CHAPTER 9
⚠️18+
⚠️adult contentFerrish akhirnya mengantar Kanatya ke apartemen perempuan itu. Meski agak bersusah payah menemukan unitnya karena Kanatya sangat linglung ketika ditanya, untungnya pada akhirnya Kanatya menuntun langkahnya hingga sampai.
Kanatya tinggal di lantai tiga puluh. Meski bukan tergolong hunian super mewah, apartemen Kanatya cukup luas dan nyaman.
Ferrish menjatuhkan tubuh ramping itu ke sofa.
"Kamu butuh sesuatu?"
Kanatya tak menjawab, dia sibuk memegangi kepalanya.
Ferrish berinisiatif menyiapkan air putih. Dia duduk di samping Kanatya, menyuruhnya minum, Kanatya tidak menolak. Segelas air putih dia tenggak tak bersisa, berharap itu bisa mengurangi rasa mabuknya.
"Kamu butuh sesuatu yang lain?"
"Air lagi."
Ferrish bangkit, mengisi air minum kembali dan memberikannya pada Kanatya yang kembali menenggaknya seolah sudah tidak minum satu minggu.
"Lagi?"
Kanatya menggeleng. Dia mengambil tasnya dan berdiri dengan sempoyangan. Langkah kakinya membawanya menuju sebuah pintu, kamar tidurnya. Melihat Kanatya mampu mencapai kamarnya sendiri, Ferrish merasa tugasnya sudah selesai. Yang penting perempuan itu sudah aman di apartemen miliknya sendiri.
Ferrish ikut bangkit ketika sosok Kanatya hilang dari pandangan. Pintu kamar perempuan itu masih terbuka, jadi Ferrish berinisiatif menutupnya lalu pulang. Tapi ketika tangannya meraih gagang pintu, tubuhnya langsung terpaku. Bukan karena melihat Kanatya sudah merebahkan tubuhnya di kasur dalam ruangannya yang gelap, tapi karena ada suara tangisan yang terdengar.
Tangisannya terdengar seperti isakan yang tertahan, membuat siapa saja yang mendengarnya turut merasakan pilu.
Urung menutup pintu, Ferrish justru menekan saklar lampu untuk melihat sosok Kanatya yang kini meringkuk di kasurnya dengan bahu naik turun. Langkah kaki Ferrish membawanya mendekat.
Ferrish duduk di tepi ranjang dan mengusap lengan perempuan itu. "Kenapa nangis? Ada yang sakit?"
Kanatya mengangkat kepalanya, wajahnya semakin memerah, dan air mata sudah meleleh di kedua pipinya. "Capek," lirihnya.
"Tidur."
"Hmm..."
Usapan Ferrish beralih jadi tepukan pelan di lengan perempuan itu, sekadar untuk menenangkan.
"Saya nggak dibolehin ketemu papa hari ini," gumam Kanatya dengan suara parau.
"Saya juga ketemu Olivia dan Bastian pas makan siang. Mereka keliatan bahagia."
Ferrish menghapus jejak air mata di pipi Kanatya. Gadis itu menatapnya dengan kedua mata yang tampak sayu.
"Sahabat saya semuanya sedang sibuk, nggak punya waktu buat saya ajak keluar."
"Jadi kamu minum sendirian buat melupakan hari buruk ini?"
"Ya. Lalu saya berakhir merepotkan kamu."
"It's okay, saya lega kamu menelpon saya." Bagi Ferrish, menjemput Kanatya jauh lebih mudah daripada melihat cewek itu digerayangi laki-laki hidung belang karena kesadaran yang tak lagi dikuasainya akibat pengaruh alkohol
"Makasih atas bantuannya."
"Don't mention it, Kanatya."
Setelah sekitar tiga menit, Kanatya tak lagi terisak. Air mata di pipinya pun sudah tidak mengalir lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spicy Romance
RomanceAda dua alasan kenapa Kanatya Aleesha harus segera menikah; Yang pertama, demi memenangkan taruhan dengan Olivia, orang yang menduduki posisi pertama dalam daftar 100 orang yang Kanatya benci di dunia. Yang kedua, permintaan papanya yang sepertinya...