Chapter 18 🕊

103 5 0
                                    

Rendra menatap Khaylila yang beranjak keluar dari kamarnya. Lelaki itu mengambil ponselnya untuk menelepon kantor. Bagaimanapun hari ini dia harus izin karena tidak memungkinkan baginya untuk berangkat kerja dengan kondisi seperti ini.
Sementara itu Khaylila berdiri di depan meja dapurnya, tampak sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk membuat bubur. Tangannya cekatan membuat hidangan yang biasa dia makan saat sedang sakit itu.
Dan tak butuh waktu lama, bubur buatan Khaylila pun jadi. Dia menuangkannya ke dalam mangkuk untuk segera dibawa ke kamar Rendra. Tapi saat dia hendak beranjak menuju kamarnya, lelaki itu sudah lebih dulu menghampirinya ke dapur.
“Eh? Udah enakan?” tanya Khaylila saat melihat Rendra yang menarik kursi meja makan dan duduk di sana.
“Lumayan. Kepalanya masih agak sakit,” jawab Rendra.
Khaylila meletakkan buburnya di hadapan Rendra. “Dimakan dulu, terus minum obat. Setelah itu kamu bisa istirahat lagi.”
Rendra menganggukkan kepalanya dan mulai menyendok bubur buatan istrinya itu. “Ini enak, Khaylila. Terima kasih.”
Khaylila tersenyum mendengarnya. “Hmm.. Sudah telepon kantor?” tanya Khaylila.
“Sudah barusan. Saya bilang saya ada urusan keluarga.”
“Kenapa gak bilang aja kalo kamu sakit?”
“Nanti pacar saya dengar kalo saya izin sakit ke kantor.”
“Itu kan tandanya dia sayang sama kamu, Rendra.”
“Iya, saya tahu. Saya cuma gak mau dia panik aja,” jawab Rendra.
“Ya udah. Yang penting kamu cepetan sembuhnya. Kalo kelaman izin dia juga bakalan curiga loh. Bisa-bisa dia dobrak pintu apartemen kita,” seloroh Khaylila.
Rendra terkekeh pelan. “Iya, iya. Saya bakalan sembuh hari ini juga.”
Giliran Khaylila yang tertawa. “Kalo udah bisa bercanda begini sepertinya kamu sudah jauh membaik.”
“Yah, terima kasih atas perawatan istri saya yang baik ini,” ucap Rendra.
****
Khaylila keluar dari kamarnya pukul 5.30 pagi. Gadis itu ingin pergi ke area Car Free Day untuk jogging dan sedikit cuci mata dengan melihat-lihat aneka kuliner yang dijuali di sana. Mungkin akan membeli beberapa jika dia berminat. Ini adalah kegiatan yang cukup sering dilakukan oleh Khaylila di hari Minggu pagi seperti hari ini.
“Astaga!”
Langkah Khaylila terhenti seketika saat rasa terkejut merayapi tubuhnya. Tangan kecilnya mengelus dadanya guna menenangkan diri.
Di hadapannya, Rendra dengan santainya menyeruput kopi sembari duduk di sofa. Lelaki itu memandang Khaylila bingung.
“Kenapa?” tanya Rendra.
“Kamu kok di sini? Semalam kamu bilang kamu nginep di rumahnya,” ucap Khaylila merujuk pada pesan Rendra semalam yang mengatakan kalau dia akan menginap di rumah pacarnya.
“Gak jadi. Saya pulang tengah malam pas kamu sudah tidur,” jawab Rendra.
“Oh, begitu.”
“Mau pergi?”
Khaylila menganggukkan kepalanya. “Mau jogging di CFD sekalian cari makanan.”
“Boleh ikut?” tanya Rendra antusias.
“Ayo,” jawab Khaylila.
Rendra beranjak dari sofa untuk mengganti pakaiannya. Setelah Rendra selesai, keduanya langsung berangkat menuju area CFD.
“Khaylila, ayo sarapan dulu,” ucap Rendra sambil menarik tangan Khaylila menuju penjual bubur ayam.
“Rendra, saya ke sini mau jogging, ingat?” ucap Khaylila.
“Ingat. Nanti aja setelah sarapan,” jawab Rendra.
Lelaki itu membawa Khaylila untuk duduk di meja yang sudah disediakan oleh penjual bubur ayam dan memesan dua porsi bubur. Tidak perlu menunggu lama, pesanan mereka pun datang.
“Ayo dimakan, Khaylila. Nanti keburu dingin,” ucap Rendra.
Khaylila menyuap bubur ke dalam mulutnya dan di suapan kedua, gadis itu sudah meletakkan sendoknya kembali. Rendra memandangnya dengan dahi berkerut.
“Kenapa? Gak suka, ya?”
“Saya bukan pecinta bubur ayam, Rendra.”
Rendra yang sudah menghabiskan buburnya langsung mengambil mangkuk milik Khaylila. “Kalau begitu biar saya aja yang makan. Kamu nanti sarapan yang lain aja.”
Khaylila hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Rendra. Sepertinya suaminya itu sangat menyukai bubur ayam mengingat dia menghabiskan dua mangkuk bubur dalam waktu tidak sampai sepuluh menit.
Setelah selesai makan dan membayarnya, Rendra kembali menarik tangan Khaylila untuk melihat makanan lainnya.
“Kamu sukanya apa?” tanya Rendra.
“Siomay,” jawab Khaylila pendek.
Segera saja Rendra membawa gadis itu ke tenda penjual siomay dan batagor. “Duduk sini, biar saya pesan.”
Khaylila menunggu Rendra memesan makanan untuknya. Khaylila mengernyit heran saat Rendra datang dengan dua piring di tangannya.
“Kenapa dua?” tanya Khaylila.
“Buat saya satu. Saya juga suka siomay,” jawab Rendra dengan cengiran di wajahnya.
“Astaga, Rendra. Kamu baru saja makan dua mangkuk bubur! Apa belum kenyang?”
“Belum. Ini enak, Khaylila.”
“Kamu kaya orang belum makan berhari-hari, Rendra.”
Rendra hanya terkekeh pelan mendengarnya. Lelaki itu menyantap siomay pesanannya dengan lahap seolah belum makan apapun sebelum ini.
“Saya kira orang kaya seperti kamu gak mau makan di pinggir jalan begini, Khaylila.” Rendra mengungkapkan pikirannya pada gadis di depannya itu.
“Saya gak sekaya itu, Rendra. Saya sama seperti kamu dan orang-orang lainnya. Menikmati makanan seperti ini adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya,” ucap Khaylila.
“Untung kamu gak seperti para sosialita itu ya, Khaylila. Kalo kamu seperti itu kan saya yang ikut susah harus mengimbangi gaya kamu. Gak mungkin kamu bawa-bawa suami yang gayanya biasa saja. Bisa jadi omongan orang-orang nantinya.”
“Tapi kamu bisa jadi pendamping pacar kamu yang gayanya tinggi itu, Rendra.” Khaylila terkekeh pelan.
“Kalo sama dia kan saya gak pernah keluar berdua. Di rumah dia juga berpenampilan biasa aja kok. Namanya juga backstreet. Gak perlu banyak gaya yang penting saling cinta,” ucap Rendra.
“Simpan kata-kata gombal kamu, Rendra. Saya alergi mendengarnya.”
Rendra hanya tertawa mendengar tanggapan Khaylila. Siomay di piringnya sudah habis dan milik Khaylila baru berkurang setengahnya. Rendra menunggu gadis itu menyelesaikan makannya sambil melihat-lihat ke sekelilingnya, mencari makanan apalagi yang harus dicoba.
“Kenapa semalam pulang?” tanya Khaylila tiba-tiba.
Rendra yang sibuk melihat kesana kemari, mengalihkan pandangannya pada Khaylila. Lelaki itu menghela napasnya sebentar sebelum menjawab, “Kami bertengkar. Saya tidak ingin memperpanjang masalah, jadi saya lebih memilih untuk pulang dan menenangkan diri.”
Khaylila mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Pantas saja dia sudah melihat Rendra pagi-pagi di apartemen karena biasanya setiap malam minggu lelaki itu tidak pulang dan menginap di rumah kekasihnya. Rendra baru akan pulang pada siang atau sore harinya. Kecuali jika Khaylila memberitahu ada acara keluarga, maka Rendra akan pulang lebih pagi.
“Kalian sering bertengkar?” tanya Khaylila.
“Gak juga. Hanya sesekali,” jawab Rendra. “Hubungan yang baik itu harus ada bertengkarnya, Khaylila. Kalau tidak, berarti ada yang salah. Perbedaan pendapat adalah salah satu faktor yang membuat hubungan semakin erat.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena setelah bertengkar, kita akan merenungkan kesalahan masing-masing. Lalu kita akan menyadari bahwa semua orang memiliki pemikirannya sendiri. Jika tidak bisa disatukan, maka kita harus mencari jalan tengah. Saling toleransi, saling menghargai dan saling memperbaiki apa yang perlu diperbaiki. Setelah itu, maka kita akan semakin mengerti dengan pasangan kita dan tidak akan melakukan kesalahan yang sama.”
“Kalian beruntung bisa memiliki satu sama lain,” ucap Khaylila.
“Ya, saya beruntung bisa bertemu dengan dia. Dia adalah semua yang saya inginkan di dunia ini. Asalkan ada dia, maka saya akan baik-baik saja.”
“Apa saya akan bertemu dengan seseorang seperti itu?” renung Khaylila.
“Pasti, Khaylila. Saya dan dia selalu mendoakan kamu bertemu dengan belahan jiwa kamu. Kami berharap suatu hari nanti kita bisa menikmati waktu bersama berempat dengan pasangan kamu.” Rendra mengusap kepala Khaylila lembut.
Khaylila merasakan tangan Rendra di kepalanya. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya. Dengan pelan Khaylila memundurkan kepalanya, membuat Rendra menghentikan kegiatannya.
“Ya, semoga saja, Rendra,” ucap Khaylila.

EleftheriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang