Pukul setengah tujuh pagi, waktu yang sangat tepat untuk memulai aktivitas di luar rumah. Kicauan burung terdengar seperti melodi indah, menyambut munculnya mentari pagi yang terlihat malu-malu menampakkan dirinya.
Kaki jenjang penuh semangat mengayuh sepeda baru berwarna kuning. Sepeda tersebut baru saja Hannah beli tiga hari yang lalu setelah mendapatkan gajian pertamanya saat bekerja di toko kue Nyonya Lee.
Mulai hari ini sampai seterusnya. Hannah akan berangkat dan pulang kerja sendirian, karena Aini sudah tidak bekerja lagi di toko kue Nyonya Lee. Sahabatnya itu beberapa hari lagi akan melangsungkan pernikahannya bersama Adam. Hannah tidak menyangka mereka berdua akan berjodoh, karena setiap mengajar anak-anak mengaji, tidak jarang mereka berkelahi dan saling mengejek satu sama lain.
Hanya membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit. Akhirnya Hannah tiba di tempat kerjanya. Ia memarkirkan sepeda miliknya di bawah pohon mangga, agar tidak terkena sinar matahari di siang hari yang begitu menyengat.
Harum kue yang berasal dari dapur toko kue Nyonya Lee sudah tercium dari luar. Sepertinya Nyonya Lee sedang membuat kue lumpur, aroma pandannya begitu khas dan mudah dikenali.
"Selamat pagi, Nyonya," sapa Hannah saat kakinya melangkah melewati pintu belakang toko.
Nyonya Lee menoleh cepat dan tersenyum lebar melihat karyawan satu-satunya yang begitu rajin dan tepat waktu. "Pagi, Hannah," balas Nyonya Lee dengan suara yang begitu lembut dan hangat.
Tanpa menunggu diperintah oleh Nyonya Lee. Hannah segera mengambil alih tugas yang akan ia kerjakan. Saat melihat daftar kue yang akan dibuat hari ini. Hannah memilih akan membuka kue dadar gulung terlebih dahulu.
"Nyonya, saya buat kue dadar gulung, ya," tutur Hannah sopan seperti biasanya.
"Iya, buatlah," sahut Nyonya Lee disela-sela kesibukannya menuang satu per satu adonan berwarna hijau ke atas cetakan kue.
Kini hanya terdengar bunyian yang dihasilkan oleh alat-alat memasak kue. Dua wanita yang memiliki jarak usia cukup jauh itu sangat fokus bekerja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Mama!" teriak Zihan tanpa aba-aba masuk ke dalam dapur.
Hannah dan Nyonya Lee menoleh cepat ke arah pintu. Kelakuan Zihan membuat mereka tersentak kaget. Anak laki-laki itu tidak bisa sehari saja tidak membuat masalah. Ada saja kelakuan Zihan yang selalu membuat orang-orang sekitarnya mengelus dada berusaha untuk sabar menghadapi anak itu.
"Zihan! Sudah Mama katakan, jangan sering-sering membuat orang kaget. Apalagi di dapur, itu sangat berbahaya," tegur Nyonya Lee begitu sabar menghadapi anak tengahnya itu.
Sang empu yang ditegur hanya meringis seperti tidak merasa berdosa. itulah Zihan, semua terguran dan ucapan orang hanya dianggap bagai angin lalu. Masuk telinga kanan, ke luar lagi melalui telinga kiri. Anak itu benar-benar tidak bisa dibilangin.
Lagi-lagi Nyonya Lee hanya bisa menggeleng pasrah. Begitu juga dengan Hannah, karena sejak tadi ia menyaksikan dan mendengar ucapan ibu dan anak itu.
"Adukan saja pada Papa, Ma." Lian secara tiba-tiba muncul ikut menimpali obrolan ibu dan abang keduanya itu.
Saat membalikkan badannya ke belakang, Zihan mendelik tajam menatap ke arah Lian. Zihan itu paling takut dengan kemarahan sang ayah. Sebenarnya ayahnya sangat hangat, hanya saja saat marah bisa terlihat begitu menyeramkan.
"Jangan, dong," rengek Zihan supaya tidak ada yang mengadu pada ayahnya.
Terlintas ide cemerlang di dalam benak Nyonya Lee. "Mama tidak akan mengadu pada Papa. Tapi, ada syaratnya," timpal Nyonya Lee seperti membuat perjanjian kepada Zihan.
"Apa, Ma?" tanya Zihan cepat.
"Tolong bungkus satu per satu kue lumpur ini ke dalam plastik kecil," perintah Nyonya Lee. Tangannya menunjuk ke arah kue lumpur yang sudah matang di atas nampan plastik berbentuk persegi.
Zihan terlihat seperti berpikir sejenak. Zihan memang sangat menyukai segala macam kue. Tapi, ia paling malas membantu membuatnya. Namun, kali ini ia terpaksa harus melakukannya.
Nyonya Lee tersenyum penuh kemenangan. Sejak toko kue dibuka sudah hampir satu bulan lebih. Baru kali ini ia melihat Zihan benar-benar membantunya. Biasanya hanya datang untuk merecoki dan mencomot kue, lalu membawanya pergi.
"Boleh aku bantu?" Lian mendekati Hannah saat merasa bosan karena tidak melakukan apa-apa.
Hannah mengangguk tanpa menoleh ke arah Lian yang sudah berdiri di dekatnya. Ia masih terlalu fokus mencetak kulit dadar gulung mengunakan teplon yang biasa ia gunakan. Setelah adonan sudah membentuk lingkaran sempurna di dalam teplon, Hannah meletakkan kembali teplon tersebut di atas kompor dengan api kecil yang menyala agar tidak mudah hangus.
"Kau ingin membantuku?" Hannah memastikan apakah ucapan Lian itu benar atau tidak.
"Ya," jelas Lian dengan singkat.
"Kau bisa menggulung dadar gulung?" tanya Hannah. Tangannya kembali meraih teplon, karena adonan tadi sudah matang dan siap untuk diisi dengan isian dadar gulung.
Lian menggeleng tanda tidak bisa. Ia sama sekali tidak pernah menyentuh cara pembuatan kue secara langsung, paling hanya mengambil bahan-bahan kue yang disuruh oleh ibunya atau hanya membantu membungkus kue yang sudah matang saja.
"Perhatikan aku, ya. Setelah kulit dadar gulung mulai dingin, langsung saja letakkan satu sendok isinya disalah satu tepian kulit. Lalu, lipat tepian yang diisi tadi. Kemudian, lipat kedua sisi kanan dan kirinya. Terus gulung, deh, sampai ujung. Nah, sudah jadi." Hannah menjelaskan serta mempraktikkan cara menggulung dadar gulung dengan benar.
Lian beberapa kali terlihat mengangguk karena paham. Ternyata tidak terlalu susah, bahkan dalam satu kali penjelasan saja Lian langsung paham.
Melihat Lian berkali-kali merespon dengan anggukan. Bisa Hannah tebak jika laki-laki itu benar-benar sudah paham. Ia lanjut membuat kulit dadar gulung kembali. Setelah itu ia akan menyuruh Lian untuk coba menggulungnya.
"Coba kau gulung ini," perintah Hannah setelah meletakkan kulit dadar gulung yang sudah matang di atas nampan datar.
Lian menatap kepulan asap panas karena kulit dadar gulung tersebut baru saja diangkat. Ia harus menunggu beberapa saat agar tangannya tidak kepanasan saat memegang kulit dadar gulung itu.
Setelah dirasa cukup dingin dan aman. Lian segera mempraktikkan yang sudah diajarkan oleh Hannah. Walaupun terlihat lebih lambat dibandingkan pekerjaan Hannah. Namun, hasil kerjaan Lian bisa dikatakan lumayan rapi untuk ukuran pemula.
"Apakah seperti ini?" tanya Lian begitu takjub melihat hasil kerjanya.
Tanpa tersadar, Lian tersenyum lebar begitu manis menampilkan ekspresi kegembiraan, membuat Hannah terkesima beberapa saat. Laki-laki yang kini ada di sampingnya itu sangat sulit memperlihatkan senyumannya, padahal senyuman Lian terlihat begitu indah.
Di sisi lain, tidak jauh dari Hannah dan Lian. Zihan menganga lebar tidak percaya melihat adiknya tersenyum lebar dengan binar mata yang bahagia, padahal hanya berhasil menggulung dadar gulung saja.
Lian itu bukan termasuk orang yang mudah memperlihatkan kebahagiaannya pada orang-orang selain keluarganya, terlebih lagi sesuatu yang dicapainya bukan hal yang sangat berharga. Namun, kali ini seperti ada sesuatu yang berbeda pada Lian. Sesuatu yang membuat Zihan berpikir bahwa Lian sudah benar-benar jatuh cinta pada Hannah.
Sebenarnya Zihan sangat senang jika adiknya menyukai Hannah, karena gadis itu adalah gadis yang sangat baik. Hanya saja, Zihan tidak menjamin jika hubungan Lian dan Hannah akan disetujui oleh orang tua mereka.
Zihan berharap perasaan kasmaran Lian dan Hannah hanya sementara saja. Semoga secepatnya perasaan mereka terkikis dan hilang setelah menyadari banyak hal yang tidak memungkinkan mereka untuk bersatu.
Bersambung...
![](https://img.wattpad.com/cover/349845303-288-k763119.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Di Tepian Indragiri [Tamat]
Ficção GeralHannah Puteri, gadis melayu yang tinggal di tepian sungai Indragiri, tepatnya di Rengat. Hannah yang berasal dari keluarga sederhana mencintai pemuda Tionghoa yang memiliki wajah tampan nan baik hati. Pemuda tersebut bernama Lee Fen Lian, anak bung...