Nindi menatap tidak percaya perempuan berkerudung coklat di depannya itu. Belum habis setengah jam dia bertemu dengan Fajri, sekarang Dewi—istri Fajri menyatakan kalau dia hendak diceraikan oleh Fajri.
"Masuk dulu, Kak."
Nindi membuka pintu rumah dan mempersilakan Dewi untuk masuk. Di rumah ini Nindi memang tinggal sendiri, kedua orang tua sudah lama bercerai. Mereka sudah bahagia dengan hidup masing-masing.
Nindi menuntun Dewi masuk ke ruang tamu. Mempersilakan wanita itu duduk di sofa, sementara dia pergi ke dapur mengambil dua gelas air putih.
"Minum dulu, Kak," ujarnya sambil menatap prihatin perempuan berhidung mancung tersebut.
"Apa salah kakak, Nin, sehingga Bang Fajri berniat menceraikan kakak. Semuanya sudah kakak lakukan untuk membuatnya bahagia, tetapi kakak tetap saja salah di matanya. Tolong bantu kakak, Nin ...."
Bahu Dewi terguncang-guncang menahan isak tangis. Sepinya malam tentu mampu menembus dinding-dinding rumah dan mengantarkan suara Dewi ke telinga para tetangga. Oleh sebab itu, Nindi berusaha untuk menenangkan Dewi agar tidak histeris atau meratap.
"Tarik napas dulu, ya, Kak. Tenangkan diri dulu. Setelah agak lega, baru Kakak cerita, biar saya paham dengan apa yang terjadi."
Suara lembut Nindi perlahan-lahan membuat Dewi tenang. Setelah dia merasa sedikit nyaman, dia mengusap air matanya dengan sehelai tisu.
"Sekarang, kalau Kakak sudah merasa lega, ceritakanlah. Apa yang terjadi?"
Dewi menghela napas sejenak. "Bang Fajri katanya dia muak dengan kakak, Nin. Dia bilang kakak terlalu posesif, suka ngekang dia. Suka mengganggu pekerjaan dia. Padahal kakak hanya ingin dia ikut terlibat dalam merawat anak, Nin. Kakak tahu dia kerja demi kakak dan anak-anak, tetapi apa salah kalau kakak mencurahkan rasa hati hanya ke dia? Bukankah seorang suami itu selalu menjadi tempat bersandar bagi seorang istri? Dia selalu saja marah kalau kakak sudah menceritakan kenakalan anak-anak. Kakak benar-benar bingung, Nin. Bingung!"
Nindi benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Dia juga tidak mengerti kenapa Dewi harus mendatanginya untuk membicarakan masalah keluarganya.
"Maaf, ya, Kak. Menurut Nindi, itu hanya luapan emosi sesaat saja dari Bang Fajri. Kalau dia benar-benar berniat menceraikan Kakak, bisa saja dia sudah melakukannya jauh-jauh hari. Kakak yang sabar saja dan kalau menurut dia Kakak terlalu posesif, coba kurang-kurangi interaksi dengan dia, Kak. Coba agak seminggu ini Kakak tidak terlalu peduli padanya. Kadang laki-laki kalau kita merasa butuh, mereka jadi ngelunjak, Kak."
Wajah Dewi berubah masam. "Tidak akan berhasil, Nin. Kakak sudah pernah coba seperti yang kamu sarankan itu, malah dia jadi kegatelan. Banyak sekali pesan-pesan perempuan jalang yang masuk ke inbox-nya. Kakak tentu saja jadi panas. Kita sibuk mengasuh anak dan menjaga rumah, dia bersenang-senang di luaran dengan perempuan binal."
Mendengar jawaban Dewi yang ketus, membuat Nindi jadi bingung sendiri. Dia juga tidak tahu mesti menyarankan apa lagi.
Tidak semua orang yang curhat butuh nasehat, terkadang mereka hanya ingin didengar.
Petikan kalimat quote yang pernah dia baca melintas di pikirannya. Mungkin ini yang dimaksud quote tersebut, batin Nindi sambil merasa lega di dalam hati.
"Baik, Kak. Nindi percaya, Kakak pasti bisa melewatinya. Sudah 9 tahun lo Kakak bersama Bang Fajri, seharusnya riak rumah tangga bukan lagi sesuatu yang baru bagi Kakak. Nindi belum pengalaman dalam hal seperti ini. Jadi, Nindi hanya bisa mendengarkan apa yang Kakak utarakan."
