Penolakan Fajri benar-benar meluluh-lantakkan hati Nana. Dia kecewa berat. Sehari dua hari dia berpikir bisa melupakan rasa sakit yang tercipta di dalam hatinya. Namun, seiring waktu menjelang maghrib, rasa sedih, kecewa, dan sakit hati menyerangnya tanpa ampun.
"Aku benar-benar tidak bisa menerima penolakan dari kamu, Bang! Tidak pernah aku merasa sesakit ini. Aku tahu, cinta tidak bisa dipaksa, tetapi kamu juga tidak bisa menolakku begitu saja."
Sebenarnya, Nana tidak akan begitu sakit hati andai Fajri konsisten dengan kata-katanya. Lelaki itu berjanji tidak akan menjauhinya dan menganggapnya teman, seperti yang dia lakukan ke Nindi. Nyatanya, Fajri menjauh. Dia enggan mengangkat telepon dan membalas pesan dari Nana.
Hal itu kian memercikkan api kemarahan di dalam dada perempuan berusia 25 tahun tersebut.
Kegundahannya itu terlihat sangat jelas. Sebagai seorang ibu, Bu Karti menangkap ada yang tidak beres dengan anak perempuan satu-satunya itu.
"Ibu tahu kamu sedang ada masalah. Ceritalah. Jangan sampai kecantikanmu rusak karena suasana hati yang tidak baik."
Malam belumlah terlalu larut ketika Nana duduk di beranda rumah sambil memandang rembulan separuh dengan cahayanya yang pucat.
Bu Karti duduk di sampingnya sambil menghisap sebatang rokok daun enau. Harumnya bau tembakau diterbangkan angin dan menyapa indera penciuman Nana.
"Aku jatuh cinta, Bu."
Nana menjawab antara terdengar dan tidak. Dia merasa dadanya sedikit sesak. Bayangan wajah Fajri melintas di matanya. Tanpa bisa dia cegah bulir-bulir bening berjatuhan membasahi pipinya.
"Lalu, apa masalahnya? Kenapa wajahmu bermuram durja, bahkan sekarang kamu menangis? Jangan bilang kalau cintamu bertepuk sebelah tangan."
Hisapan rokok Bu Karti semakin kuat. Dia seperti mengumpulkan banyak asap di dalam mulutnya, sebelum mengembuskannya ke udara.
Bau tembakau semakin santer. Nun di angkasa sana, cahaya rembulan separuh semakin memudar. Beberapa gerombolan awan, mulai menutupi pendarnya.
"Tapi memang itu yang terjadi, Bu. Aku jatuh cinta pada orang yang salah. Tadinya aku hanya berniat menjadikannya ladang uang, tetapi begitu lebih mengenalnya, aku malah terpanah cintanya, Bu. Dan rasanya sangat sakit ketika dia mengatakan tidak ketika kuutarakan maksud hatiku."
Wajah Bu Karti yang selalu menyiratkan kesinisan, semakin sinis mendengar ucapan anaknya tersebut.
"Sudah berapa banyak lelaki yang kamu tundukkan? Selama ini, kamu hanya menjadikan mereka mainan, sekarang, mungkinkah kamu sudah kena karmanya?"
Buk Karti mendengkus. Dia benar-benar tidak suka melihat anak gadisnya itu menjadi lembek dan patah hati.
"Sudahlah. Hapus air matamu. Lebih baik besok siang kamu hubungi Mbah Suro. Ibu yakin, dia pasti punya solusi untuk masalahmu ini. Jangan terlalu kamu pikirkan. Tidak bisa dengan cara baik-baik, cara halus bisa kamu tempuh."
Mata Nana terbelalak mendengar ucapan ibunya itu. Dadanya berdegup kencang. Jauh di hatinya, dia tidak ingin berhubungan dengan dunia hitam yang dilakukan ibunya tersebut.
"Haruskah Nana melakukan itu, Bu?" Nana bertanya ragu. Dia sangat tahu siapa ibu dan lelaki tua yang Bu Karti maksud.
"Kalau kamu merasa ingin mendapatkannya, lakukan. Tapi kalau kamu sudah menyerah, ya sudah, biarkan saja begitu."
Buk Karti perlahan bangun dari duduknya dan masuk ke dalam rumah. Gemersik dedauanan ditiup angin membuat suasana malam terasa mencekam. Sesekali terdengar suara binatang malam saling bersahut-sahutan.
Rumah Nana memang berada di pinggiran kota. Masih banyak sawah dan ladang milik warga setempat.
Rumah itu cukup besar. Terdiri dari empat kamar di lantai satu dan 2 kamar di lantai dua.
Sejak ayahnya meninggal, Nana hanya tinggal dengan Bu Karti. Sebenarnya dia memiliki dua orang saudara laki-laki yang sudah berkeluarga dan tinggal di kota yang berbeda dengan Nana.
Jadi, rumah itu kerap sepi dan sunyi. Terkadang Nana malas untuk pulang. Bukan saja karena kesepian, tetapi juga dengan aktifitas Bu Karti yang tidak biasa.
Rumahnya terkadang didatangi orang yang tahu dengan ilmu perdukunan yang Bu Karti miliki. Bu Karti juga bisa mengurut atau memijat orang yang yang mengalami keseleo atau terkilir.
Namun, Bu Karti selalu mematok harga tinggi yang membuat orang pun tidak banyak mendatangi prakteknya.
Ketika mendengar saran Bu Karti untuk mendatangi Mbah Suryo membuat hati Nana tidak nyaman.
Tidak sekali dua kali dia bertemu lelaki tua itu. Wajahnya menyeramkan. Bukan karena bentuknya yang buruk, tetapi ada aura jahat yang senantiasa menguar dari paras lelaki yang berprofesi sebagai dukun tersebut.
Terakhir bertemu dengan Mbah Suro ketika ingin mengobati Nindi. Nindi entah kenapa tiba-tiba mengalami perut yang teramat sakit.
Setiap hari, sahabatnya itu kerap merintih kesakitan. Rasanya seperti diremas-remas sekuat tenaga, membuat Nindi seperti mau mati.
Yang anehnya, rasa sakit itu sering menyerang ketika tepat jam 12 malam.
Hampir selama satu bulan Nindi mengalami penyakit aneh tersebut. Badannya yang montok dan bagus sampai terlihat seperti jerangkong. Begitu kurus dan mengenaskan.
"Temanmu salah makan."
Begitu Mbah Suro memberitahu.
"Apakah Mbak bisa mengobatinya?"
"Tentu saja. Ini gampang. Kamu silakan pulang dulu, biarkan temanmu di sini."
Nana tidak pernah tahu seperti apa cara Mbah Suro mengobati Nindi. Yang dia tahu, hanya dalam waktu seminggu, Nindi mulai sembuh dan berangsur-angsur membaik.
Salah makan yang dikatakan Mbah Suro, ada seseorang menaruh suatu penyakit yang didatangkan dengan cara sihir ke dalam makanan Nindi, sehingga membuat gadis itu kesakitan.
Parahnya, kata Mbah Suro pelakunya adalah orang dekatnya sendiri. Entah siapa, Nindi pun enggak bercerita. Dan Nana pun tidak memaksa karena tidak penting juga baginya.
Namun, akhirnya Nana tahu siapa pelakunya. Sebulan setelah Nindi sembuh, sepupu Nindi yang bernama Marta meninggal secara tragis. Melompat dari bangunan tiga lantai rumahnya. Kata ibunya, Marta seperti melihat makhluk menyeramkan datang mengejarnya.
Sejak itu, Nindi seperti tidak bisa menolak apa pun kehendak Nana. Dia merasa sangat berutang nyawa ke Nana.
Hanya saja kali ini Nana ikut kecewa dengan Nindi. Temannya itu ternyata sempat mengutarakan perasaannya ke Fajri. Seharusnya Nindi terbuka tentang apa yang dia rasakan, bukannya bermain kucing-kucingan seperti ini.
Pantas saja Nindi mati-matian menolak rencanaku mendekati Bang Fajri. Dia sendiri menyimpan rasa ke lelaki itu. Menjijikkan! Inikah namanya sahabat? Menggunting dalam lipatan. Pagar makan tanaman. Dan aku tidak bisa memaafkan kamu, Nindi. Mungkin aku bisa meminta Mbah Suro mengembalikan penyakitmu lagi. Biar mati kamu dimakan cacing!
Nana akhirnya sudah mengambil keputusan. Rencananya saat ini adalah mendatangi Mbah Suro dan melakukan apa yang Bu Karti katakan.
"Aku harus bisa mendapatkan Bang Fajri walau aku harus berubah menjadi iblis. Selama ini tidak ada satu pun lelaki yang berani menolakku. Cih, Bang Fajri, kamu salah telah berurusan denganku. Cintaku sudah berubah menjadi kebencian. Aku akan membuat hidupmu menderita. Pedih sepedih-pedihnya sampai kamu hancur sehancur-hancurnya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Keping Luka Di Hatiku
Mystery / Thriller"Jangan terlalu baik, Nak. Kadang orang mengartikan lain kebaikanmu." Ucapan Ibu masih mengiang di telingaku. Sekarang, baru aku paham apa yang beliau maksud.