Bab 22 ~ Perbicangan Di Malam Hari

21 9 0
                                    

Pukul setengah sembilan malam. Alunan lagu beraliran musik R&B begitu harmonis menggema di sebuah kamar yang dipenuhi dengan perabotan berbahan dasar kayu jati. Membuat sepasang suami istri pemilik kamar begitu menikmati lagu favorit mereka sembari duduk santai di sofa empuk yang berada di sudut kamar.

Sang istri menoleh ke samping, menatap ketampanan wajah sang suami yang belum memudar, walaupun usianya sudah lebih dari setengah abad. Wajah tampan yang memiliki rahang tegas itu diwariskan kepada anak pertama dan kedua mereka.

"Bagaimana usahamu, lancar? Maaf, akhir-akhir ini aku jarang melihat tokomu," tanya Tuan Lee pada istri tercintanya. Sudah lebih dari dua minggu ia tidak melihat kegiatan istrinya, karena harus mengurus beberapa hektar kebun karet miliknya yang terkena sengketa.

"Usaha milikku aman-aman saja. Semuanya berjalan dengan lancar," sahut Nyonya Lee dengan anggukan pelan.

"Kau sedang memikirkan sesuatu? Wajahmu terlihat sayu." Hampir dua puluh lima tahun hidup bersama, membuat Tuan Lee mudah membaca raut wajah istrinya.

Helaan napas panjang dihembuskan secara tiba-tiba, kemudian Nyonya Lee menatap keadaan luar memalui jendela kamarnya yang masih terbuka mempersilakan angin malam masuk memberi sensasi dingin. "Kejadian Zihan sepertinya akan terulang lagi," keluh Nyonya Lee menghadapi anak-anaknya.

Tuan menautkan kedua alisnya merasa heran. Ia tahu jika Lee Zihan memang memiliki sifat yang sedikit lebih bandel dibandingkan kedua saudaranya. Namun, akhir-akhir ini Tuan Lee melihat Zihan aman-aman saja, seperti tidak ada melakukan kesalahan. Bahkan anak itu lebih sering ikut dengannya mengunjungi kebun-kebun getah karet.

"Ada apa dengan Zihan?" tanya Tuan Lee mencari jawaban. Siapa tahu ada sesuatu yang tidak ia ketahui tentang anak itu.

Nyonya Lee menggelengkan kepalanya, menandakan bahwa Tuan Lee sedang salah tanggap. "Bukan Zihan, tapi Lian," sanggah Nyonya Lee cepat.

"Ada apa dengan anak bungsu kita?" Lagi-lagi Tuan Lee merasa bingung, baru kali ini anak bungsu mereka melakukan kesalahan yang membuat sang ibu berwajah lesu.

"Kau tahu gadis yang bekerja di toko milikku?" Nyonya Lee memperlihatkan wajah yang sangat serius saat membahas masalah anaknya.

"Iya, aku tahu. Ada apa?"

"Lian menyukai gadis itu," jelas Nyonya Lee membuat Tuan Lee tersentak kaget.

"Kau serius?" tanya Tuan Lee memastikan.

"Iya, aku serius. Aku tidak suka jika Lian menyukai gadis seperti itu, Pa!" seru Nyonya Lee merasa geram saat mengingat hubungan anaknya dengan gadis sederhana itu.

Keduanya saling diam. Nyonya Lee kalut dengan rasa jengkelnya, sedangkan Tuan Lee sedang mencari jalan keluar agar Lian bisa menjauhi Hannah. Di dalam keluarga Tuan Lee, kesetaraan itu sangat penting dan nyata adanya. Kalau tidak sebanding, jangan harap bisa bersanding.

Tiba-tiba terlintas di benak Tuan Lee tentang bagaimana caranya memisahkan hubungan kedua insan yang saling jatuh cinta itu.

"Bagaimana jika yang diminta Lian satu tahun yang lalu itu kita kabulkan saja," usul Tuan Lee. Ia sangat yakin jika idenya saat ini akan menjadi jalan satu-satunya agar Lian bisa menjauhi Hannah.

"Tidak! Aku tidak mau!" Nyonya Lee menolak usulan Tuan Lee.

"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan saat ini, Sayang." Tuan Lee terdiam sesaat dengan tangan yang mengusap lembut puncak kepala sang istri. "Kau tenang saja, aku sudah memikirkan itu semua," lanjutnya sembari membisikan sesuatu tepat di telinga sang istri.

Senyum indah begitu merekah terlihat di sudut bibir Nyonya Lee saat mendengar bisikan dari sang suami. Walaupun ide dan keputusan Tuan Lee begitu mendadak dan berisiko. Namun, Nyonya Lee tetap menyetujuinya.

Keesokan paginya, ketika sang surya mulai mengganti tugas sang rembulan. Seluruh manusia mulai menjalankan aktifitasnya masing-masing. Seperti yang sedang dilakukan oleh keluarga Tuan Lee. Saat ini mereka sedang melangsungkan sarapan pagi guna mengisi perut agar mendapatkan asupan tenaga.

Sepertinya biasanya, meja berbentuk oval selalu dikelilingi oleh sepasang suami istri lengkap dengan ketiga anak laki-lakinya. Keluarga Tuan Lee sangat menjunjung kesopanan, tidak ada satu pun dari mereka yang membuka suara saat sedang makan.

Tiga puluh menit berlalu. Nasi goreng yang menjadi menu sarapan pagi mereka sudah habis tidak bersisa.

"Hari ini kalian ada kegiatan apa?" Sebagai kepala keluarga, Tuan Lee kerap menyapa dan bertanya kegiatan apa saja yang akan dilakukan oleh keluarganya.

"Hari ini toko kue tutup karena kehabisan stok gula dan tepung, mungkin nanti sore Mama akan berbelanja," sahut Nyonya Lee cepat. Selain bahan-bahan yang diucapkannya tadi habis, ia juga memang sudah punya rencana untuk menutup tokohnya hari ini. Tubuhnya yang sudah tidak muda lagi membuat beberapa persendiannya terasa ngilu dan keram.

"Aku bersama Zihan akan memantau para pekerja lagi, Pa," timpal Guan di sela-sela kesibukannya mengusap bibirnya yang sedikit berminyak.

"Sebenarnya hari ini aku ingin bermalas-malasan saja, Pa. Tapi, Guan Ge berkali-kali merengek mintaku untuk menemaninya," sindir Zihan pada abangnya.

Guan mendelik tajam ke arah Zihan. Bisa-bisanya ia dituduh seperti itu, padahal anak itu sendiri yang merengek minta ikut karena merasa bosan di rumah. Guan menjewer telinga Zihan begitu kuat dengan geram, membuat sang empu meringis dan menjerit meminta ampun.

Momen perkelahian antar Guan dan Zihan sudah biasa mereka saksikan. Guan yang memiliki kesabaran yang sangat tipis selalu saja dijahili dengan Zihan yang tingkat jahilnya sudah melewati batas.

"Kau mau ke mana, Nak?" Kini perhatian Tuan Lee mengarah pada anak bungsunya yang sejak tadi hanya diam memerhatikan kedua abangnya.

"Tidak ada, Pa. Sepertinya aku hanya ingin di rumah sambil membaca buku saja," jawab Lian. Hari ini ia merasa enggan untuk ke luar rumah, terlebih lagi saat ini ia memiliki buku baru yang ingin ia baca.

"Kami pergi dulu, Ma, Pa," pamit Guan disusul dengan Zihan yang mengikutinya dari belakang.

"Iya, hati-hati," sahut Nyonya Lee dan Tuan Lee secara bersamaan.

Kini di ruang makan hanya menyisakan Tuan Lee bersama istri dan anak bungsunya saja.

"Lian, kau masih ingat permintaanmu satu tahun yang lalu tidak, Nak?" tanya Tuan Lee membuka obrolan mereka.

Lian mencoba mengingat-ingat permintaan apa yang dimaksud oleh ayahnya. "Yang waktu itu tidak mendapat persetujuan dari Mama, Papa?"

Tuan Lee mengangguk membenarkan ucapan Lian. Ingatan Lian memang patut diacungi jempol, benar-benar anak cerdas yang memiliki ingatan baik. "Jika sekarang Papa dan Mama mengizinkanmu untuk menggapai mimpimu itu, apa kau mau?" tawar Tuan Lee.

Mata Lian berbinar saat mendengar tawaran dari sang ayah. Ia tidak menyangka jika mereka benar-benar memberi izin padanya. "Yang benar, Pa? Yang benar, Ma?" tanya Lian sangat bersemangat.

Sepasang suami istri itu tersenyum lebar ketika melihat respon Lian yang begitu bersemangat. Mereka tahu jika Lian sangat menyukai hal yang bersangkutan dengan alam semesta.

"Iya, Mama sekarang menyetujuinya," jawab Nyonya Lee, tangannya terulur mengusap lembut rambut Lian yang duduk di sebelah kirinya.

"Waktumu tidak banyak lagi, Lian. Jadi, kau harus fokus untuk mempersiapkan semuanya," tutur Tuan Lee. Sebagai seorang ayah, Tuan Lee akan memberikan segalanya yang terbaik untuk ketiga putranya.

Bersambung...

Senja Di Tepian Indragiri [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang