
“Ini mobil yang kemarin rusak, La?” tanya Ibu Dina.
“Oh, bukan, Ma. Yang kemarin Lila pake itu mobil Papa,” ucap Khaylila berbohong. Dia tidak ingin dianggap terlalu bermewah-mewah dengan memiliki dua mobil. “Papa jarang pake mobilnya, jadi Lila yang pake. Sayang kalo gak dihidupin.”
“Yang ini mobilnya Lila?”
“Iya. Lila nyicil pake duit dari buku Lila. Biar kelihatan ada hasilnya gitu, Ma.”
“Hebat kamu, La. Bikin buku bisa beli mobil.”
“Besok-besok Lila bikin buku lagi yang banyak biar bisa beliin Mama juga. Mama mau apa? Mobil? Rumah?”
Ibu Dina tertawa, mengira perkataan Khaylila hanya candaan semata. “Mama mau pesawat. Gimana? Berapa buku yang harus kamu bikin?”
“Wah kalo itu sih bukunya harus segudang, Ma.”
Perjalanan menyenangkan mereka tanpa terasa sudah sampai di tujuannya. Khaylila memarkirkan mobilnya di sebuah mall terbesar di kotanya. Keduanya turun dan segera masuk ke sana. Khaylila menggandeng tangan Ibu Dina dan berjalan bersama menuju sebuah toko dengan merk yang memiliki dua buah huruf C yang saling membelakangi.
“Mama, tas yang ini bagus, gak?” tanya Khaylila menunjukkan sebuah tas berwarna coklat pada Ibu Dina.
“Bagus, nak. Tapi kecil,” jawab Ibu Dina.
Khaylila meletakkan tas itu dan mengambil yang lainnya dengan ukuran yang lebih besar. “Kalo yang ini?”
“Nah ini baru pas.”
“Mama suka yang mana?”
Ibu Dina menggelengkan kepalanya ragu. “Mama suka aja semuanya, La. Yang penting sih ukurannya besar biar bisa muat banyak.”
“Ya udah yang ini aja. Ntar kita cari tas yang lebih besar di toko lain ya,” ucap Khaylila.
Gadis itu kemudian menyerahkan tas yang tadi dipilihkan oleh Ibu Dina untuknya kepada petugas toko dan langsung membayar menggunakan kartunya. Selesai dengan transaksi yang terbilang besar itu, Khaylila kembali mengajak Ibu Dina menuju toko lainnya.
Kali ini Khaylila memilih masuk ke toko fashion lainnya dengan huruf L dan V yang sangat khas. Biasanya di sana Khanza akan mengajaknya jika ingin membeli tas besar. Ibu Dina yang tidak begitu paham mengenai brand-brand fashion hanya mengikuti kemana menantunya membawanya.
“Ini tasnya besar-besar, Ma. Pilih yang Mama suka,” ucap Khaylila.
“Kamu mau beliin buat Mama?” tanya Ibu Dina.
Khaylila tersenyum lembut. “Pilih aja, Ma.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Eleftheria
Romance"Saya punya penawaran menarik buat kamu, Rendra." "Penawaran? Jangan bilang kalo kamu tertarik dengan ucapan Ibu saya yang mau ngejodohin kita." "Kurang lebih begitu. Tapi dengan keuntungan yang lebih besar." "Keuntungan? Kamu mau main-main dengan p...