Dewi tersenyum mendengar ucapan Nindi. "Makasih, ya, Nin. Sejujurnya kakak memang hanya ingin ada seseorang yang mau mendengarkan curhatan Kakak. Kakak akui, kakak benar-benar terlalu bergantung ke Bang Fajri. Semoga seiring berjalannya waktu kaka bisa mengubahnya pelan-pelan."
Nindi merangkul bahu Dewi dengan lembut. "Nindi percaya Kakak pasti bisa. Perempuan cantik yang mandiri, kuat, dan tentu saja penuh kasih sayang."
"Kamu baik sekali, Nin. Terima kasih, ya?"
Nindi berdiri sesaat. "Aku ada roti di dapur. Kakak pasti lapar. Sebentar ya, Kak."
Dewi mengangguk dan membiarkan Nindi melaju ke ruang belakang. Wajah Dewi menegang sesaat. Buru-buru dia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Sebuah botol kecil berisi bubuk, lalu menuangkannya ke dalam gelas minumnya Nindi. Dengan cepat dia simpan kembali botol tersebut.
Tidak lama kemudian, Nindi kembali sambil membawa sepiring roti kukus. Mereka berbincang-bincang sampai jam berdentang di angka 12 malam. Dewi cukup terkejut ketika menatap jam di dinding.
"Waduh, sudah terlalu malam. Kakak pulang dulu, ya, Nin? Terima kasih atas waktunya. Semoga pertemuan selanjutnya kita lebih sering tertawa ya? Doakan kakak, ya, Nin ...."
"Always, Kakak. Salam untuk anak-anak, ya, Kak?"
Dewi mengangguk sembari berjalan menuju pintu keluar.
Seperginya Dewi, Nindi mengunci pintu dan masuk ke dalam kamar. Matanya sudah terasa berat. Pikirannya jadi letih karena memikirkan masalah yang bukan masalah dia.
"Kenapa aku harus terlibat dalam masalah ini? Aku bukan siapa-siapa mereka. Sepertinya aku harus membatasi diri. Aku tidak mungkin membelas Bang Fajri atau Kak Dewi."
Dia merasa lucu sendiri. Manfaat dari masalah itu jelas tidak ada sama sekali bagi dirinya. Beda cerita kalau Nana yang mendapati situasi seperti ini.
Dia jelas akan membela Fajri karena dia mempunyai tujuan terselubung.
Memikirkan Nana, kembali Nindi merasa cemas. Dia masih ragu Fajri akan baik-baik saja. Bagaimana kalau Bu Karti mulai memasukkan pengaruhnya ke hati Nana? Bisa saja hal-hal berbahaya dan menakutkan itu terjadi.
"Nana tetap harus kuawasi. Jangan sampai dia bertindak ceroboh. Tidak saja menyengsarakan dirinya sendiri, tetapi juga akan membuat orang lain celaka. Tapi bagaimana caranya? Aku sangat tahu kalau dunia gelap yang dibangun Bu Karti, lambat laun akan menyeret Nana ke dalamnya. Aku benar-benar bingung sekarang."
Nindi berbaring gelisah di tempat tidur. Setelah memaksakan diri, akhirnya dia tertidur setelah urat syarafnya yang tegang perlahan-lahan mengendur.
Sementara itu, Dewi begitu keluar dari rumah Nindi bukannya merasa lega, tetapi hatinya masih panas membara.
"Perempuan setan! Apa dia kira aku tidak tahu kalau dia selingkuh dengan Bang Fajri. Pandai sekali dia bersandiwara. Dari pertama Bang Fajri memperkenalkan dia, aku sudah curiga dengan tatapan matanya itu. Perempuan munafik, gatal!"
Dewi memukul dashboard mobil dengan emosi. Dia mengendarai mobil tersebut sambil memaki panjang pendek.
"Seharusnya tadi aku labrak saja dia. Kutampar dan kujambak saja sampai mampus. Dia kira aku tidak tahu kalau dia baru saja menemui Fajri di café. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dia menggoda lelaki sialan itu. Awas saja kalian berdua. Jangan dikira aku akan diam saja. Tidak bisa dengan cara baik-baik, maka kekerasan mungkin diperlukan untuk membuat kalian jera!"
Dewi meraih ponsel di dashboard dan menghubungi seseorang.
"Eksekusi saja sekarang. Aku sudah memasukkan obat tidur ke dalam minumannya. Ingat! Aku hanya ingin kamu mendapatkan foto dan video telanjangnya. Jangan kamu perkosa dia, ngerti???"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Keping Luka Di Hatiku
Mystery / Thriller"Jangan terlalu baik, Nak. Kadang orang mengartikan lain kebaikanmu." Ucapan Ibu masih mengiang di telingaku. Sekarang, baru aku paham apa yang beliau maksud.