02. Unexpected Request

4.8K 285 3
                                    

CHAPTER 2



"Usia kamu sudah dua puluh enam tahun, daripada sibuk mencari pekerjaan, sebaiknya kamu menikah saja."

Kanatya terkejut. Untuk kali pertama dalam hidupnya, seorang Rasyid Hendarta alias papanya berbicara mengenai pernikahan dirinya.

Seingat Kanatya, papanya tak banyak menuntut. Tuntutan yang ia sering dengar paling hanya keinginan beliau untuk menjamin kehidupan Kanatya baik-baik saja dengan memastikan Kanatya menerima uang saku yang diberikan untuknya sebaik mungkin.

Kanatya sekarang duduk di gazebo belakang rumah papanya yang megah. Berdua saja dengan papanya setelah makan malam keluarga yang tiba-tiba saja terjadi atas undangan papanya ketika meneleponnya kemarin siang.

"Tiba-tiba banget tuh, Pak, nyuruh kawin." Kanatya berusaha bercanda.

"Papa serius, Kana."

Kanatya memandang papanya. "Usia dua puluh enam tahun itu belum terlalu tua, lho, Pa."

"Pacar kamu kemarin, Bastian, sudah serius sama kamu?"

Seketika Kanatya terhenyak. Papanya pernah satu kali bertemu Bastian. Mereka makan siang bersama di restoran mungkin sekitar setengah tahun yang lalu dan mengobrolkan banyak hal. Siapa sangka papanya itu masih ingat.

"Sudah putus," aku Kanatya akhirnya.

"Jadi, sekarang kamu nggak punya pacar?"

Dengan pasrah, Kanatya menggeleng.

"Papa carikan kalau begitu."

Kanatya makin terkejut. "Bentar, bentar, kenapa jadi buru-buru begini, Pa? Kemarin-kemarin nggak ada yang beginian. Papa nggak pernah ikut campur urusan pribadi aku," ungkap Kanatya sungguh-sungguh.

"Papa khawatir sama kamu."

"Apa yang perlu dikhawatirin?"

"Papa nggak mau kamu susah payah sama hidup kamu. Di usia begini, harusnya kamu sudah settle. Papa kasih opsi kerjaan yang bagus untuk kamu, kamu urus bisnis papa, tapi kamu nggak mau. Jadi, mending kamu menikah saja. Nikahi pria baik yang bertanggung jawab. Biar papa bisa tenang."

Kanatya menghela napas. "Pa, aku juga mau menikah kalau ketemu laki-laki begitu."

Kanatya tidak pernah bermasalah dengan pernikahan, dia menyukai komitmen. Di tengah hiruk pikuk kehidupan, kadang dia membayangkan bagaimana rasanya jika ia punya suami yang selalu menyambutnya. Bastian adalah laki-laki yang ia kira akan menempati posisi itu karena Bastian memenuhi semua kriterianya, ya namun itu sebelum cowok itu mengaku jatuh cinta dengan perempuan lain dan memilih meninggalkannya bersama janji-janji manis yang sudah ia buat.

"Kalau begitu, papa kenalkan kamu dengan anak teman papa."

Kanatya dapat mengerti kekhawatiran papanya. Kanatya memang cenderung sembrono dengan hidupnya. Dia tampak bekerja keras tapi tidak dapat hasil apa-apa. Kanatya juga lelah, tapi mau bagaimana lagi, bukankah hidup adalah serangkaian momen jatuh dan bangkit yang berulang? Dan saat ini Kanatya hanya sedang dalam fase jatuhnya.

"Anak direktur? atau anak komisaris? Yakin Pa, dia mau sama aku? Aku nggak secantik Sabrina, lho."

Sabrina, adik tirinya yang terpaut usia empat tahun lebih muda darinya itu tampak begitu menawan. Posturnya tinggi bak model. Mama Sonya sepertinya memiliki darah Belanda dalam dirinya tanpa disadari, karena Sabrina tampak seperti bule dengan kulit putih kemerahan dan hidung mancung runcing yang jelas bukan keturunan dari papanya.

