6. Peringatan

24 3 0
                                    

Sementara itu Nindi merasa tidak enak hati setelah memperkenalkan Nana ke Fajri.

"Seharusnya aku tidak melakukannya. Sekarang, lihatlah! Nana jatuh cinta kepada Bang Fajri. Aku tidak masalah mereka pacaran atau pun nanti sampai menikah. Aku hanya cemas, kalau sampai Nana ditolak seperti Bang Fajri menolakku, dia pasti akan melakukan hal-hal yang tidak masuk di akal. Aku takut, Bang Fajri kenapa-kenapa. Nana itu orangnya nekat!"

Nindi tidak bisa tidur memikirkan hal tersebut. Pengakuan Nana yang mengatakan kalau dia jatuh cinta kepada Fajri benar-benar membuatnya terkejut.

"Seharusnya aku paham kalau dia ingin mengenal Bang Fajri, pasti menyimpan maksud terselubung. Baru kali ini Nana tertarik dengan lelaki yang wajahnya biasa saja. Selama ini, lelaki yang dia taksir pasti memiliki wajah tampan dan rupawan."

Bagi Nindi, berteman dengan Fajri saja sudah suatu anugerah. Lelaki itu begitu baik hati dan suka menolong. Ketika dia jatuh sakit dulu, Fajri kerap membantunya dengan membelikan obat-obatan yang dia butuhkan.

Hubungannya dengan istri Fajri juga cukup baik. Satu-satunya perempuan yang tidak dicurigai perempuan itu mungkin hanya Nindi. Makanya, Nindi jadi takut kalau Nana melakukan hal-hal yang dia khawatirkan.

Walau jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Nindi tetap mencoba menghubungi Fajri. Di status WA lelaki itu, dia menginformasikan kalau dia sedang di sebuah café bersama klien.

"Malam, Bang?"

Nindi sangat senang ketika Fajri langsung mengangkat panggilannya.

"Ya, Nin, tumben nelepon malam-malam?"

Renyahnya suara Fajri terasa nyaman di kuping, membuat Nindi sesaat memejamkan mata, menenangkan debaran di dadanya.

"Ah, tidak, Bang. Apa besok kita bisa bertemu, Bang? Ada yang perlu aku bicarakan."

"Besok, ya? Hmm, kenapa tidak sekarang saja?"

"Memangnya Abang tidak sibuk?"

"Kebetulan baru saja selesai diskusi bersama klien. Kalau kamu mau, datang ke sini aja. Aku tunggu."

"Wah, benar, Bang?"

"iya."

Setelah memutuskan sambungan telepon, Nindi bergegas mengenakan pakaian terbaiknya. Tidak lupa menyemprotkan parfum agar wangi.

Setelah itu dia membelah jalanan kota yang mulai lengang karena sudah jam sepuluh malam.

Tidak berapa lama dia sampai di kafe tersebut. Dia langsung menemui Fajri yang sedang memainkan ponsel. Sementara di bibirnya terselpi sebatang rokok.

"Hai, Bang!" Nindi segera duduk di depan Fajri yang menyambutnya dengan wajah semringah.

"Hi. Mo makan apa?"

"Enggak usah, Bang. Aku pesan minum aja. Secangkir kopi hangat kayaknya bagus di malam yang dingin ini."

"Good idea. Kebetulan aku juga lagi minum secangkir kopi yang mulai hangat."

Setelah basa-basi sejenak, Nindi menyampaikan maksud dan tujuannya menemui Fajri.

Suasana Café terasa lengang, karena tidak seberapa yang datang di malam ini. Keadaan ini membuat Nindi lebih leluasa membicarakan perihal Nana.

"Jadi gini, Bang. Aku mau nanya, gimana hubungan Abang dengan Nana?"

Nindi melihat wajah Fajri berubah drastis. Kulit mukanya yang kecoklatan, sesaat memerah karena malu.

"Kenapa kamu menanyakan ini? Apa Nana ada membicarakan sesuatu?"

Nindi menangkap kesan tidak nyaman dari nada suara pria di depannya tersebut.

"Tidak, Bang. Justru aku mau tahu, menurut Abang Nana, bagaimana?"

Fajri mengusap wajahnya untuk sesaat. "Jujur, ya, Nin. Aku kurang suka dengan Nana. Entah kenapa, kurang nyaman saja berbicara dengan dia. Tidak seperti aku ke kamu. Kamu asyik dibawa ngobrol. Nana belum beberapa kali bertemu sudah menunjukkan maksud lain yang membuatku merasa harus menjauhinya."

Ada kehati-hatian di setiap untaian kata yang keluar dari bibir Fajri. Bagaimana pun dia tahu kalau Nana adalah sahabat karibnya Nindi, tentu saja dia tidak mau kelepasan bicara.

Sementara itu Nindi yang mendengar jawaban Fajri sudah bisa mengambil kesimpulan kalau Nana telah mengutarakan rasa sukanya.

Inilah yang paling dicemaskan oleh Nindi.

"Dia nembak Abang?"

Suara Nindi bergetar, dadanya terasa sesak. Kecemasan seketika mengisi ruang hatinya.

"Iya, Nin. Siang tadi dia mengutarakan rasa sukanya. Aku sangat terkejut. Selama ini aku enjoy aja jalan sama dia, karena aku yakin dia tidak mungkin menyukai pria sepertiku. Jadi, ketika dia menyatakan rasa hatinya, aku benar-benar tidak percaya, Nin. Andai aku tidak ingat anak dan istri di rumah, mungkin aku sudah menerima cintanya. Siapa sih yang mau menolak perempuan secantik dia, Nin?"

Nindi merasa marah di dalam hati. Dia sangat kecewa mendengar ucapan Fajri. Lelaki sama saja. Apa dia tidak sadar kalau dia baru saja melukai hatiku, batinnya.

Fajri yang menyadari perubahan di wajah Nindi segera meminta maaf.

"Maaf, ya, Nin. Aku tidak bermaksud membuat kamu tidak nyaman dengan ucapanku. Tapi itulah yang terjadi dan kurasakan."

Nindi menghela napas berat. "Tidak apa-apa, Bang. Setidaknya Abang sudah jujur. Nana memang cantik dan semua pria pasti akan bertekuk lutut kepadanya. Aku menemui Abang hanya ingin mengatakan, berhati-hatilah dengan Nana, Bang. Dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Jangan sampai Abang menyesal nanti kalau terjadi apa-apa sama keluarga Abang."

Nindi tidak menunggu lebih lama setelah menyampaikan hal tersebut. Setidaknya dia sudah memperingatkan Fajri. Kalau sampai terjadi apa-apa, itu semua sudah diluar kendalinya.

"Maksudnya gimana, ya, Nin? Emang apa yang akan Nana lakukan jika aku menolak cintanya?"

Nindi menggenggam tangan Fajri. Matanya menatap mata Fajri tajam. "Ingat, Bang. Jangan mudah percaya pada orang lain, termasuk aku. Percayai hatimu, Bang. Jika kamu merasa harus menjauh dari Nana, maka itu sudah seharusnya. Jangan pernah mau meminum atau memakan apa saja pemberian Nana, ya, Bang?"

Ucapan Nindi mengandung misteri di pikiran Fajri. Lelaki itu tidak tahu apa sebenarnya inti dari pernyataan Nindi tersebut.

"Baiklah, Nin. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Mengenai urusanku dengan Nana, kamu tenang saja. Aku pasti bisa mengatasinya."

Nindi melihat keyakinan di wajah Fajri. Dia kembali menghela napas berat.

"Tidak semudah yang kamu bayangkan, Bang. Pesanku, berhati-hati sajalah kalau nanti kamu bertemu dengannya. Tolak semua makanan dan minuman yang dia berikan. Bagaimanapun caranya."

Hari kian beranjak malam. Ketika jam di ponsel menunjukkan pukul 11 malam, Nindi memutuskan untuk pulang. Dia sudah memberitahu apa yang seharusnya diberitahu.

Nindi mengendarai motor di bawah deraan gerimis yang mulai turun membasahi badan jalan. Di dalam hati, Nindi berharap hujan tidak deras. Dia tidak membawa mantel untuk melindungi tubuhnya dari percikan air hujan.

Sesampai di rumah, Nindi terkejut mendapati seseorang berdiri di depan pintu. Dengan bergegas, Nindi mendekati sosok tersebut.

"Kak Dewi?"

Lidah Nindi terasa kelu ketika menyebut nama perempuan berkerudung hitam di depannya tersebut.

"Nin ...."

Tanpa diduga, perempuan bernama Dewi itu memeluk Nindi sambil menangis.

"Kak, ada apa?" Nindi bertanya pelan.

"Bang Fajri, Nin. Bang Fajri ...."

"Bang Fajri kenapa, Kak?" Degup di dada Nindi semakin kuat.

"Dia mau menceraikan aku, Wi!"

"APA???"

Dua Keping Luka Di HatikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang