Chapter 10 🕊

141 5 0
                                    

“Kak, kenapa pilih hitam?” tanya Khanza saat fitting baju seragam untuk keluarga.
“Kakak suka hitam. Rendra juga setuju, kok,” jawab Khaylila santai.
“Kan kesannya gak ceria, Kak. Ini pernikahan loh, Kak. Bukan pemakaman,” ucap Khanza lagi.
“Bukannya pernikahan dan pemakaman sama? Sama-sama mengantarkan seseorang menuju kehidupan lain,” gumam Khaylila pelan yang tidak didengar oleh adiknya.
“Kakak kok bisa setenang ini, sih? Aku dulu dari seminggu sebelum nikah gugupnya setengah mati loh Kak. Ini Kakak tinggal 2 hari lagi mau jadi istri orang tapi masih aja santai,” komentar Khanza yang heran melihat kakaknya.
“Ya ngapain gugup, Za? Kan ini pilihan yang Kakak buat sendiri.”
“Kakak udah yakin banget sama Rendra? Kalian baru banget kenal.”
“Yakin, Za. Kami bakalan jadi pasangan yang bahagia kaya kamu sama Arka.”
Khanza memeluk kakaknya dengan sayang. “Semoga kalian langgeng sampe tua ya, Kak.”
Khaylila hanya diam tidak menjawab ucapan adiknya. Hanya balasan pelukan yang diberikan oleh Khaylila. Harapan sang adik tidak akan mungkin terwujud di pernikahannya. Sebaliknya, Khaylila mendoakan pernikahan adiknya lah yang harus terus bertahan sampai maut memisahkan.
****
Hari pernikahan pun tiba. Pukul 4 pagi Khaylila sudah harus berada di depan cermin untuk dirias oleh make-up artist ternama yang tentu saja dipilih oleh Ibunya. Beberapa kamar hotel telah dipesan untuk tempat menginap keluarga dari kedua belah pihak. Khaylila mendapatkan sebuah kamar yang lumayan luas untuk dirinya sendiri. Selain untuk tidur satu malam sebelum hari pernikahan, kamar Khaylila juga digunakan khusus untuknya dirias dan berganti pakaian. Setelah acara selesai, Khaylila akan pindah ke kamar yang sudah dipesan untuknya dan Rendra sebagai suami istri yang sah.
Khaylila berusaha membuka matanya yang terasa mengantuk. Pasalnya, gadis itu baru saja bisa tidur pukul 1 dan hanya beberapa jam setelahnya, tim make-up sudah menekan bel pintu kamarnya, memaksa Khaylila untuk bangun dan bersiap.
Butuh waktu lebih dari 3 jam bagi Khaylila untuk dirias dan memakai pakaian untuk akad nikahnya. Acara yang akan dimulai pukul 8 pagi itu sudah hampir memasuki waktunya. Tim perias Khaylila meninggalkan kamarnya untuk membiarkan gadis itu menikmati waktunya sendiri.
Ting Tong
Bel pintu kamar itu berbunyi lagi. Khaylila melangkah dengan sedikit sulit karena pakaian yang dikenakannya. Sampai di pintu, gadis itu langsung membukanya dan cukup terkejut mendapati Ibu Dina berdiri di hadapannya.
“Ibu… Masuk, Bu,” ucap Khaylila.
Ibu Dina masuk dan duduk di sofa yang ada di kamar itu bersama dengan Khaylila. Wanita paruh baya itu memperhatikan seseorang yang sebentar lagi akan menjadi menantunya.
“Adek cantik banget,” ucapnya pelan.
“Terima kasih, Bu,” jawab Khaylila tersipu.
“Jangan panggil Ibu lagi. Mulai sekarang adek harus manggil Mama.”
Khaylila menganggukkan kepalanya. “Iya, Ma.”
Ibu Dina tersenyum. Digenggamnya tangan Khaylila yang terasa dingin. “Dek, Mama titip Rendra, ya. Cintai Rendra seperti Mama mencintainya. Rendra itu harta Mama yang paling berharga, Dek. Kalau Mama sudah gak ada lagi, kamu harus bisa gantiin peran Mama di hidup Rendra.”
“Lila pasti jagain Rendra, Ma. Lila janji bakalan bikin Rendra bahagia,” ucap Khaylila.
“Walaupun kalian baru kenal sebentar, tapi Mama yakin kamu adalah pilihan terbaik buat Rendra.” Mata Ibu Dina tampak berkaca-kaca mengingat anak kesayangannya akan berganti peran menjadi seorang suami.
“Mama jangan nangis dong,” ucap Khaylila yang ikut terharu melihat bagaimana sayangnya Ibu Dina pada anaknya.
“Adek juga jangan nangis. Nanti maskaranya luntur,” canda Ibu Dina demi mencairkan suasana.
Khaylila terkekeh pelan. “Mama juga jangan panggil Adek lagi dong. Panggil Lila aja.”
