Bab 15 ~ Kekhawatiran Hannah

38 13 0
                                    

Angin sore berhembus kencang membuat daun-daun tua pohon karet berjatuhan. Akhir-akhir ini cuaca penghujung tahun lebih sering turun hujan diiringi dengan angin kencang dan kilatan petir.

Di sebuah gubuk kecil di tengah-tengah kebun karet. Danar dan Darmawan duduk bersila menatap langit yang sebentar lagi akan turun hujan.

"Beginilah, Danar. Penyadap karet itu sedikit bermusuhan dengan hujan. Getah yang baru saja tertampung di tempurung kelapa akan tercampur dengan air hujan. Untung saja kita tadi sempat memberi cuka di tempurungnya. Jadi, pekerjaan kita tadi tidak sepenuhnya sia-sia," tutur Darmawan. Ia meluruskan kakinya ke depan guna menghilangkan rasa pegal.

Danar baru pertama kali ini bekerja sebagai penyadap karet. Sebenarnya bukan pekerjaan berat yang mengharuskan untuk angkat-angkat berat, kecuali pada saat pengutipan. Namun, tetap saja kakinya terasa pegal setelah berjalan kaki menyadap satu per satu pohon karet yang bisa dikatakan lumayan luas.

"Paman sudah lama bekerja seperti ini?" tanya Danar dengan mata yang tertuju pada Darmawan.

Darmawan mengangguk pelan beberapa kali. "Sudah, Paman sudah melakukannya sejak masih anak-anak," terang Darmawan.

Bisa dikatakan penyadap karet adalah pekerjaan utama mayoritas masyarakat Indragiri. Mau tua, muda, laki-laki atau perempuan, mereka sudah biasa melakukan pekerjaan tersebut karena banyaknya kebun karet yang ada di Rengat dan sekitarnya.

Gumpalan awan gelap sudah tidak kuat lagi menahan bebannya. Buliran air mulai turun satu per satu hingga menjadi deras. Aroma tanah basah yang begitu khas menyeruak ke mana-mana, memberi kesan ketenangan jika dihirup.

"Paman, letak musala ada di mana ya? Saya ingin salat magrib dan isya di musala. Tapi, saya belum tahu di mana letaknya," tanya Danar. Sudah satu minggu ia tinggal di Rengat, ia sama sekali belum mengetahui di mana letak musala.

Walaupun hujan turun dengan derasnya, Darmawan dapat mendengar pertanyaan Danar karena pemuda itu bersuara sedikit lantang. "Kalau kau ingin salat di musala, kau bisa berangkat bersama Hannah. Dia selalu pergi ke musala kalau tidak ada halangan," sahut Darmawan ikut menaikkan suaranya agar dapat di dengar oleh Danar.

Danar mengangguk saat mendengar sahutan Darmawan. "Baiklah, Paman," kata Danar.

Kedua laki-laki yang memiliki jarak usia cukup jauh itu kembali terdiam sembari menunggu hujan reda. Ingin mengobrol pun percuma, suara hujan yang begitu deras mengalahkan suara mereka.

****

"Hannah! Jangan lari-lari! Nanti kau terpeleset," pekik Lian saat melihat Hannah begitu riang gembira bermain hujan.

"Tidak akan, Lian." Hannah tidak mengindahkan peringatan Lian, ia semakin berlari-larian ke sana kemari.

Guyuran hujan yang deras membuat pakaian mereka basah kuyup. Namun, mereka sama sekali tidak mempedulikannya. Justru keduanya terlihat semakin menikmati dinginnya air hujan yang menembus pori-pori.

Hannah memutuskan untuk duduk di dekat jembatan sungai, di susul dengan Lian yang ikut duduk di sebelah kanan Hannah.

"Kau tidak apa-apa main hujan seperti ini?" Melihat wajah Lian yang terlihat sangat pucat membuat Hannah sangat khawatir.

Lian menggeleng pelan. "Tidak, kau tenang saja," jawab Lian tidak sepenuhnya benar. Jika boleh jujur, tubuhnya saat ini benar-benar terasa lemas. Namun, ia tidak mau membuat Hannah mengkhawatirkannya.

Hannah meletakkan punggung tangannya tepat di dahi Lian. Hangat, suhu tubuh laki-laki itu terasa sangat hangat walaupun sedang diguyur hujan. "Tubuhmu hangat, Lian. Sebaiknya kita pulang saja," ajak Hannah. Ia berdiri lalu mengulurkan tangannya mengajak Lian untuk pulang.

Hampir saja Lian tersungkur jika tubuhnya tidak ditahan oleh Hannah, hal tersebut membuat Hannah semakin panik.  Gadis itu mengalungkan tangan Lian ke lehernya, agar ia dapat memapah Lian.

"Kenapa kau bisa seperti ini, Lian? Seharusnya kau bilang jika tidak bisa hujan-hujanan," lirih Hannah begitu khawatir.

Bibir pucat Lian tersenyum tipis. "Aku tidak apa-apa, Hannah," imbuh Lian dengan suara yang pelan sedikit berbisik.

Untung saja mereka hanya membawa satu sepeda milik Hannah. Jadi, Hannah bisa membonceng kekasihnya yang semakin lemas itu. Hannah mengayuh sepedanya sekuat tenaga, sedangkan Lian memeluk tubuh Hannah dari belakang agar tidak terjatuh.

"Pelan-pelan saja, Hannah. Aku tidak apa-apa," bisik Lian mencoba untuk menenangkan Hannah.

Bisikan Lian hanya dianggap angin lalu oleh Hannah. Ia tetap mengayuh sepedanya tanpa memperdulikan Lian yang berkali-kali memintanya untuk pelan-pelan.

Posisi mereka dengan rumah Lian tidak terlalu jauh. Kini mereka sudah sampai di depan rumah Lian.

Hannah kembali memapah tubuh Lian, kulit putih Lian semakin memucat, seperti sudah tidak ada lagi darah yang mengalir. Pintu rumah Lian tertutup rapat, membuah Hannah kesulitan untuk mengetuk pintu.

"Aku ingin duduk di kursi, pasti kau lelah memapah tubuhku dari tadi," pungkas Lian. Kemudian ia duduk di kursi kayu yang ada di teras rumahnya.

Hannah mengetuk pintu rumah Lian beberapa kali. Sepersekian detik kemudian, pintu terbuka menampilkan anak pertama Tuan Lee—Lee Guan. Hannah tidak begitu akrab dengan Lee Guan, selain laki-laki itu lebih dewasa, Guan juga tidak mudah didekati seperti Lian dan Zihan.

Guan menatap Hannah begitu tajam. "Ada apa?" tanya Guan begitu datar.

"Bang Guan, Lian sakit," jelas Hannah dengan suara yang bergetar karena takut menghadapi Guan. Ia menunjuk ke arah Lian yang sedang duduk bersandar di kursi.

Guan menolehkan kepalanya mengikuti arah telunjuk Hannah. Seketika matanya membelalak kaget melihat kondisi adik bungsu kesayangannya yang sedang memejamkan mata dengan tubuh yang basah kuyup. "Kenapa bisa seperti ini? Dan kenapa kau mengajaknya main hujan?" geram Guan pada Hannah.

"Ma—maaf, Bang," lirih Hannah merasa bersalah. Semua ini memang salahnya, andai saja dirinya tidak mengajak Lian main hujan. Pasti Lian tidak akan jatuh sakit.

Guan menatap Hannah sinis dan tidak suka. Semenjak Lian dekat dengan gadis itu, adiknya selalu keluyuran ke sana kemari. Padahal Lian bukan termasuk orang yang suka menghabiskan waktunya di luar. Bukan tanpa sebab kenapa Lian jarang ke luar rumah, Lian itu memiliki kondisi tubuh yang begitu lemah.

"Zihan! Tolong bantu aku!" pekik Guan memanggil adik pertamanya.

Mendengar teriakan dari abangnya, membuat Zihan langsung menghampiri Guan sedikit tergopoh-gopoh. "Ada apa, Ge?" tanya Zihan setelah berdiri di belakang Guan.

"Bawa Lian ke kamarnya. Lalu bantu dia untuk ganti pakaiannya yang basah," titah Guan pada Zihan.

"Ha? Ada apa dengan Li—"

Belum sempat Zihan melanjutkan kalimatnya, matanya sudah melotot sempurna saat melihat kondisi Lian. Tanya banyak bicara lagi, ia segera membawa Lian masuk ke dalam rumah.

"Jangan marah pada Hannah, Ge. Dia tidak salah," bisik Lian tepat di telinga Guan saat ia melewati Guan yang masih berdiri di depan pintu.

"Ya," balas Guan singkat.

Setelah kepergian Lian dan Zihan. Guan kembali menatap Hannah dengan tatapan yang benar-benar tidak suka.

"Sebenarnya aku sudah lama menyadari jika kau dengan Lian memiliki hubungan. Kepribadian Lian sangat mudah aku baca karena dia adikku. Satu hal yang harus kau tahu, Hannah. Di sini posisimu hanya sebatas pekerja dan kau tidak akan pernah bisa untuk menggapai yang lebih jauh. Kau dengan Lian memiliki perbedaan yang sangat banyak. Jadi, aku harap kau menyadari hal tersebut."

Setelah mengatakan hal yang menyakitkan pada Hannah. Guan langsung masuk ke dalam rumah tanpa memperdulikan keadaan Hannah yang masih berdiri di depan pintu rumahnya dengan tubuh yang bergetar hebat kedinginan.

Tanpa tersadar, air mata Hannah lolos tidak terkendali. Hatinya benar-benar sakit. Namun, apa yang dikatakan oleh Guan itu memang sebuah fakta, fakta yang sangat menyakitkan.

Bersambung....

Senja Di Tepian Indragiri [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang