11. Kebencian Dewi

31 2 0
                                    

Selepas kepergian Fajri dari rumah, Dewi segera menelepon seseorang.

“Gimana? Kenapa tidak ada laporan? Apa kamu gagal?”

Suara di seberang menjawab dengan malas. “Berhasil, sih. Cuma aku ketiduran. Capek begadang semalam.”

“Bagus!” senyuman licik menguar di wajah Dewi. “Tapi, kamu tidak apa-apakan dia, bukan?”

Hening sesaat.

“Halo? Kamu dengar aku, Bara?” Dewi sedikit membentak, karena perasaannya tidak enak.

“Yahhh. Sesuai pesanan. Jam berapa aku bisa ke rumahmu?” Lelaki bernama Bara itu bertanya dengan nada capek.

“Sekarang. Aku butuh cepat foto itu.”

Dewi segera menutup telepon. Dua orang bocah lelaki masuk ke dalam kamarnya. Satu berusia delapan tahun, dan satunya lagi lima tahun.

“Ma ….” Damian, yang paling besar duduk di sampingnya sambil menatap wajah Dewi dalam.

“Ya, Sayang?” Dewi mengusap lembut kepala anaknya itu.

“Apa Mama baik-baik saja?”

“Tentu, Sayang. Mama sehat dan baik-baik saja. Jangan cemas, ya?”

Doni, anaknya yang nomor dua menjatukan kepalanya di pangkuan Dewi. Melihat kedua bocah ini, hati Dewi seperti teriris pedih.

Dalam seminggu, Fajri hanya ada waktu Minggu bersama anak-anaknya. Itu pun hanya sejam dua jam. Dia terlalu sibuk bekerja.

“Bagi seorang Salesman, tidak ada waktu untuk berlea-leha, Mi. Papi harap Mami mengerti dengan pekerjaan papi. Jangan selalu papi ingatkan!”

“Tapi anak-anak juga butuh kamu, Pi. Kamu terlalu sibuk bekerja. Jangan sampai anak-anak tidak peduli padamu, Pi!”

“Halah! Kamunya saja yang lebay. Aku lihat anak-anak baik-baik saja. Setiap aku pulang kerja, walau waktunya cuma sebentar, tetapi bagi aku itu sangat berkualitas. Lagian kamu ini selalu saja berpikir pendek. Aku ini seorang suami dan pekerja. Sudah tugasku mencukupi semua kebutuhan kamu dan anak-anak. Sudahlah, jangan membantah lagi. Sekali-kali nurut apa kata suami!”

Perdebatan yang kerap terjadi itu seolah-olah menjadi makanan sehari-hari bagi Dewi. Dia ingin Fajri mengurangi kesibukannya. Mereka sudah tidak kekurangan uang sekarang. Dewi pun tidak suka berfoya-foya. Namun, Fajri tidak pernah mau mengerti.

Bagi Dewi, seorang ayah harus dekat dengan anak-anaknya. Karena begitulah pola yang ada diajarkan oleh Papa dan Mamanya. 

Setiap kali mereka menelepon, Fajri tidak pernah ada di rumah.

“Suamimu gila kerja sekali, ya? Tidak harus seperti itu. Kalau kamu kurang uang, bisa telepon Papa. Jangan biarkan dia terlalu keras pada dirinya sendiri. Nanti kalau sudah sakit-sakitan, uang yang dicari habis untuk berobat.”

Papanya—Pak Budi—kerap menasehatinya. Setiap kali Dewi menyampaikan pesan papanya itu ke Fajri, Fajri menanggapinya dengan emosi.

“Kenapa papa kamu selalu ikut campur dengan urusan rumah tangga kita? Makanya aku tidak suka kamu menerima kiriman uang darinya, seolah-olah aku tidak mampu menghidupimu.”

“Bukan begitu, Pi. Papa hanya ingin kamu baik-baik saja. Kenapa, sih, kamu selalu negatif thinking sama orang tuaku? Wajar saja dia bertanya kabar kamu. Setiap kali mereka menelepon, kamu tidak pernah ada di rumah. Aku selalu mengatakan kamu sibuk bekerja. Jadi, Papa hanya merasa kasihan sama kamu, Pi.”

“Kasihan?” Mata Fajri melotot, “Apa aku tipe orang yang mau dikasihani, Dewi? Bilang sama papa kamu, jangan nasehatin aku lagi. Aku tahu dengan diriku sendiri. Dari pada dia sibuk mengkritisi aku, lebih baik dia sibuk beribadah. Sudah tua juga!”

Ucapan kasar Fajri selalu saja menimbulkan bilur-bilur luka di hati Dewi. Sekali dua kali mungkin tidak masalah. Ini dalam sembilan tahun pernikahan, dia kerap mendengar ucapan tidak mengenakkan dari suaminya tersebut.

Ucapan-ucapan itu tertanam di otaknya dan menjadi sesuatu yang perlahan-lahan menimbulkan kebencian di hati Dewi.

Dia jadi gampang curiga. Siapa pun wanita yang dekat dengannya, dia akan berusaha mencari tahu. Bahkan dia dengan beraninya memasang penyadap di ponsel Fajri. Jadi, dia selalu tahu di mana keberadaan lelaki itu.

Sayangnya, perbuatannya tersebut diketahui oleh Fajri. Fajri pun memarahinya habis-habisan.

“Kamu tidak perlu securiga itu kepadaku, Dewi. Aku masih punya iman. Tidak ada terbersit di hatiku untuk berselingkuh dan main perempuan murahan seperti yang kamu tuduhkan. Bagiku, waktuku hanya untuk bekerja dan bekerja. Demi siapa? Demi kamu dan anak-anak! Dan kamu masih saja tidak paham. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan isi otakmu itu!”

Kemarahan yang tersulut tersebut tidak membuat Dewi jera. Dia tetap memata-matai dan menanyakan setiap jam di mana sang suami.

Dia juga mengirimkan pesan-pesan singkat. Mengeluhkan anak-anak yang kerap bertengkar. Tentang token listrik yang habis. Tentang isi kulkas yang harus dibeli.

Dia tidak memberikan waktu untuk Fajri bernapas lega. Begitulah caranya menghukum lelaki tersebut.

Sayangnya, perbuatannya itu membuat Fajri jadi muak. Lelaki itu berubah dingin dan cuek. Dia mulai tidak peduli denga keinginan Dewi.

Ketika Dewi mulai mengancam akan menyakiti anak-anak, Fajri kembali tunduk. Lelaki itu, mulai melakukan apa yang diperintah Dewi.

Sampai akhirnya Dewi melihat Fajri bersama dengan seorang perempuan yang tidak dia kenal. Mereka sedang bercanda di sebuah café. 

Tadinya Dewi ingin melabrak kedua orang itu. Namun, dia urungkan niatnya karena tidak berapa lama kemudian, muncul serombongan orang yang membawa kue ulang tahun untuk Fajri.

Dewi bisa melihat betapa bahagianya wajah sang suami. Tawa lepas yang tidak pernah lagi dia lihat di rumah. Lelaki itu terlihat bebas dan lepas.

Dia sendiri lupa dengan ulang tahun Fajri. Hal itu membuatnya malu di dalam hati. Namun, tetap saja kesedihan menyeruak di hatinya.

“Aku benar-benar tidak berharga lagi di hatimu, Pi. Bahkan ketika aku lupa dengan ulang tahunmu, kamu memilih merayakannya dengan teman-temanmu. Betapa sakitnya hatiku melihatmu memperlakukanku seperti ini.”

Namun, kesedihan itu berubah menjadi kebencian ketika Dewi melihat Fajri menyuapi kue ulang tahun pada perempuan cantik di sampingnya.

Dewi dengan cepat memotret adegan tersebut. Sambil menahan kemarahan, dia kirimkan foto tersebut ke ponsel Fajri. Tidak lupa dia tambahkan kata-kata tajam menusuk hati.

“Hebat, merayakan ulang tahun dengan perempuan lain. Sementara istri di rumah menyiapkan pesta tidak dianggap. Bajingan kamu, Pi!”

Dewi menunggu apakah Fajri akan memeriksa ponselnya dengan cepat atau tidak. Namun, lelaki itu terlalu asyik dengan suasana pesta yang bahagia. 

Mereka bernyanyi sambil bertepuk tangan. Hati Dewi kian hancur menatapnya. Dia pun meninggalkan tempat itu dengan hati berdarah-darah.

Ingatan tentang peristiwa itu sangat membekas di pikiran Dewi. 

Malamnya mereka bertengkar hebat. Untuk meredam gejolak yang lebih parah, Fajri terpaksa mendatangkan perempuan yang disuapi kue ulang tahun.

Perempuan itu Nindi. Dia dengan hati-hati dia berbicara dengan Dewi yang seperti kesetanan. Nindi sampai menangis dan bersumpah kalau dia tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Fajri.

Sejak itu, Dewi berhubungan baik dengan Nindi walau di hatinya masih ada ketidakyakinan. Dia bisa melihat dengan jelas sorot mata Nindi yang menatap Fajri. Tatapan penuh harapan dan cinta. Dan Dewi benci melihat hal tersebut.

Kemarahannya kembali meledak ketika Nindi dan Fajri bertemu malam-malam di café. Rasa percaya itu pun lenyap, berubah dengan kebencian yang membunuh.

Dua Keping Luka Di HatikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang