Chapter 15 🕊

122 7 0
                                    

Khaylila kembali masuk ke dalam kamar sementara Ibu Dina masuk lagi ke dapur untuk menyiapkan sarapan bagi Ayah Rendra. Khaylila menutup pintu kamarnya dan menghela napas.
“Mama kamu hebat juga, ya. Setiap hari harus menyiapkan kebutuhan kamu seperti ini,” komentar Khaylila saat mendapati Rendra yang sedang memakai kemejanya.
“Udah kebiasaan. Padahal saya bisa sendiri,” jawab Rendra.
“Kamu bisa pake baju sendiri? Saya tadi disuruh bantuin kamu loh,” ucap Khaylila sarkas.
Rendra memandang Khaylila dengan mata yang disipitkan dan tangan menyilang di depan dada. “Kamu mau macam-macam sama saya, Khaylila.”
Khaylila hanya mendengus dan memutar matanya malas. Gadis itu memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur lagi.
“Nanti siang saya mau lihat apartemen,” ucap Khaylila.
“Hmm.. mau bilang apa ke Mama?”
“Bilang aja saya mau ke mall, ngabisin duit suami.”
Gantian Rendra yang memutar matanya. “Kamu mau nama kamu yang amat sangat baik di mata Mama saya bakalan tercoreng?”
“Saya bakal bilang kalau saya mau ke dokter. Cek kandungan. Mungkin bulan madu kita membawa hasil.”
“Khaylila,” tegur Rendra.
“Bercanda, suamiku sayang.” Khaylila tertawa keras. “Saya bilang aja kalau saya mau check-up tangan saya. Sudah lama saya gak ketemu dokter.”
“Oke. Bagus kalau begitu.”
“Kamu mau apartemen yang gimana? Ada spesifikasi khusus kah?”
“Terserah kamu aja, Khaylila. Saya cuma perlu tempat untuk tidur di sana. Waktu saya akan banyak terpakai di kantor. Kamu yang akan sering berada di rumah. Buat diri kamu nyaman.”
“Good. Sekarang sarapan,” ucap Khaylila menunjuk nampan berisi makanan yang sudah dia masak bersama mertuanya.
Rendra duduk di kursi yang ada di kamarnya dan menyantap makanan paginya sementara Khaylila hanya mengamati.
“Kamu gak makan?”
“Saya gak biasa makan sepagi ini.”
Rendra mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Lelaki itu melanjutkan makannya sampai habis dan kemudian mengambil tasnya untuk bersiap berangkat.
“Saya berangkat,” ucap Rendra.
“Hmm.. Bye,” jawab Khaylila.
Rendra berhenti di depan pintu kamarnya dan berbalik pada Khaylila. “Ayo,” ajaknya.
“Kamu mau saya ikut ke kantor kamu, Rendra?” Khaylila tampak kebingungan.
“Kamu harus antar saya ke depan atau Mama saya bakalan nanyain. Mama saya biasa cium saya sebelum berangkat, jadi kamu juga harus melakukan hal yang sama.”
“Hah?!”
“Sorry.” Rendra mengatupkan kedua tangannya di depan dada sebagai permintaan maaf.
Khaylila bersungut-sungut turun dari tempat tidur dan mengikuti Rendra keluar. Langkahnya pun tampak tidak bersemangat.
“Lila kenapa? Kok cemberut begitu?” tanya Ayah Rendra yang sudah duduk di ruang keluarga. Tampaknya kedua mertuanya juga sudah sarapan.
“Aduh papa kaya gak pernah muda aja. Lila begitu karena gak mau ditinggal suaminya pergi kerja lah,” Ibu Dina mewakili Khaylila menjawab.
“Cuma sebentar kok, Sayang. Ntar sore kita ketemu lagi,” ucap Rendra sambil merangkul bahu Khaylila.
Khaylila hanya diam saja tidak menanggapi. Rendra pun melepaskan rangkulannya dan menuju kursi yang biasa dia duduki untuk memasang sepatu. Setelah itu dia mengambil kunci mobilnya.
Ibu Dina mendekat dan mencium pipi anaknya sebelum Rendra masuk ke dalam mobil. Rendra melirik Khaylila yang mengamati dengan wajah tak terbaca.
“Bentar, Ma,” ucap Rendra.
“Kenapa?” tanya Ibu Dina. “Oh! Mama lupa kamu udah ada yang punya.”
Rendra mendekat ke arah Khaylila dan mencium dahinya selama beberapa detik. “Saya berangkat kerja dulu. Jangan nakal, ya.”
Khaylila hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Hati-hati di jalan,” gumamnya pelan.
****
Khaylila memasuki sebuah apartemen yang akan disewanya selama beberapa bulan ke depan. Seorang petugas memandunya untuk melihat-lihat isi di dalam apartemen tersebut. Terdapat dua kamar dengan ukuran sedang dan satu kamar utama yang cukup luas dengan kamar mandi di dalamnya. Kamar mandi lainnya terletak di dekat dapur yang juga luas. Apartemen itu membuat Khaylila cukup nyaman karena ruangan-ruangannya memiliki space besar. Jarak antara apartemen itu dengan kantor Rendra juga dekat. Hanya butuh waktu lima sampai sepuluh menit dengan berjalan kaki.
“Gimana, Ibu Khaylila? Apa yang ini cocok dengan Ibu?” tanya sang pemandu. Pasalnya, tempat ini adalah apartemen ketiga yang sudah Khaylila lihat.
“Iya. Saya suka yang ini. Hanya butuh beberapa perubahan,” jawab Khaylila.
“Oh, tentu bisa, Bu Khaylila. Ibu tinggal bilang yang Ibu butuhkan dan kami akan segera melakukan renovasi.”
“Saya mau wallpapernya diganti dengan warna soft blue,” ucap Khaylila dan mengatakan beberapa perubahan lagi yang dia inginkan.
“Baik, Bu. Semua akan segera siap dalam waktu dua minggu.”
Setelah selesai dengan semau persyaratannya, Khaylila kemudian menandatangani kontrak sewa apartemen tersebut dan membayar sejumlah uang sebagai tanda jadi.
“Terima kasih, Ibu Khaylila. Senang berbisnis dengan Anda.”
“Saya tunggu kabar renovasinya secepat mungkin.”
Selesai dengan urusan apartemennya, Khaylila melanjutkan perjalanan menuju sebuah kantor penerbit di mana namanya tercatat sebagai penulis tetap di sana. Tidak banyak yang tahu nama pena yang digunakan Khaylila sebagai penulis meski karyanya sudah banyak yang tersebar di berbagai toko buku di seluruh negeri. Orang-orang di kantor itu pun hanya mengetahui Khaylila sebagai salah satu founder, bukan penulis. Khaylila terlalu merahasiakan identitasnya sendiri.
“Eh, udah dateng… Gimana progressnya?” Erika, salah satu dari sedikit orang yang mengetahui siapa Khaylila menyapanya dengan ceria. Erika juga menjadi editor Khaylila sejak pertama gadis itu terjun ke dunia tulis-menulis.
“Nih, udah setengahnya. Ntar aku lanjut lagi kalo udah pindah ke apartemen. Tinggal di sana bikin aku gak bisa konsen,” jawab Khaylila sambil menyerahkan naskah yang sudah diketik selama berada di Bali.
“Duh.. yang tinggal sama mertua mulai ngeluh nih. Mertua kamu galak?” tanya Erika.
“Kebalikannya, Ri. Mertua aku ngajak ngobrol seru mulu. Susah nolaknya.” Khaylila menjawab dengan kekehan dari mulutnya.
“Enak bener yang punya mertua seru begitu. Mertua aku kerjaannya ngomel gak pake berhenti. Kalo kuping gak tebel, ya bakal mati muda akunya,” ucap Erika.
“Ganti mertua sana! Biar ngerasain seru kaya aku,” celetuk Khaylila.
“Dikira gampang ganti-ganti begitu,” gumam Erika tak setuju.
“Ya udah deh, aku cuma mau ngasih itu doang. Mau langsung pulang, keburu mertua aku kangen,” ucap Khaylila.
“Woi, enak aja main langsung pulang. Ini belum aku lihat loh, La.”
“Ntar revisi lewat email aja.” Khaylila menepuk bahu Erika. “Kalo aku udah pindah ke apartemen, kamu bisa ke sana kapanpun kamu mau buat bedah tulisan aku. Oke?”
“Oke deh oke. Apa sih yang gak aku iyain buat kamu.”
Khaylila tersenyum senang dan kemudian berlalu dari hadapan Erika untuk pulang ke rumah Rendra. Dia harus sudah berada di rumah sebelum suaminya pulang atau mertuanya akan panik mencari keberadaannya.

EleftheriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang