9. Pukul 12 Malam

22 2 0
                                    


Kita kembali dulu ke Nana yang harus melakukan ritual terakhir tepat di dentang jam 12 malam.

Dia benar-benar tidak tidur sama sekali begitu pulang dari kediaman Mbah Suro. Seperti saran Bu Karti, dia jangan tidur dulu, walau matanya seperti sudah ditindihi batu besar.

"Kalau kamu melewatkan ritual jam 12 malam, semua yang kamu lakukan malam tadi sia-sia, Nana. Ikuti aturan yang ditetapkan Mbah Suro. Jangan nanggung-nanggung dalam melakukan sesuatu."

Pesan Bu Karti kembali mengiang di telinganya.

Dia berbaring di atas ranjang tanpa selembar benang pun. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi.

Apakah jin buruk rupa peliharaan Mbah Suro akan mendatangi dan meminta pengorbanan darinya. Jika iya, betapa mahal harga yang harus dia bayar untuk mendapatkan Fajri.

"Jika memang ini adalah cara yang paling ampuh untuk mendapatkan hatinya Bang Fajri, maka aku akan melakukannya, walau nanti aku harus membusuk di neraka."

Mata hati dan pikiran Nana benar-benar sudah tertutup. Godaan dan rayuan setan telah menguasai gadis malang itu.

Setelah tadi dia menyiram badannya dengan sisa air keruh di dalam botol kemasan, Nana merasakan tubuhnya terasa lemas. Tulang belulang di badannya seperti jatuh lunglai. Tidak ada kekuatan sedikit pun yang dia rasakan.

Ketika tubuhnya sudah terbaring di atas ranjang, dia seperti segumpal kapas tanpa daya. Bahkan matanya terasa sangat berat. Sekuat apa pun dia menahan kelopak matanya untuk menutup, tetap saja dia tidak sanggup.

Kesadaran tetap utuh dia rasakan. Hanya saja sekarang kelopak matanya seolah tidak mampu dibuka. Tulang belulangnya seperti kehilangan tenaga.

Di saat seperti itu, Nana mendenagr bunyi langkah kaki. Langkah kaki yang terdenagr berat dan seperti diseret di lantai.

Nana mencoba membuka mata, tetapi matanya tidak mau bekerja sama.

Di saat itu dia merasakan udara terasa panas. Tubuhnya mengalirkan keringat. Sedaya upaya dia menahan rasa gerah yang menyerang.

Nana terkejut ketika dia merasakan seseorang menyentuh tubuhnya. Dia tidak tahu siapa, tetapi sentuhan itu terasa kurang ajar.

Belaian demi belaian dia rasakan. Tadinya Nana berpikir hanya satu orang, tetapi semakin lama dia merasakan hawa di dalam kamarnya semakin panas.

Banyak tangan-tangan yang tidak dia ketahui menjamah tubuhnya. Bukan hanya sekadar belaian, Nana merasakan sapuan lidah bercampur cairan kental menjijikkan menyapu seluruh tubuh telanjangnya.

Nana menjerit antara takut dan jijik. Dia tidak tahu apakah sosok yang sekarang ramai di dalam kamarnya itu manusia atau sekelompk makhluk halus.

Jeritan Nana tidak pernah keluar dari tenggorokannya, karena dia merasakan ada benda asing memasuki mulutnya dan menghunjam sampai ke tenggorokannya.

Lidah!

Nana yakin, itu adalah lidah yang sebelumnya pernah membuatnya muntah parah. Kali ini tidak satu lidah, tetapi ada sekitar sepuluh lidah bergantian menyoyak tenggorkannya.

Mata Nana yang tadi tertutup, mendadak terbuka lebar. Melotot dan tubuhnya melejang-lejang kesakitan.

Dia tetap tidak bisa meliahat apa-apa. Di depannya hanya cahaya putih samar. Bau busuk memenuhi lubang hidungnya.

Setelah menjalani hal tidak wajar tersebut, Nana tersentak dari ranjang. Tubuhnya seperti dilempar paksa, lalu bergedebuk di lantai.

Dia meringis kesakitan. Perutnya bergejolak, lalu cairan dan makanan yang ada dalam perutnya kembali dia muntahkan dan berceceran di lantai.

Di depan Nana, ada sepuluh makhluk bertanduk dan bermata merah. Bibirnya dower an lidahnya terjulur keluar seperti lidah anjing.

Nana beringsut ke belakang ketakutan.

Salah satu dari sosok itu maju ke depan dan mencengkeram leher Nana erat. Dia mengangkat tubuh Nana ke udara. Kaki Nana melejang-lejang, tangannya berusaha melepaskan cekikan yang membuatnya sesak napas.

"Kamu telah menyatu raga dengan kami. Jiwamu sudah berada di dalam genggaman kami. Sampai kapan pun, kami tidak akan pernah melepaskanmu. Hahaha."

Nana merasakan tubuhnya dibanting ke kasur. Kesepuluh sosok mengerikan itu lenyap, hanya menyisakan bau busuk dan lendir yang kini mengotori sekujur tubuh Nana.

Rasa panas yang tadi meneyelimuti badannya berganti dengan rasa dingin yang membuat tubuhnya menggigil.

Dengan sekuat tenaga dia turun dari ranjang dan terseok-seok menuju kamar mandi. Di bawah guyuran air shower yang hangat, dia mulai membersihkan tubuhnya.

Nana tidak menduga kalau dia akan diperkosa oleh makhluk menjijikkan yang berasal dari alam ghaib. Ada rasa menyesal yang kini merayap di dalam hatinya.

"Seharusnya aku tidak mengiyakan saran Ibu. Ini akibatnya. Aku jadi terjebak dengan makhluk-makhluk mengerikan itu. Entah apa yang akan terjadi ke depannya."

Nana menangis terisak-isak di kamar mandi. Bau busuk yang tadi menguar dari tubuhnya perlahan-lahan memudar. Harumnya wangi sabun telah menghilangkan bau tidak enak tersebut.

Nana perlahan menyudahi mandinya. Dia menutupi tubuhnya dengan handuk. Dia merasa sangat lelah. Tidak pernah dia merasa selelah ini.

Dia terus menyeret langkah dan begitu sampai di kasur, dia segera hempaskan tubuhnya, lalu semuanya terasa sunyi dan senyap.

Nana terlelap dengan handuk masih menutupi tubuh langsingnya.

***

Kumandang azan di subuh buta membangunkan Nana yang terlelap. Suara panggilan suci itu tiba-tiba terdengar menakutkan di telinganya.

Nana tersentak dan reflek menutup kupingnya. Rasa panas benar-benar seperti membakar kepalanya.

"Ampun! Ampun! Kenapa panas sekali? Ibuuu ... Ibu ...." Nana berteriak sambil berguling di lantai. Telinganya seperti ditusuk besi panas.

"Aku tidak kuat. Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku? Ibuuu ...!"

Teriakan Nana yang histeris benar-benar mengejutkan Bu Karti yang sedang menjerang air di dapur.

Perempuan setengah baya itu bergegas ke kamar anaknya. Begitu dia buka pintu, dia melihat Nana mengelinjang-gelinjang di lantai sambil membekap telinganya. Yang membuat Bu Karti terkejut, Nana tanpa sehelai benang pun.

"Nana?" Bu Karti memburu tubuh Nana. Dia segera memegang badan Nana. Namun, sontak menarik tangannya kembali. Tubuh Nana bagaikan mengandung listrik. Panas!

"Kamu kenapa, Na?"

"Panas, Buuu! Panaaas!"

Suara azan di luar sana kian menggema.

Akhirnya Bu Karti sadar apa yang terjadi dengan anaknya. Segera dia mengambil selimut tebal yang ada di atas kasur dan membawanya ke kamar mandi.

Selimut tersebut dengan cepat dia rendam di dalam air dan memastikan semuanya basah. Setelah itu dia bergegas kembali ke tempat Nana dan menyelimuti Nana dengan selimut yang sudah basah tersebut.

Asap hitam mengepul dari tubuh Nana yang keluar melalui sela-sela selimut. Seiring dengan selesainya kumandang azan subuh, Nana pun perlahan-lahan tenang.

Bu Karti menarik selimut yang langsung kering. Air yang tadi membasai selimut sirna entah ke mana.

"Nana?"

Bu Karti menatap Nana yang seperti orang linglung.

"Nana?"

Bu Karti menggoyang-goyangkan bahu Nana. Nana seperti kembali ke badannya. Dia langsung menjerit dan memeluk Bu Karti sambil terisak-isak menangis.

"Ibuuu, Nana takut! Tolong Nana, Buuu."

Bu Karti mencoba menenangkan Nana yang ketakutan.

"Tsss, tenanglah. Ini hanya sementara. Nanti ibu akan ajarkan kamu cara menghadapinya. Tenanglah ...."

Dua Keping Luka Di HatikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang