Nana sudah tidak sama lagi. Bayangan jin peludah yang menyetubuhinya beramai-ramai membayang di kelopak matanya. Dia merasa jijik dengan dirinya sendiri.
Pagi ini, Mbah Suro datang berkunjung setelah ditelepon oleh Bu Karti.
Sedikit menjauh dari Nana, Bu Karti berbicara dengan Mbah Suro.
"Suro, ini gimana? Kok, bisa-bisanya dia digauli jin peliharaanmu?"
Wajah Bu Karti menegang. Dia sangat marah dengan apa yang terjadi. Mbah Suro menatapnya dingin.
"Karti! Bekerja sama dengan setan selalu ada yang dikorbankan. Kamu tenang saja, aku punya ramuan untuk membuatnya lupa dengan apa yang terjadi. Yang dia ingat, dia memiliki pelet di air ludahnya. Siapa pun lelaki yang dia inginkan, pasti dia dapatkan."
Bu Karti tertegun sejenak. Dia sangat mengagumi lelaki tua di depannya itu. Sebenarnya dulu dia sangat ingin diperistri oleh Mbah Suro, tetapi lelaki itu tidak ingin menikah. Dia tidak suka bercinta dengan manusia. Baginya perempuan dari kalangan jin jauh lebih memuaskan hasratnya.
"Baiklah. Kalau begitu, buat Nana lupa dengan apa yang terjadi. Aku tidak ingin dia trauma lalu berubah menjadi gila. Dia cantik, Suro. Masa depannya masih panjang."
Mbah Suro terkekeh. "Apa kamu yang mengusulkannya untuk menemuiku?"
Wajah Bu Karti memerah.
"Seharusnya kamu tahu, begitu dia bersentuhan dengan dunia setan, hidupnya tidak akan lagi mudah. Para pelahap nafsu itu senantiasa membuatnya selalu lapar dan lapar. Lelaki yan dia taksir, mungkin akan menjadi korban pertamanya."
"Dia sudah memilih, Suro. Aku hanya menyarankan saja. Tidak pernah memaksanya. Setiap hari aku lihat dia seperti kehilangan akal. Tidurnya tidak nyenyak, makannya tidak enak. Saban hari, dia selalu memikirkan lelaki itu. Ibu mana yang tega melihat anaknya hancur karena cintanya ditolak."
Lelaki tua itu kembali terkekeh mendengar ucapan Bu Karti. "Aku tidak mengerti dan paham dengan yang namanya cinta. Bagiku yang ada hanya nafsu. Saling memuaskan satu sama lain. Persetan dengan cinta kalau membuat diri menderita."
Bu Karti menghela napas panjang. Dia menoleh ke arah Nana yang masih duduk di atas kasur dengan tatapan kosong.
"Sekarang apa yang akan kamu lakukan? Apa bisa aku tinggal untuk memberimu kesempatan mengobatinya?"
"Boleh. Aku akan segera menanganinya." Mbah Suro lalu berjalan mendekat ke arah Nana. Sedangkan Bu Karti melangkah keluar kamar dan menutup pintu. Meninggalkan kedua orang tersebut dengan hati yang tidak menentu.
Gadis itu sudah mengenakan baju tidur. Mbah Suro duduk di depan Nana. Matanya terpejam, telapak tangannya meny atu satu sama lain.
Sembari terpejam, dia merapal mantra-mantra ghaib. Ruangan yang tadinya terang, mendadak berubah menjadi gelap.
Lalu sosok peliharaan Mbah Suro keluar dari dinding. Makhluk itu berdiri dengan congkak.
"Apa lagi yang kamu inginkan, Suro?" Suara berat dan mengerikan merasuki gendang telinga lelaki tua itu.
"Ampun, Tuan. Aku butuh ramuan pelebur ingatan, agar gadis ini tidak ingat dengan Tuan. Sehingga tujuannya bersekutu dengan Tuan bisa tercapai."
Suara Mbah Suro bergetar. Dia duduk takzim dengan kepala menunduk.
"Manusia selalu banyak maunya. Aku sudah memberinya pelet jin peludah. Sekarang kamu inginkan ramuan penghilang ingatan. Banyak sekali keinginanmu, Suro. Apa yang bisa kamu tawarkan untukku?"
Mbah Suro merasakan lidahnya kelu dan tenggorokannya tercekat. Namun, dia segera menarik napas dan menenangkan diri.
"Ampun, Tuan. Aku berjanji akan membuat gadis ini mampu menceraikan seorang suami dari istrinya. Bukankah ini hal yang sangat membahagiakan hatimu, Tuan?"
Makhluk itu tertawa terbahak-bahak. "Kamu pintar sekali, Suro. Semakin banyak dia menghancurkan sepasang suami istri, semakin ringan tugasku, dan semakin bahagia hatiku. Hahaha."
Tawa Jin Peludah membahana dan menggetarkan dinding kamar. Mbah Suro menekan dadanya karena terasa sakit mendengar tawa makhluk itu.
"Baiklah. Aku akan berikan ramuan pelebur ingatan. Buka mulutmu dan tampung! Jangan ada yang tumpah di luar."
Mbah Suro dengan cepat membuka mulutnya. Dari ketinggian, Jin Peludah meneteskan sepuluh tetes cairan ludah ke dalam mulut Mbah Suro.
Mbah Suro mencium aroma tidak sedap. Seperti aroma kakus yang sangat busuk. Namun, dia mencoba bertahan.
Setelah Jin Peludah melakukan itu, dia kembali memberi perintah.
"Sekarang semburkan cairan tersebut ke wajah dan kepala perempuan ini."
Tidak menunggu nanti, Mbah Suro segera melakukan apa yang diperintahkan.
Cairan itu melesat dari mulut Mbah Suro dan hinggap di wajah dan kepala Nana.
Asap kehitam-hitaman keluar dari bekas semburan. Nana menjerit dan menjerit kesakitan. Wajahnya serasa mau melepuh.
Namun, rasa sakit itu hanya sesaat. Setelah Jin Peludah menghilang, kesadaran Nana kembali.
Dia mencium bau busuk.
Di depannya Mbah Suro menatapnya dingin.
"Mbah Suro?" Nana terkejut dan mundur sedikit ke belakang. Jaraknya dengan lelaki itu sangat dekat. "Apa yang Mbah lakukan?"
Tepat di saat itu, pintu kamar terbuka. Bu Karti masuk ke dalam dengan kaki setengah berlari.
"Nana?" Bu Karti memegang bahu Nana. "Apa kamu baik-baik saja?"
Nana menatap ibunya bingung. "Apa maksud Ibu? Justru aku yang heran kenapa ada Mbah Suro di kamarku?"
Bu Karti tersenyum sembari mengusap kepala anaknya itu penuh kasih sayang.
"Tidak apa-apa, Sayang.Mbah Suro datang mengobatimu. Sekarang, apa yang kamu harapkan akan tercapai."
"Maksud, Ibu?"
"Iya. Ilmu pelet yang kamu minta sama Mbah Suro baru saja disempurnakan. Jika kamu ingin mendapatkan lelaki itu, mungkin kamu sudah bisa mencobanya."
Mata Nana berubah menjadi berbinar-binar. Dia menggenggam tangan Bu Karti.
"Ibu serius?"
Matanya juga menatap Mbah Suro yang berdiri sambil mengelus-elus jenggotnya.
"Ingat, ya, Na. kamu tidak boleh salat dan mengaji. Begitu waktu salat masuk, kamu harus menutup telingamu dari gema suara azan. Jika kamu langgar, maka tubuhmu akan hangus terbakar."
Wajah Nana berubah sepucat mayat. Bibirnya bergetar.
"Ah, sudahlah, Na. Biasa itu. Toh, selama ini kamu juga jarang salat dan mengaji. Nggak perlu kamu pikirkan hal begini." Bu Karti menyemangati sambil mengusap-usap bahu Nana dengan lembut.
Nana tidak menjawab. Hati kecilnya tetap merasa ada yang salah. Namun, ketika wajah Fajri melintas, keraguannya lenyap seketika.
"Baiklah, Bu." Nana memegang tangan Bu Karti. "Mbah, terima kasih banyak telah membantu. Semoga dengan apa yang Mbah berikan aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan."
Mbah Suro tersenyum. Dia menatap Nan dan Bu Karti bergantian.
"Baiklah. Karena urusan di sini sudah beres, aku akan pergi dulu."
Mbah Suro membelai kepala Nana, lalu melangkah keluar dengan cepat.
Seperginya Mbah Suro, Bu Karti pun berdiri.
"Mandilah. Berdandan yang rapi dan cantik. Lalu, jalankan rencanamu. Rebut dia. Hancurkan orang yang telah melukai hatimu. Kamu harus membalaskan rasa sakit yang dia ciptakan. Jangan biarkan perasaan menguasai hati. Begitu dia hancur, tinggalkan! Agar dia tahu betapa sakitnya dikecewakan."
Mata Bu Karti berkilat. Kata-katanya menjadi cambuk api dan membakar hati Nana. Gadis itu pun segera melompat dari kasur dan berlari ke kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Keping Luka Di Hatiku
Mystery / Thriller"Jangan terlalu baik, Nak. Kadang orang mengartikan lain kebaikanmu." Ucapan Ibu masih mengiang di telingaku. Sekarang, baru aku paham apa yang beliau maksud.