Kata orang, Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Ayah juga yang selalu melindungi anaknya dari apa pun. Namun, tidak bagi Elea, dia merasakan sakit di pipinya sangatlah nyata. Apa yang menimpanya tadi malam, bukanlah mimpi, dia masih berharap saat bangun dia berada di kamarnya. Namun, tamparan kedua dari Tiana membuatnya benar-benar sadar bahwa semuanya adalah nyata.
"Kamu mencoba merayu Bara, hah?" teriak Tiana, Tiana kira Elea bersama dengan Kevin. Tapi dia salah, Elea malah menghabiskan malam dengan Bara.
Elea hanya menunduk bahkan dia belum memakai baju sama sekali. Hanya tertutup oleh selimut yang melilit tubuhnya.
"Aku bisa jelaskan," ucapnya dengan pelan, Bara sendiri hanya terdiam dia sungguh tak ingat apa pun.
"Jelaskan apa, hah? Menjelaskan kamu memang seperti ibumu, begitu?" marah Mala, membuat Elea sesak napas secara tiba-tiba.
"Tolong, jangan bawa-bawa ibu saya, Nyonya. Dia tak salah apa pun," lirihnya.
"Halah, kau jalang tetap saja jalang. Sama saja menggoda laki-laki," bentak Tatiana, dia menatap ayahnya yang hanya diam saja.
"Papa, bagaimana ini? Jika semua orang tahu, maka kita yang malu."
Walau di dalam rumah, Tiana dan Mala sangat khawatir dengan aib itu.
"Kita nikahkan mereka," putus Bima, membuat Bara menatap tajam tuannya.
"Tuan, saya ...."
Bima memotong ucapan Bara.
"Bara, apa kamu ingin mempermalukan saya?"
"Jangan lupakan semua kebaikan saya pada keluargamu, Bara,” lanjut Bima dengan tatapan yang sulit diartikan.
Bara menghela napas pelan, dia menatap benci Elea yang tengah menunduk.
"Baik, Tuan, saya akan menikahinya. Tapi dengan satu syarat," ujar Bara.
"Katakan."
"Saya tidak ingin, semua orang tahu bahwa dia adalah istri saya. Setelah menikah, saya akan membawanya keluar dari rumah ini," papar Bara, menatap Bima dan Mala yang nampak berpikir.
"Baiklah, saya setuju," sahut Mala dengan cepat, membuat Tiana mendelik menatap sang mama.
"Mama, apaan, sih? Aku gak setuju, ya, aku gak mau Kak Bara pergi dari rumah ini," tolak Tiana.
"Sayang, kamu tenang dulu, kita bicarakan ini nanti. Yang terpenting adalah kita harus segera menikahkan mereka," sela Bima.
Elea hanya diam membisu dengan semua keputusan yang diatur untuknya, dia menyeka sudut matanya dan pasrah akan takdir yang harus dia jalani.
Bima meminta pengawalnya untuk mencari pemuka agama untuk menikahkan Bara dan Elea, Bima juga mengundang RT dan RW perumahan mereka. Bara juga memberitahu pada orang tuanya, yang berada di kampung.
"Bara, apa kamu serius?" tanya sang ibu.
"Iya, Bu, Bara serius,” jawab Bara terasa dingin di pendengaran sang ibu.
"Tapi kenapa, Bara? Ibu gak mau punya menantu yang ibunya perebut suami orang. Apa kata tetangga kita nanti."
"Ibu tenang saja, Bara tidak akan membawa dia ke tempat kita. Bara akan membawa dia jauh dari keluarga Tatiana, karena Tatiana yang aku cintai," jelas Bara, memejamkan mata.
Sementara itu, Elea yang berada di balik pintu diam membeku. Tujuan Bara menikahinya adalah untuk membawanya pergi jauh entah ke mana. Elea kembali ke kamar. Awalnya dia ingin membicarakan pernikahan mereka, tapi semua kebenaran yang dia dengar membuatnya sakit.
Elea terduduk di pojok kamar, kamar yang lebih pantas disebut gudang. Dia memeluk foto sang ibu dan menangis lirih.
"Kenapa semua orang membenciku, Bu? Apa salahku? Harusnya ibu gugurkan aku saja dulu," lirih Elea terisak.
Pintu terbuka dengan kasar, dengan cepat Elea menghapus air matanya.
"Cepat keluar, semua orang sudah menunggu,” ucap Dori ketus, menatap hina Elea.
Elea pun mengangguk dan keluar mengikuti Dori, benar semua orang sudah berkumpul. Tatapannya sangat sulit diartikan, ada yang iba, ada juga yang menatapnya dengan pandangan jijik.
"Sehina itukah, aku?" batinnya, dia memilih untuk menunduk dan duduk di dekat Bara. Elea melirik sekilas pada Bara yang memakai kemeja berwarna hitam juga celana bahan berwarna hitam. Sedangkan dirinya, hanya memakai pakaian yang terbaik yang dia punya.
Kata sah membuat Elea memejamkan mata. Entah dia harus berekspresi bagaimana saat ini. Setelah ijab, semua tamu dipersilakan untuk menikmati hidangan yang disediakan oleh Bima dan Mala. Mereka selalu bersikap baik, di depan semua orang.
"Saya ingin bicara," celetuk Bima, membuyarkan lamunan Elea.
Elea mengangguk dan mengikuti langkah ayahnya, menuju ruang kerja lelaki paruh baya tersebut. Bima menatap Elea dari atas sampai bawah setelah duduk di kursi kerjanya, lelaki yang bergelar Ayah bagi Elea menatapnya dari atas sampai bawah. Terlihat kurus dan wajahnya sedikit kusam, walau begitu masih terlihat gurat kecantikan dari Elea, mengingatkannya pada mendiang ibu Elea.
"Ada apa, Tuan?" tanya Elea, dia inisiatif untuk bertanya lebih dulu karena melihat Bima melamun.
"Setelah ini, hiduplah bahagia, Elea. Maafkan semua perlakuan saya terhadapmu," celetuk Bima, membuat Elea tersenyum tipis.
"Apakah ada jaminan aku bisa hidup bahagia bersama Bara? Bahkan dia saja merahasiakan pernikahan ini," ujar Elea dengan lirih.
"Terlebih lagi, kamu sendiri tak pernah menganggapku sebagai anak."
Bima terdiam dengan semua perkataan Elea. Namun, dia pun tak bisa melakukan apa pun. Bima kembali menatap Elea, yang juga sedang menatapnya, sungguh dia pun sangat merindukan ibu dari Elea.
"Jika tidak ada yang dibicarakan lagi, saya permisi,” ucap Elea, menyadarkan Bima dari lamunannya.
"Elea."
Elea berhenti di ambang pintu, dia menunggu apa yang akan dikatakan oleh lelaki tersebut.
"Maaf."
Elea tersenyum masam, hanya kata maaf yang bisa lelaki itu ucapkan. Setidaknya Bima memeluk Elea untuk terakhir kalinya. Tak ingin berlama-lama, Elea keluar dengan tergesa dan tanpa sengaja menabrak Bara yang akan masuk ke dalam.
"Maaf," cicit Elea takut, saat tahu Bara yang dia tabrak.
"Cepat berkemas, kita akan pergi."
"Baik."
Elea berjalan cepat setibanya di kamar, dia membereskan apa yang akan dibawa ke rumah milik Bara. Namun, tak ada barang berharga yang dia bawa, semua baju adalah bekas Tatiana.
"Setidaknya, aku keluar dari rumah yang seperti neraka in, Bu."
"Aku akan membangun keluarga kecil versiku sendiri."
Elea tersenyum menatap foto sang ibu, lalu memasukan foto tersebut ke dalam tas usang dan lagi-lagi bekas Tatiana.
Selama tinggal di rumah Bima, Elea tak pernah sekali pun mendapatkan uang. Dia hanya dijadikan pembantu gratisan untuk Mala, bahkan jika Elea menginginkan sesuatu dia harus memberitahu Mala.
Elea keluar dari kamar dan disambut oleh tatapan mengejek dan jijik para pekerja di sana.
"Akhirnya anak pelakor pergi juga,” celetuk Dori, diangguki oleh semua orang.
"Iya, betul, Mbak, rumah Nyonya Mala gak akan kena sial lagi karena memelihara anak pelakor."
Elea menghembuskan napasnya dengan pelan, sudah terbiasa mendengar hinaan tersebut.
"Bye, jangan kesini lagi," kekeh yang lain.
***
Elea sudah tiba di halaman depan rumah Bima, yang dia tahu sudah berubah nama menjadi milik Mala. Dia menatap bangunan megah di depannya sangat indah, banyak kenangan yang terjadi di dalamnya terutama kenangan pahit nan menyakitkan.
Di kejauhan Bima menatap Elea, ada rasa sesal saat anaknya akan pergi. Ya, Elea adalah anaknya bagaimana pun juga, dia yang berbuat salah tapi sang anak yang mendapatkan pelampiasannya.
"Semoga kamu bahagia, Nak!" Bima menyeka sudut matanya.bersambung..
Jangan lupa tinggalkan jejak ☺️
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Rahasia Tuan Bara
RomanceBukan ingin Elea terlahir dari rahim seorang istri siri yang dicap sebagai pelakor, sejak sang ibu meninggal, Eleanor tinggal bersama ayah kandung dan istri sah sang ayah. Sejak kecil ia tak merasakan kasih sayang dari ayah kandungnya, tinggal di ru...