Fajri mengendarai sedan hitam metalik miliknya dengan hati yang tidak karuan rasa.
Pertengkaran demi pertengkaran dengan Dewi kerap mewarnai hari-harinya. Dia tidak habis pikir, kenapa sang istri selalu saja suka memancing emosinya. Bisa saja rumah tangga yang sudah bertahun-tahun jadi karam jika masalah ini tidak juga bisa diatasi.
Hari ini Fajri ada janji dengan Nindi. Dia ingin membicarakan masalah asuransi customernya. Namun, sedari tadi dia mencoba menghubungi perempuan cantik itu, Nindi tidak kunjung merespon.
“Apakah dia marah gara-gara hal semalam? Dia sangat mencemaskanku. Kalau benar Nana menyukai hal-hal aneh, aku juga heran. Di zaman sudah maju seperti ini, masih saja ada yang percaya sama dukun.”
Mengingat Nana, menimbulkan rasa tidak nyaman di dalam hatinya. Awalnya dia senang-senang saja dengan gadis itu.
Ketika Nana mengutarakan perasaannya, hati Fajri berubah drastis.
“Coba dia tidak mengungkapkan apa yang dia rasakan, mungkin aku tidak akan canggung bertemu dengannya. Lagian bisa-bisanya dia menyukaiku yang tidak tampan ini. Apa karena faktor uang?”
Fajri menggigit bibirnya menyadari hal itu. Namun, dia kembali menggelengkan kepala.
“Tidak mungkin. Dengan kecantikannya, Nana bisa saja mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dariku. Satu cerita dengan Nindi yang dulu menyatakan perasaannya.”
Namun, keraguan kini menyamaki hati Fajri. Jika dengan Nindi dia bisa bersikap normal, kenapa tidak dengan Nana?
Bukankah itu tidak adil namanya. Dia seharusnya tidak menjauhi Nana.
Dia jadi ingat dengan pesan Nana yang tidak pernah dia balas, dan telepon perempuan itu yang tidak pernah dia angkat.
“Nana pasti sangat kecewa denganku. Padahal aku sudah berjanji tidak akan menjauhinya.”
Ada rasa bersalah yang muncul di dalam hatinya. Fajri meraih ponsel di dashboard dan melakukan panggilan ke Nana.
Tidak tunggu lama, panggilannya dijawab oleh Nana dengan saura ceria. Fajri merasa geli dan juga senang mendengarnya.
“Hai, Na?” Fajri menyapa ramah.
“Halooo, Bang Fajri! Ya ampun, ada angin apa ini, pagi-pagi Abang udah nelponin aku?”
Suara renyah Nana terdenagr merdu di kuping. Bahkan rasa senang yang Nana rasakan ikut dirasakan oleh Fajri.
Aneh. Kenapa dia bisa seriang itu? Membuat hatiku berdebar.
“Tidak ada apa-apa, Na. Abang hanya mau minta maaf karena telat merespon telepon dan pesan-pesan kamu. Abang sibuk banget jadi belum sempat menghubungi kamu kembali. Kamu tidak marah, kan?”
“Ya ampun, Bang. Aku ngerti, kok. Nggak apa-apa juga kalau Abang nggak sempat balas, Aku tau banget kalau Abang pasti sibuk banget. Oh, ya. Lagi di mana Abang sekarang?”
Fajri tersenyum simpul. Nana gadis yang baik ternyata. Dia tidak marah dan tidak pula meresponku dengan nada ketus.
“Oh, ini, Na. Abang mau ke kantor. Kamu nggak kerja? Sudah jam sepuluh lo ini.”
“Kerja, dong, Bang. Aku telat bangun tadi. Hehe. Apa Abang ada waktu untuk makan siang nanti?”
Fajri berjengit. Dia memeriksa jadwalnya.
“Kayaknya, aku free deh siang nanti, Na. Mau makan di mana?”
“Terserah Abang saja. Aku ngikut aja.”
“Oh, boleh, deh. Kita ajak Nindi, ya?”
“Nindi?”
Fajri menangkap nada tidak suka dari suara Nana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Keping Luka Di Hatiku
Mystery / Thriller"Jangan terlalu baik, Nak. Kadang orang mengartikan lain kebaikanmu." Ucapan Ibu masih mengiang di telingaku. Sekarang, baru aku paham apa yang beliau maksud.