Ibu Dina menganggukkan kepalanya. “Lila… Jangan pernah lelah mencintai Rendra ya. Walaupun dia kadang keras kepala dan susah dibilangin, tapi dia anak yang baik. Dia gak akan menyakiti Lila. Kalian harus saling menyayangi sampai maut yang memisahkan kalian.”
Kali ini Khaylila tidak dapat menjawab apapun. Sama seperti saat adiknya mengatakan harapannya beberapa hari yang lalu, kali ini pun Khaylila hanya diam. Dalam hati dia meminta maaf pada calon mertuanya ini karena tidak mampu memenuhi permintaannya.
****
Khaylila memasuki ballroom tempat acara akad nikah diselenggarakan. Di sampingnya, Khanza menggandeng tangannya. Sementara kedua orang tuanya berjalan di depan mereka. Arka berada di belakang sambil menggendong Queen.
Terdapat sebuah meja persegi panjang di area depan dengan enam buah kursi. Dua untuk pengantin, dua untuk saksi, satu untuk penghulu dan satu lagi untuk Ayah Khaylila sebagai walinya. Rendra sudah duduk di kursinya dan mengamati Khaylila yang sedang berjalan ke arahnya.
Lelaki itu tersenyum seolah hari ini adalah hari paling bahagia yang pernah dia rasakan. Semenjak mengenal Rendra, Khaylila selalu berpikir bahwa lelaki ini lebih layak menjadi aktor daripada seorang karyawan kantoran. Aktingnya sangat luar biasa. Tidak akan ada yang menyadari apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh Rendra jika tidak benar-benar mengenalnya secara baik.
Khaylila menyempatkan diri untuk menatap para tamu undangan yang hadir di acara pagi hari ini. Matanya menangkap sosok yang beberapa waktu ini semakin akrab dengannya. Dia adalah pacar Rendra. Orang itu duduk di barisan dua dari depan. Dia tersenyum dan sedikit melambaikan tangannya pada Khaylila yang dibalas dengan anggukan oleh gadis itu.
Khaylila duduk di samping Rendra dengan ketenangan yang tidak akan bisa dilihat pada pengantin wanita manapun. Tidak ada rasa gugup sama sekali pada gadis itu. Dia menganggap hal ini sebagai sebuah kegiatan tidak penting yang harus dia hadiri karena paksaan dari keluarganya.
“Hai.. Long time no see,” sapa Rendra sama santainya dengan Khaylila.
“Hai juga. Ready?” bisik Khaylila.
“Ready dong. Lihat aja ntar, saya gak akan buat kesalahan,” Rendra juga balas berbisik.
Khaylila hanya bisa tersenyum menanggapi ucapan Rendra. Jika orang lain melihatnya, tampak keduanya seperti pasangan yang sedang berbahagia menghadapi pernikahan yang akan segera terlaksana.
Ucapan Rendra tadi terbukti benar. Tidak ada sedikitpun kesalahan yang dibuatnya. Akad nikah terlaksana dengan lancar tanpa halangan apapun. Sah sudah Khaylila menjadi istri seorang Rendra baik di mata agama maupun negara.
Acara dilanjutkan sore harinya di tempat yang sama. Dekorasi yang digunakan sudah diubah sesuai dengan keinginan dari Khaylila dan Rendra. Warna hitam dan putih mendominasi ballroom mewah itu. Sentuhan warna gold menambah kesan elegan pada resepsi pernikahan mereka.
“Udah makan, Rendra?” tanya Khaylila saat dirinya sedang dirias di kamarnya sendiri. Rendra masuk begitu saja karena dia sudah diberi akses untuk memasuki kamar itu begitu selesai akad tadi pagi.
“Udah barusan. Kamu?” Rendra memilih untuk duduk di tepi tempat tidur. Dirinya sudah memakai pakaian untuk acara resepsi. Tinggal menunggu Khaylila selesai dan mereka akan langsung menuju ballroom.
“Udah juga. Khanza bawain ke sini tadi sekalian disuapin. Saya gak bisa bergerak sama sekali dari sini,” jawab Khaylila mengeluhkan keadaannya.
“Makanya gak usah dandan heboh-heboh banget. Lama kan jadinya,” komentar Rendra yang sedang memperhatikan tempat tidur. Lelaki itu begitu tergoda untuk merebahkan kepalanya sejenak.
“Mas Rendra, jangan baring ya. Ntar bajunya kusut,” ucap salah satu personil tim make-up artist mereka.
Rendra mendengus kesal mendengarnya sementara Khaylila tertawa pelan. Kalau boleh jujur, dirinya pun ingin berbaring dan tidur. Rasa lelahnya sudah mulai menumpuk sejak pagi buta.

EleftheriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang