“Saya tidak mau tau, Mbah Suro. Pokoknya Bang Fajri harus menjadi milik saya. Bagaimana pun caranya, dia harus tunduk di kaki saya!”
Perempuan berambut panjang dan mengenakan baju ketat dengan celana jeans berwarna biru itu duduk di depan seorang lelaki tua yang kepalanya diikat dengan potongan kain jarik yang biasa disebut udeng. Sorot mata Mbah Suro menatap tajam wanita cantik berhidung mancung tersebut.
“Kamu cantik, Nana. Untuk apa lelaki seperti itu bagimu? Apa tidak sayang sama kecantikanmu ini? Lebih dari dia bisa kamu dapatkan.” Pak tua itu tersenyum sinis.
Perempuan bernama Nana itu duduk dengan gelisah. Dia tidak suka dengan tatapan Mbah Suro yang seperti mengulitinya hidup-hidup.
“Dia kaya, Mbah! Kaya! Saya hanya menginginkan hartanya saja. Lagian, Mbah kenapa usil banget, sih? Saya hanya ingin Mbah bisa menundukkan dia. Kalau Mbah tidak bisa, saya cari dukun lain. Jangan buang-buang waktu saya.”
Mulut perempuan itu sangat tajam. Dia tidak takut sama sekali kalau Mbah Suro tersinggung dengan ucapannya tersebut. Lelaki bangkotan di depannya itu menatapnya penuh arti.
“Bagiku, gampang melakukan itu. Namun, apakah kamu sanggup melaksanakan ritual dan mendapatkan syarat-syaratnya?” Mata pria berprofesi sebagai dukun itu berkilat.
“Saya berani datang ke sini, berarti saya siap dengan segala syarat dan juga resiko yang akan terjadi. Jadi katakan saja, Mbah, apa syaratnya?”
Si Mbah terkekeh lalu mengambil sesuatu dari kantong plastik kecil.
“Ini kemenyan putih. Jika aku bakar, dan baunya mulai tercium, apa pun yang kamu lihat kamu harus diam. Jangan bergerak atau pun bersuara. Paham?”
“Paham, Mbah.”
Perempuan itu mulai deg-degan. Lelaki tua berpakaian lurik di depannya duduk bersila dengan khidmat. Mata terpejam, tangannya berada di atas paha. Mulutnya komat-kamit. Tidak jelas apa yang dia ucapkan.
Suasana kamar yang memang suram, semakin terasa mencekam ketika bau kemenyan semakin pekat, asap kian mengepul, lalu perempuan itu menangkap suara menggeram.
Kalau saja dia tidak ingat dengan pesan mbah dukun tersebut, mungkin dia sudah menjerit dan menghambur keluar kamar begitu melihat sosok mengerikan muncul di belakang lelaki tua yang alis, kumis, dan janggutnya sudah memutih semua.
Makhluk itu memiliki rambut gimbal awut-awutan. Mata semerah saga. Bibirnya tebal dengan taring yang mencuat runcing dari mulutnya. Sesekali lidahnya yang panjang dibalut lendir menjijikkan manyapu puncak kepala Mbah Suro.
Dari ubun-ubun Mbah Suro keluar asap tipis, perlahan-lahan semakin banyak, sehingga seluruh ruangan seperti ditimbun kabut asap yang sangat pekat. Nana tidak bisa melihat sosok di depannya. Namun, suasana halimun seperti itu hanya sesaat, karena ada dua cahaya merah berbentuk mata yang sekarang menatapnya garang.
Mata itu terlihat seperti mendekat. Nana memejamkan mata sambil terengah-engah ketika dia merasakan deru napas menderu di permukaan wajahnya. Napas yang sangat busuk dan terasa panas di kulit.
Ada sekitar dua menit matanya terpejam. Perlahan-lahan dia membuka mata. Asap tebal sudah lenyap. Dia hampir terjengkang ke belakang ketika melihat wajah Mbah Suro begitu dekat dengannya.
Lelaki tua itu menampilkan sorot mata semerah darah. Menatap Nana dengan melotot. Ruang kamar yang sudah pengap, semakin terasa panas oleh hawa yang bersumber dari tubuh Mbah Suro.
Nana masih mencoba bertahan untuk tidak pingsan. Dia tidak menyangka akan melihat penampakan mengerikan begini. Dia sangat yakin, kalau sosok mengerikan sebelumnya itu sudah merasuki tubuh sang dukun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Keping Luka Di Hatiku
Mistério / Suspense"Jangan terlalu baik, Nak. Kadang orang mengartikan lain kebaikanmu." Ucapan Ibu masih mengiang di telingaku. Sekarang, baru aku paham apa yang beliau maksud.