Di pinggir danau yang terlihat begitu indah dan tenang, tepatnya di bawah pohon besar yang begitu rindang. Hannah dan Lian sudah mampir tiga jam duduk lesehan di atas rumput sembari mengobrol ringan layaknya sepasang kekasih pada umumnya.
"Akhir-akhir ini ibumu dan abangmu terlihat berbeda, Lian," ucap Hannah mengungkapkan keanehan yang akhir-akhir ini ia rasakan.
Sudah hampir satu bulan belakangan ini, tidak satu pun dari keluarga Lian yang memperlihatkan tatapan mengintimidasi dan apa lagi melontarkan kalimat menyakitkan, termasuk Nyonya Lee dan Guan. Semuanya kembali seperti awal mereka saling bertemu.
Lian mengangguk membenarkan, ia juga merasa apa yang Hannah rasakan. Keluarganya kini terlihat seperti sudah menyetujui hubungan mereka. "Mungkin mereka sudah menyetujui hubungan kita, Han," imbuh Lian dengan senyum lebar membuat deretan gigi bagian depannya terlihat semua.
"Secepat itu? Bagaimana bisa?" Hannah masih belum sepenuhnya percaya, ia takut ada suatu hal yang akan terjadi dikemudian hari.
"Hati dan pikiran manusia mudah berubah-ubah, Han. Kan, sudah aku katakan, di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin jika takdir sudah berpihak pada kita." Lian mencoba untuk memberi pemikiran yang positif pada Hannah.
Hannah hanya bisa manggut-manggut saja, apa yang dikatakan Lian tidak sepenuhnya salah, bahkan nyaris bisa dikatakan benar. Sejujurnya Hannah juga sangat bersyukur jika keluarga Lian mulai menerimanya. Namun, ia juga harus bisa membujuk kedua orang tuanya untuk menerima Lian.
"Hannah, aku punya ide," kata Lian secara tiba-tiba, kemudian ia menggenggam tangan Hannah, membuat Hannah langsung menoleh cepat.
"Ide? Ide apa?" tanya Hannah penasaran, terlebih lagi saat melihat wajah Lian yang begitu serius.
"Bagaimana kalau besok kita menikah?" celetuk Lian memperlihatkan wajah tengilnya.
Hannah mendengkus kesal, bisa-bisanya laki-laki bermata sipit dan berpipi bulat itu mengajak nikah seperti mengajak main. Hannah melepaskan genggaman tangganya, lalu dengan tidak berperasaan mencubit pinggang Lian lumayan keras.
"Kau ini! Jangan sembarang berbicara, ya! Nikah, nikah. Aku tidak ingin nikah muda!" Sebenarnya ia tidak marah ketika Lian mengucapkan kalimat tersebut. Namun, ia tidak pandai mengekspresikan perasaannya yang sedang bergejolak aneh.
"Aduh! Aduh! Ampun, Hannah!" pekik Lian saat merasa pinggangnya tiba-tiba panas sekaligus sakit akibat dicubit oleh Hannah. Ingin rasanya Lian menertawakan wajah Hannah yang memerah, hanya saja rasa sakit di pinggangnya membuat Lian berpikir-pikir untuk meledek Hannah, takut cubitan gadis itu semakin kencang.
Cubitan Hannah sudah terlepas dari pinggang Lian, membuat Hannah tersenyum puas. "Makanya jangan sembarang berbicara. Nikah, kau pikir nikah itu mudah?" sembur Hannah.
"Mudah, jika kau menikah denganku. Aku akan menyayangimu, mencintaimu, memanjakanmu, apa pun itu semuanya untukmu," sahut Lian kembali membuat Hannah mengangkat tangannya bersiap untuk memberi cubitan lagi.
Melihat tangan Hannah sudah mendekati pinggangnya. Lian langsung menggenggam kembali tangan gadis itu secepat mungkin. "Kau suka sekali mencubit pinggangku. Nanti kalau membiru bagaimana?" tanya Lian dengan wajah melas.
Lidah Hannah terjulur beberapa detik mengejek Lian. "Aku tidak peduli," sahut Hannah acuh.
Dengan geram, Lian mencubit hidung Hannah begitu lembut, ia mana sanggup menyakiti gadis tercintanya. "Galak sekali calon istriku ini."
Lagi-lagi Lian menggoda Hannah, membuat gadis itu hanya bisa menghela napas pasrah. Kenapa Lian saat ini sangat menjengkelkan? Entahlah, lebih baik Hannah mengalah dan membiarkan laki-laki itu puas menjahilinya. Satu hal yang Hannah takutkan, ia takut jika momen-momen seperti ini tidak bisa terulang lagi di masa depan.
****
"Zihan, kau sudah tahu jika Lian akan melanjutkan pendidikannya?" tanya Guan pada adik pertamanya saat teringat obrolan kedua orang tuanya satu bulan yang lalu.
Sebenarnya Guan sangat berharap jika kedua orang tuanya menjelaskan secara langsung. Namun, sampai saat ini mereka masih bungkam, seperti enggan memberi tahu. Jika waktu itu ia tidak menguping, pasti sampai saat ini ia tidak akan pernah tahu jika Lian akan melanjutkan pendidikannya.
Saat mendengar ucapan Guan, Zihan yang sedang menelan biskuit langsung tersedak karena kaget. Adiknya akan melanjutkan pendidikan? Bagaimana bisa ia sama sekali tidak tahu.
"Kau serius, Ge?" tanya Zihan di sela-sela batuknya.
Sebelum mendengar jawaban Guan, Zihan segera meminum air putih guna menghilangkan sisa-sisa biskuit yang masih tersangkut di tenggorokannya. Setelah dirasa cukup aman, Zihan kembali menatap abangnya menunggu jawaban yang belum sempat dijawab.
"Ya, aku serius," jawab Guan lengkap dengan anggukan kecil dan wajah yang terlihat bersungguh-sungguh atas ucapannya.
Suasana kamar Guan mendadak hening. Ya, mereka berdua sedang merada di kamar milik Guan, laki-laki tukang makan itu kerap mendatangi kamar Guan atau Lian hanya untuk meminta cemilan jika miliknya sudah habis.
"Anak itu suka sekali dengan belajar. Aku saja malas," celetuk Zihan. Ia menggelengkan kepalanya heran. Tidak Guan, tidak Lian, kedua saudaranya itu sangat menyukai belajar. Guan sudah menyelesaikan perguruan tingginya empat tahun yang lalu, kini Lian akan menyusul jejak abang pertamanya. Sedangkan Zihan? Ia tidak peduli, otaknya sangat malas diajak berpikir.
Tangan Guan sangat ringan memukul kepala Zihan, membuat sang empu meringis menahan sakit tepat di ubun-ubun. "Kau itu manusia tukang makan yang sangat pemalas," sindir Guan.
Bukannya marah atau tersinggung, Zihan malah terlihat cengengesan. Apa yang dikatakan Guan itu benar adanya dan ia benar-benar mengakuinya. Jadi, buat apa marah?
"Oh, iya, Ge. Kira-kira Lian akan melanjutkan pendidikannya ke mana?"
"Untuk itu aku belum tahu. Kita tunggu saja sampai mereka memberi tahu," balas Guan dengan gelengan kepala.
"Kenapa tiba-tiba Lian mendapat izin? Bukannya waktu itu mama dan papa menentang keras permintaan Lian?" Zihan kembali teringat kejadian dua tahun yang lalu, saat Lian meminta izin untuk melanjutkan pendidikannya. Namun, kedua orang tuanya langsung melarang Lian dengan alasan tidak ingin anak bungsunya itu jauh dari jangkauan mereka.
"Gara-gara gadis yang bernama Hannah itu," desis Guan merasa tidak suka saat menyebut nama gadis bersuku Melayu itu.
Zihan mengerutkan keningnya. Gara-gara Hannah? Terdengar cukup aneh. "Kenapa bisa gara-gara gadis itu?"
Sepertinya Zihan belum mengetahui jika Hannah dan Lian sudah memiliki hubungan sangat dekat. "Mereka memiliki hubungan lebih dari sekedar teman," pungkas Guan.
Jika sudah seperti itu, Zihan langsung paham kenapa ibu dan ayahnya memberi penawaran Lian untuk melanjutkan pendidikannya. Zihan sudah terlebih dahulu merasakan apa yang dirasakan oleh Lian. Salah satu alasan Tuan Lee dan Nyonya Lee membawa ketiga anaknya pindah ke Rengat adalah untuk menjauhkan Zihan dengan kekasihnya sewaktu mereka masih tinggal di pulau Jawa.
Zihan merasa kasihan dengan Lian, padahal adiknya itu baru pertama kali merasakan jatuh cinta. Akan tetapi, langsung ditentang oleh kedua orang tuanya karena hubungan mereka memiliki banyak perbedaan yang sangat mencolok.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Di Tepian Indragiri [Tamat]
General FictionHannah Puteri, gadis melayu yang tinggal di tepian sungai Indragiri, tepatnya di Rengat. Hannah yang berasal dari keluarga sederhana mencintai pemuda Tionghoa yang memiliki wajah tampan nan baik hati. Pemuda tersebut bernama Lee Fen Lian, anak bung...