Bab 16~Merpati putih dan Makam selir

3 0 0
                                    

Kedua matanya masih sembab dan bengkak, Nyonya Xao meringkuk dalam kamar, menangisi kepergian anak semata wayang. Tidak ada hiasan dikepala ataupun wajah, pucat dan menyedihkan hanya memakai pakaian berwarna putih tanpa corak. Sedangkan, para pelayan mendampingi mencoba menenangkan wanita separuh baya tersebut.

Barang-barang dalam ruangan berserakan, pecahan gelas sepanjang sudut, pakaian mewah terombang-ambing, sepeti emas hancur berhamburan memenuhi lantai. Tidak ada yang berani merapikannya bahkan sekedar menyentuh, semua pelayan diperintahkan untuk tidak mengganggu. Berdiri diluar menunggu perintah jika sewaktu-waktu Nyonya Xao membutuhkan.

Setiap hari berganti, semua hal tampak tidak terurus. Nyonya Xao hanyut dalam keterpurukan semakin dalam, hanya ditemani seorang pelayan wanita berumur tidak terlalu jauh darinya.

"Nyonya, kesehatanmu akan memburuk jika terus seperti ini," tegur pelayan, memberikan empati kepada tuannya.

Nyonya Xao memutar seluruh tubuh membelakangi sosok pelayan pribadinya. Menghadap kearah jendela yang langsung menampilkan pemandangan segerombolan tanaman bambu saling bergesekan karena angin berhembus disela-sela, sehingga menciptakan pelan alunan merdu.

"Lepaskan burung Merpati putih diperbatasan Keluarga Mu," ucapnya dingin.

Mendapati perintah demikian, pelayan wanita terpaku dalam waktu sesaat seperti tidak menduga apa yang sudah ditangkap sepasang indera pendengarannya. Kemudian, lekas mengundurkan diri sembari memberikan salam penghormatan, beranjak pergi untuk melaksanakan tugas.










***



Sebuah lorong tanpa pencahayaan, satu-satunya sumber cahaya terang hanya berasal dari arah pintu masuk. Sesosok pria berjalan melewati setiap penjaga, semua orang secara serentak memberikan salam penghormatan. Menundukan kepala mereka, menghantarkan pria yang sedang berlalu disana.

Raut wajahnya datar tidak ada gambaran atas perasaan. Selangkah demi selangkah dilalui dirinya kini berdiri dihadapan sebuah jeruji besi berkarat, seorang gadis dengan penampilan lusuh memakai baju compang-camping duduk diantara jerami yang ditumpuk menjadi satu. Keduanya saling beradu tatapan.

"Darimana kau mendapatkan Jarum Kesunyian, Hien'er?" tanya tuan muda Mu tanpa berbasa-basi.

Menghelas napas secara kasar, putri Hien bangkit berdiri mendekati sosok di depan sana. Mereka dihalangi oleh jeruji besi yang tampak terkelupas karena termakan waktu, "Kau sangat mengetahuinya dengan sangat jelas Mu Bai, ibuku dan ibumu adalah teman akrab. Ibumu, maksudku Selir Xao memberikan Jarum Kesunyian sebagai hadiah."

"Apakah kau sering mengunakan Jarum Kesunyian, Hien'er?"

Sejenak tatapan lekat putri Hien membidik langsung kearah manik mata tuan muda Mu. Bibirnya kering tanpa warna, mendadak terdiam. Keheningan berlangsung diantara mereka sekarang.

"JAWAB AKU! " teriak tuan muda Mu. Suaranya yang keras menciptakan gema dalam lorong begitu gelap, sontak sebagian besar penghuni penjara tersebut mendekati jeruji penghalang mereka untuk memastikan apa yang sudah terjadi.

Cairan bening mengandung dipelupuk mata putri Hien perlahan berjatuhan membasahi pipi, "Terkadang aku mengunakannya."

Tuan muda Mu menarik napas panjang dan berat, mendongakkan wajah ke langit-langit bangunan mengerikan itu dengan perasaan gusar. Menelan ludah sesekali, berbalik membelakangi gadis dalam kurungan penjara.

Brrgg

Kepalan tangan menghantam dinding yang terbuat dari bebatuan, lumuran darah dari jari-jari berbekas. Membawa kedua tungkainya menjauh meninggalkan tempat tersebut. Dari balik punggung sinar menyilaukan mulai redup, pintu masukpun tertutup secara sempurna.

Pengantin MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang