CHAPTER 7
Siang, Pak Ferrish, saya Kanatya.
Pak, soal tawaran Bapak kemarin masih berlaku? Saya masih butuh kerjaan, Pak. Kalau Bapak masih buka loker, bisa saya apply dan tolong pertimbangkan saya?
Ini beneran karena saya butuh kerjaan, bukan bermaksud godain Bapak. Sumpah.
Ferrish menatap pesan yang diterimanya satu jam lalu, dia baru bisa mengeceknya ketika rapatnya selesai. Setelah pertemuan terakhir mereka, Ferrish tak berekspektasi perempuan ini masih ingin berurusan dengannya.
Ferrish rasanya enggan bertemu, karena perempuan seperti Kanatya ini sungguh berbahaya. Apalagi setelah dia mencicipi manisnya bibir ranum itu, melihat lekuk tubuhnya secara langsung dan merasakan hangat tubuhnya di bawah telapak tangannya. Ferrish bersumpah, selama acara makan siang mereka kemarin, Ferrish tak henti-hentinya mengagumi keindahan Kanatya yang dibalut dress hitamnya.
Meski Kanatya sangat menggoda, tapi Ferrish masih waras. Perempuan berbahaya itu akan sangat merepotkan jika diladeni. Ide-ide di kepalanya yang tak terbendung itu jelas bukan sesuatu yang bisa dihadapi.
Menjadikan Ferrish alat untuk membuat egonya menang, sungguh tak bisa diterima akal sehat. Perempuan itu berbahaya.
Tapi, Ferrish merasa masih ada yang harus dia sampaikan kepada Kanatya. Jadi dia membalas pesan itu.
Saya ingin bertemu. Saya ada rekomendasi tempat ngopi yang nyaman untuk kita bicara. Saya kirimkan alamatnya.
Dan Ferrish benar-benar melakukannya. Jadi disinilah dia berada sekarang, di sebuah coffee shop yang tidak jauh dari kantornya dengan sosok Kanatya yang duduk manis di depannya.
"Saya lihat di web, nggak ada loker untuk sekretaris, Pak. Tapi ada loker untuk marketing staff, saya berminat melamar disana," ucap Kanatya.
Hari ini rambut perempuan itu diikat satu cukup tinggi, membuat leher jenjangnya terekspos dengan baik. Kerah baju V neck-nya pun memperlihatkan tulang selangka yang tampak begitu indah. Ferrish bersumpah, bibirnya sudah pernah mampir kesana. Malam itu memang cukup panas.
"Kamu bilang nggak bisa bekerja dengan orang yang sudah pernah berciuman sama kamu." Ferrish tak tahan untuk tidak berkomentar. Dia menyesap kopinya sambil melarikan tatapannya dari tulang selangka itu dan menatap Kanatya.
Kanatya tampaknya cukup kagok. "Iya sih, Pak, tapi, kalau marketing staff kan kerjanya nggak langsung di bawah Bapak."
"Kata siapa? Kamu tetap akan sering ketemu saya. Saya hampir setiap hari di hotel. Ya kalau kamu beruntung, sesekali saya berpergian ke luar kota."
Bibir Kanatya mengerucut. "Kalau di hotel lain ada, Pak? Svarga yang di Bandung atau Puncak, deh. Saya siap dilempar kemana aja."
"Ada apa ini? Kenapa kamu ngotot nyari pekerjaan lagi? Butuh modal buat menikah?"
Ucapan sarkas itu mengundang decakan dari Kanatya. "Iya, Pak, cari modal dan cari laki-laki potensial. Tentu bukan Pak Ferrish karena di mata Bapak saya sudah dicap orang gila. Saya tahu itu. Tenang saja, saya cari laki-laki lain kok. Mungkin selagi saya cari duit, ada laki-laki potensial di hotel Bapak yang bisa saya ajak menikah."
"Jangan memasang perangkap di hotel saya. Itu nggak akan mempan."
Kanatya mendengkus geli. "Bercanda, Pak. Saya beneran mau cari kerja kok. Capek jadi pengangguran."
Ferrish tahu Kanatya tidak bercanda soal mencari pasangan. Cewek itu bahkan mencari jodoh di dating apps. Sepertinya dia memang bertekad untuk menikah dalam kurun waktu enam bulan ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Spicy Romance
RomanceAda dua alasan kenapa Kanatya Aleesha harus segera menikah; Yang pertama, demi memenangkan taruhan dengan Olivia, orang yang menduduki posisi pertama dalam daftar 100 orang yang Kanatya benci di dunia. Yang kedua, permintaan papanya yang sepertinya...