Sebenarnya ada satu lagi saudara tirinya, Sadena, dia tidak kalah good looking. Dia tumbuh menjadi laki-laki yang digilai banyak perempuan. Dan saat ini dia masih mengambil S1 di Australia.

"Laki-laki gila mana yang menganggap anak perempuan Rasyid Hendarto tidak cantik? Pokoknya, kamu kosongkan saja jadwal kamu weekend ini."

"Kenapa, Pa?" Kanatya langsung waspada.

"Ikut papa menghadiri acara rekan kerja papa."

"Acara apa, Pa? Aku mana mungkin ikut gabung aja kalau nggak punya kepentingan."

"Bukan acara yang berhubungan dengan bisnis, cuma acara ulang tahun pernikahan salah satu rekan Papa. Dia punya anak laki-laki yang potensial."

"Nggak mau, Pa. Aku nggak mau dijodohin."

"Bukan dijodohin, tapi dikenalin. Kamu harus segera menemukan laki-laki baik dan hidup bahagia dengannya."

"Pa, nggak semudah itu." Sejujurnya kalau berurusan dengan rekanan papanya, Kanatya selalu merasa rendah diri. Seperti tidak satu circle saja. Mereka semua pasti orang-orang hebat dengan latar belakang yang membuat rakyat jelata seperti Kanatya menjatuhkan rahang ke tanah.

"Weekend ini aku sibuk. Aku sudah ada janji." Kanatya jelas berbohong.

"Kanatya," tegur papanya dengan suara lembut. Kanatya tidak bisa lunak, dia memandang papanya dengan keberanian. Tatapan yang sering ia lemparkan ketika papanya mulai merasa punya kuasa penuh untuk menginvasi kehidupannya. Akhirnya papanya menghela napas. "Baiklah, terserah kamu. Tapi papa berharap kamu segera menikah sebelum umur kamu dua puluh tujuh tahun."

"Kenapa?"

"Karena mungkin papa nggak bisa menjadi wali kamu kalau kamu terus menunda-nunda."

"Kenapa Papa ngomong begitu?"

"Papa sakit, Kanatya. Papa merasa hidup Papa nggak akan lama lagi."

***

Kanatya menangis sejadi-jadinya ketika mendengar cerita papanya malam ini. Papanya didiagnosis sakit kanker pankreas. Walaupun penyakitnya diketahui sejak dini, tapi tetap saja papanya sekarat. Paling lama, papanya bisa bertahan selama lima tahun. Agar hidup lebih lama dari itu, papanya harus dioperasi dengan resiko yang sangat tinggi.

Kanatya merasa saat ini hidupnya bukan dalam fase jatuh. Tapi fase hancur. Dia diserang kejadian buruk bertubi-tubi.

Kanatya memaksa papanya untuk rehat sejenak dari pekerjaannya. Tentu saja, papanya menolak. Masih ada yang harus dia kerjakan. Papanya berjanji akan operasi ketika waktunya sudah pas. Dan Kanatya tidak bisa mengubah keputusan yang dibuat papanya karena pasti itu juga sudah melewati persetujuan Mama Sonya beserta anak-anaknya.

Kanatya kembali ke apartemennya dengan lunglai. Tanpa mandi atau berganti pakaian, dia menjatuhkan tubuhnya ke kasur.

Sekarang dia bingung, langkah apa yang harus dia lakukan. Bagaimana cara dia melanjutkan hidup? Harus dimulai dari mana? Mencari pekerjaan? Mengambil alih bisnis papanya yang bahkan tak pernah ia mengerti apa? Atau, mencari suami agar papanya tidak perlu khawatir lagi dengan hidupnya? Tidak, tidak. Kanatya harus tenang, tidak boleh impulsif karena biasanya keimpulsifannya selalu berakhir buruk. Kanatya punya banyak pengalaman tentang itu.

Satu hal yang tahu, Kanatya harus mulai banyak menyisihkan waktunya untuk Rasyid Hendarto. Dia tidak mau menjadi anak durhaka yang penuh penyesalan ketika papanya tiada.

***

Spicy RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang