Sejak pertemuan pertama dengan Fajri, Nana selalu merasa ingin memiliki pria yang baru berusia 30 tahun tersebut.
Siang dan malam, bayangan Fajri kian menjelma di pelupuk matanya. Bukan tanpa alasan kenapa dia begitu terobsesi dengan pria beranak dua itu.
Suatu hari, Nana sedang melakukan lari pagi di GOR. Tanpa sengaja, dia melihat Fajri sedang berjalan santai dengan dua orang anak lelakinya.
Nana hendak mendekat, tetapi segera dia hentikan langkahnya begitu melihat seorang perempuan membawa beberapa botol minuman mendekati mereka.
Dia perhatikan perempuan itu bisa dikatakan ayu dan lembut. Mengenakan jilbab dan baju yang menutupi tubuhnya. Tidak ketat dan membuatnya terlihat anggun.
Hanya saja Nana melihat wajah perempuan itu seperti kesal. Nana lebih mendekat ke arah mereka.
"Jaga matamu, Pi! Aku paling benci kalau sudah dibawa ke pusat keramaian seperti ini. Tidak usah senyam-senyum sama wanita lain!"
Dari jarak yang lumayan dekat, Nana bisa mendengarkan ucapan istri Fajri yang terdengar ketus dan sinis.
"Mami kenapa uring-uringan terus dari tadi? Malu dilihat dan didengar orang. Sudahlah. Jangan seperti itu."
Nana menarik napas mendengar ucapan Fajri. Membuatnya gemas sendiri.
Dia segera berhenti berjalan dan membiarkan Fajri sekeluarga semakin menjauh darinya.
"Perempuan bodoh! Lelaki semakin dikekang, malah semakin liar di luar. Enggak bersyukur banget jadi orang."
"Apa lagi yang dicari perempuan itu? Suami baik, kaya. Setidaknya biarkan dia bersantai ria dengan anak-anaknya di waktu libur begini. Itu perempuan pasti merasa paling cantik dan merasa Bang Fajri beruntung mendapatkan dia. Cih, modelan begini mah 100 pasti bisa dimiliki Bang Fajri dengan uangnya yang banyak itu. Nanti kalau udah lepas dari tangan, baru nyesal!"
Nana terus mengomel di dalam hati sambil matanya terus mengitari sekitar.
Yang tidak dia sangka-sangka, ketika mau pulang, tepatnya sudah satu jam dia di GOR, dia duduk di sebuah kedai menikmati sarapan pagi.
"Hai ...."
Nana terkejut dan salah tingkah.
"Sendiri aja?"
Nana mengangguk. Dia benar-benar tidak tau berkata apa.
"Boleh duduk?"
"Oh, silakan, Bang. Kebetulan meja ini banyak kursi kosongnya."
"Thanks."
Nana memandang sekeliling. Dia tidak melihat orang-orang yang dia cari.
"Lagi nunggu seseorang, ya?"
"Ha?" Nana terkejut. "Eh, tidak, Bang. Justru saya heran, Abang kok sendirian? Anak dan istrinya mana?"
Wajah orang itu sesaat berubah.
"Sudah kusuruh pulang duluan."
"Ha? Kenapa?"
"Hehe. Nggak kenapa-kenapa. Istriku lagi nggak mood. Biasalah, PMS."
"Oh, gitu. Wanita kalau menstruasi memang sering moody, Bang. Sabar aja, ya? Mo makan apa, Bang? Biar saya pesanin."
"Ehh, tidak usah repot-repot. Tadi aku udah pesan, kok. Sama dengan kamu, nasi goreng telur dadar. Hehe."
"Wah, kita satu selera ternyata."
Nana tidak menyangka kalau Fajri akan seluwes itu. Lelaki itu murah senyum dan gampang tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Keping Luka Di Hatiku
Mystery / Thriller"Jangan terlalu baik, Nak. Kadang orang mengartikan lain kebaikanmu." Ucapan Ibu masih mengiang di telingaku. Sekarang, baru aku paham apa yang beliau maksud.