Bab 12~Apakah semuanya sepadan?

3 0 0
                                    

Suara gemuruh mengamuk beriringan hujan yang turun semakin deras, kilatan cahaya berkali-kali membuat semua yang ada disekeliling terlihat menjadi jelas, semak belukar yang terombang-ambing serta dahan pohon patah berserakan. Tetesan hujan menghantam atap bangunan yang mengelilingi tempat, suara petir menjadi pelengkap rupanya tidak membuat sosok pria tengah berlutut, takut sedikitpun.

Tubuhnya bergetar karena rasa dingin menusuk, bahkan pakaian yang dikenakan telah basah kuyup. Ujung jari-jarinya semakin keriput, tampak mengusap kasar wajah yang kian memucat.

"Tuan muda tolong cabut dekrit nona Qixuan, " teriaknya dengan lantang. Perkataan yang selalu diulang-ulang Xiao Ming, akan tetapi tidak dihiraukan oleh tuan muda yang sibuk dalam ruangannya seperti senggaja menutup kedua telinga, tidak menghiraukan apa yang telah terjadi diluar sana.

Satu persatu lilin yang terpajang diluar halaman padam terkena tiupan angin kencang. Kini tidak ada penerangan lagi yang bisa menemani Xiao Ming hanya cahaya berwarna putih sesekali muncul menerangi.

Diarah belakang punggung, seorang wanita memegang sebuah lentera, berdiri menatapnya dengan sendu. Jauh dari lubuk hatinya terdapat percikan api kemarahan yang menjalar, tapi disisi lain rasa kasihan mulai menguasai hatinya yang dipenuhi dengan rasa cinta. Putri Hien memperhatikan dari kejauhan, sudah cukup lama dirinya berada disana. Namun, tidak kunjung beranjak pergi menghampiri.

Menghela napas berat, "Orang yang kucinta berlutut meminta permohonan untuk wanita lain? Xiao Ming apakah ini semua sepadan, " lirihnya kedua pelupuk matanya mengandung air yang tidak dapat ditahan lagi. Putri Hien mengusap pipi basahnya dengan perasaan gundah.

Dengan hati penuh keraguan, putri Hien melangkah kearah tepat dimana seorang pria berlutut tadi. Pakaian semula kering saat ini sudah basah sebagian. Lentera yang dibawa pun padam dalam sekejap, matanya memerah meneteskan air mata yang bercampur hujan kala itu. Berdiri tepat disamping Xiao Ming yang ternyata tidak menyadari kedatangan dirinya.

Putri Hien menjatuhkan tubuh, bertumpu pada kedua lutut. Berlutut sembari memberikan salam penghormatan tertinggi kearah ruangan tuan muda di depan sana. "Tolong cabut dekrit nona Qixuan, tuan muda Mu. "

Xiao Ming seketika menoleh kearah samping, alisnya berkerut mencoba menghentikan gadis tersebut dengan bersusah payah mengangkatnya untuk segera berdiri. Akan tetapi, semua usaha sia-sia, putri Hien berkali-kali menepis permintaan. Raut wajahnya dipenuhi perasaan sedih yang mendalam, tangis Sang putri di bawah hujan melanda sontak menghentikan Xiao Ming dari tindakannya.

"Tolong sekali ini saja, biarkan aku berada didekatmu," pinta putri Hien memohon dengan merendahkan dirinya sendiri.

Suara pintu terbuka, cahaya tidak begitu terang berasal dari lilin yang terdapat dalam ruangan membuat setitik keterangan dalam kegelapan. Seorang pria dengan surai berterbangan terkena sapuan angin secara perlahan berjalan mendekat.

Tuan muda menatap dingin pada dua orang yang  berlutut menghadapnya. Tidak ada suara dari salah seorang pun. Mu Bai membawa kedua kakinya ke bawah guyuran hujan, wajahnya datar tanpa sebuah perasaan yang tergambar. Dagunya perlahan menetes cairan bening secara bergantian, "Prajurit perintahkan kepada penjaga untuk membebaskan nona Qixuan sekarang. Dan katakan bahwa aku mencabut dekrit dengan alasan yang tidak dikatakan! "

Senyuman tulus bercampur kesedihan terbit disudut bibir putri Hien dengan tubuh gemetar karena kedinginan, bangkit berdiri. Tetesan air hujan rupanya tidak sengaja memasuki mata, penglihatannya buram dengan rasa perih bersamaan. Tangannya pun mulai meraba sekitar berharap sebuah bantuan datang dari seseorang.

Tanpa berpikir panjang Mu Bai meraih tangan putri Hien kemudian menggendongnya masuk menuju ruangan peristirahatan.

Xiao Ming memperhatikan belakang punggung tuannya sampai tersisa setitik hitam dikejauhan. Kulitnya mulai tidak tampak seperti dialiri darah lagi, putih pucat!. Bersusah payah bangkit berdiri, namun sempat gagal karena kedua tungkainya  mati rasa, tidak dapat dirasakan lagi. Sosok pria itu sempat batuk beberapa kali lalu menutupnya dengan salah satu telapak tangan, tanpa terduga terdapat segumpal darah yang sangat kental.








***



Bayangan seorang wanita tampak berdiri tegak menghadap luar jendela. Hujan takberhenti tengah mengamuk disana, sedangkan diarah lain pria separuh baya dengan gelar Tetua Ke-dua memiliki paras serta penampilan yang sama persis dengan sosok Tetua Ke-tiga saat ini duduk tenang. Dua prajurit penjaga dari arah pintu tidak bergerak seperti sebuah patung. Tanaman yang terletak dalam ruangan tersebut bergerak tidak karuan karena angin yang berhembus melalui setiap selanya.

Lilin-lilin menyala sepanjang dinding ruangan, sehingga membuat suasana tidak terlalu menyeramkan.

"Nyonya kenapa kau memanggilku?" tanya Sang tetua, masih ditempatnya berada. Duduk sembari menghirup aroma wewangian yang terdapat di dalam sebuah tungku berukuran kecil.

"Murid Yan Baili, akan dipenggal besok pagi. Apa pendapatmu? "

"Entahlah, Mu Bai mengambil tindakan tanpa bertanya terlebih dahulu kepada kami-para-tetua- ."

Kembali dalam keadaan yang sama sebelum perbincangan terjadi, hanya suara rintikan hujan dari atap ruangan yang terdengar.

Sorot mata dari wanita dengan panggilan Nyonya tersebut mengarah pada lawan bicaranya tadi. "Ku rasa ada sesuatu yang sangat penting, diketahui oleh gadis itu. Carilah waktu yang tepat untuk mengalinya lebih dalam! "

Saat ini raut wajah yang ditampilkan oleh Tetua Ke-dua berubah secara tiba-tiba semula tenang menikmati waktunya bersantai, kini penuh perasaan mencurigai seseorang tidak lain dari tuan muda, sosok yang selalu ingin dijadikan sebagai boneka kekuasaan bagi mereka semua.








***




Suara guntur menggelegar terdengar menggema diseluruh sudut Kediaman. Qixuan berjalan menyusuri setiap lorong jalan hanya bermodalkan cahaya sekilas dari kilatan petir saling menyambar. Pikirannya berkecamuk bagaikan ombak dilaut lepas, langkahnya tanpa disadari berhenti tepat di depan Halaman Utama-tempat-tinggal-patriark. Seorang pria yang sangat dikenalnya tergeletak tidak sadarkan diri. Dibawah hujan begitu deras tubuh Xiao Ming tampak bermandikan darah, aliran air hujan bercampur cairan berwarna merah kental  mengalir tepat di bawah kaki Qixuan berpijak.

Gadis itu terpaku, dari dalam dadanya muncul sebuah perasaan sangat sesak dan panas bahkan terasa sangat sakit sepanjang kedua maniknya menatap sosok di hadapan. Tarikan napas dari mulut, seluruh tubuh Qixuan bergetar. Tangisnya pecah hingga terdengar sangat lirih, langkah pelan berubah cepat semakin cepat kearah Xiao Ming berada!. Kepalan tangan samping tubuhnya bahkan tidak kuat bertahan, Qixuan tidak dapat memahami perasaan yang bersarang dihatinya tersebut. Sangat sakit sekedar untuk menarik napas saja dirinya tidak sanggup.

Meraih tubuh Xiao Ming dalam dekapan, Qixuan pelan mengusap wajah pucat milik pria itu dengan sesegukan. Mendongakan wajah ke langit malam yang suram, gumpalan awan menghitam tampak seperti akan menelan mereka yang ada dibawahnya!

"SIAPA SAJA TOLONG, KUMOHON! TUAN XIAO SEDANG SEKARAT! MU BAI BUKANKAH KAU SAHABATNYA?!" Qixuan menelan tangisnya berulang kali, berteriak parau meminta pertolongan agar  Xiao Ming dapat dipindahkan ketempat yang lebih layak.
















___________________________________________


Pengantin MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang